INDONEWS.ID

  • Sabtu, