INDONEWS.ID

  • Rabu, 11/03/2020 14:25 WIB
  • Perspektif Revolusi Industri 4.0

  • Oleh :
    • luska
Perspektif Revolusi Industri 4.0
Sudarsono Hardjosoekarto (Guru Besar FISIP UI) dan One Herwantoko (mahasiswa S3 Departemen Sosiologi FISIP UI ).

Oleh :  Sudarsono Hardjosoekarto (Guru Besar FISIP UI) dan One Herwantoko (mahasiswa S3 Departemen Sosiologi FISIP UI ).

REVOLUSI industri 4.0 belum juga sepenuhnya datang, tapi pasar tenaga kerja Indonesia sebentar lagi mengalami guncangan disrupsi hebat. Utamanya bila seluruh pasal pada BAB IV RUU Ciptaker kelak disahkan menjadi undang-undang. 

Dalam sosiologi ekonomi, krisis pasar, termasuk pasar tenaga kerja, dapat dibedah dengan model kisi-kisi sosial (social grid) yang diperkenalkan oleh Jens Beckert (2010), yaitu inter-relasi antara institusi, jaringan sosial, dan struktur kognisi para aktor pelaku pasar.

Ranah Institusi

Potensi disrupsi pertama terjadi dalam ranah institusi, khususnya regulasi (institutional rules) pasar tenaga kerja yang secara jelas mengamputasi sejumlah sarana hubungan industrial klasik, melalui penghapusan Pasal 64, Pasal 66 ayat 1, dan Pasal 59 UU 13/2003 di dalam RUU Ciptaker. Hal ini telah membuka pintu yang sangat lebar untuk alih daya bagi semua lini pekerjaan, baik utama maupun penunjang, serta Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk semua jenis dan sifat pekerjaan.

Meluasnya alih daya yang berkonfigurasi dengan PKWT ini kelak menyebabkan pembentukan serikat pekerja di perusahaan menjadi lebih sulit. Hal ini akan mengakibatkan fungsi Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan LKS Tripartit menjadi tidak optimal. Dapat diperkirakan bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) juga akan sulit dibentuk. Persoalan ini menjadi semakin pelik dengan adanya rumusan Pasal 61 A dalam RUU Ciptaker yang memberikan peluang pelaksanaan PKWT dalam jangka waktu yang sangat pendek. Pasal ini berpotensi mendorong pelaksanaan alih daya dan PKWT di bawah satu tahun guna menghindari beban kompensasi apabila perjanjian kerja berakhir.

Dari sisi upah, dampaknya jelas sudah dapat dibayangkan. Pasal 90 A mengenai upah di atas upah minimum, yang didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di perusahaan, menjadi tidak implementatif karena merebaknya status alih daya dan PWKT. Selain itu, dengan tidak diwajibkannya penerapan struktur dan skala upah sesuai Pasal 92 ayat 2 RUU Ciptaker, maka tingkat upah akan berada pada kisaran upah minimum yang kenaikannya tergantung pada pertumbuhan ekonomi seperti tercermin Pasal 88 D RUU Ciptaker. Dengan kata lain, faktor-faktor seperti produktivitas pekerja, inflasi, dan masa kerja berpotensi terabaikan di dalam implementasi pengupahan kelak.

Problematika dalam pengupahan ini semakin diperumit dengan rumusan Pasal 88 E pada RUU Ciptaker yang menyatakan bahwa untuk industri padat karya akan ditetapkan upah minimum tersendiri. Jelas, ada indikasi kuat bahwa upah minimum pada industri padat karya ini akan lebih rendah dibandingkan upah minimum pada pasal 88 D. Jika ini terjadi, maka akan ada potensi pekerja enggan bekerja di industri padat karya, dan ketentuan itu justru akan menjadi boomerang bagi upaya pengembangan industri padat karya itu sendiri. Pekerja tampaknya akan cenderung memilih bekerja di sektor yang memberikan upah minimum sesuai pasal 88 D.

Kondisi ini juga menjadi semakin kompleks dengan dipertahankannya Pasal 66 ayat 2 huruf C pada UU 13/2003 ke dalam Pasal 66 ayat 2 pada RUU Ciptaker, di mana perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Sarana hubungan industrial klasik yang berbasis pada perusahaan tempat kerja kelak tidak memiliki ruang gerak untuk melakukan fungsinya.

Memudarnya peran sarana hubungan industrial klasik ini juga diperkirakan akan menghambat implementasi sejumlah pasal pada RUU Ciptaker yang berkaitan sarana hubungan industrial, seperti Pasal 79 ayat 4 mengenai cuti tahunan yang akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; dan Pasal 151 ayat 2 mengenai penyelesaian PHK melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Ranah Jaringan Sosial

Disrupsi pada ranah institusi-regulasi di atas akan berdampak langsung pada potensi disrupsi kedua, yakni pada ranah struktur relasi atau jaringan sosial antaraktor dalam pasar tenaga kerja. Jelas, pemberi kerja dan perusahaan alih daya akan memiliki posisi dan daya tawar yang semakin tinggi dibandingkan pekerja.

Selain itu, seiring melemahnya peran serikat pekerja di perusahaan, maka asosiasi profesi dan komunitas-komunitas keterampilan akan semakin menguat posisinya. Siap atau tidak siap, RUU Ciptaker akan merubah secara mendasar wajah struktur relasi atau jaringan aktor pasar tenaga kerja Indonesia.

Ranah Kognisi Aktor

Secara simultan dan kausalitas, pasar tenaga kerja mengalami disrupsi ketiga, yakni pada ranah kognitif aktor. Meningkatnya alih daya dan PWKT dalam jangka waktu yang sangat pendek diperkirakan akan membuat sense of belonging terhadap tempat kerja dalam struktur persepsi kalangan pekerja menurun. Perusahaan akan semakin berorientasi pada produktivitas dan output usaha, sedangkan pekerja akan semakin kalkulatif dalam memberikan jasa tenaga kerjanya dan berorientasi pada pengembangan keterampilan dirinya semata.

Ikatan sosial antara pemberi kerja dan pekerja berpotensi memudar, seiring dengan tren memudarnya ikatan kognitif-emosional. Padahal, ikatan tersebut selama ini masih menjadi modalitas untuk menyatukan perusahaan dengan pekerja. Jelas sekali bahwa rumusan RUU Ciptaker ini berpotensi mengurangi informal trust dalam arena pasar tenaga kerja. Padahal, hal ini sangat penting perannya dalam melengkapi formal trustyang dibangun lewat penegakan aturan ketenagakerjaan melalui sistem pengawasan ketenagakerjaan.

Dengan kata lain, risiko konflik ketenagakerjaan, laten maupun manifest, di dalam UU Ciptaker relatif lebih tinggi. Terlebih lagi, rumusan Pasal 45 ayat 2 RUU Ciptaker menyatakan bahwa pemberi kerja tidak wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing pada jabatan tertentu. Hal ini akan membuat risiko konflik ketenagakerjaan akibat sentimen emosional kebangsaan menjadi tidak bisa diabaikan.

Tekanan Global 

Diakui bahwa pasar tenaga kerja Indonesia menghadapi tekanan global yang nyata. RUU Ciptaker, di satu sisi merupakan respons atas tekanan global, dan di lain sisi juga menjadi pemicu guncangan pasar itu. Dalam kisi-kisi sosial Beckert (2010) telah diingatkan adanya emergence, reproduce, dan change ketiga elemen pasar, seperti yang sudah diurai di atas. Antisipasi strategik sangat diperlukan, utamanya dengan akan memudarnya hubungan industrial klasik.

Pertama, perlu dibangun forum kerja sama para pihak di arena pasar tenaga kerja, melibatkan antara lain pemberi kerja, perusahaan alih daya, pekerja, pemerintah, asosiasi profesi, komunitas keterampilan, dan akademisi. Forum ini penting sebagai bagian dari upaya trust investment.

Kedua, perlunya penyesuaian unit kerja Eselon I di Kementerian Ketenagakerjaan yang berorientasi pada pelayanan dan pembinaan hubungan kerja pola baru, seperti alih daya, freelance, kemitraan, dan sejenisnya.

Ketiga, perlu dibentuk institusi yang membina labor turnover, yang fungsinya terintegrasi dengan pelaksanaan jaminan kehilangan pekerjaan.

Keempat, perlunya forum kerja sama antara serikat pekerja, asosiasi profesi, dan komunitas keterampilan untuk fokus pada pengembangan keterampilan pekerja.

 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Gunungapi Ibu AWAS, Desa Sangaji Nyeku Diminta Dikosongkan
Anak-Anak PAUD Belajar Simulasi Cap Paspor di PLBN Entikong
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Korban Banjir Bandang di Sumbar
HOGERS Indonesia Resmi Buka Gelaran HI-DRONE2 di Community Park, Pantai Indah Kapuk 2
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas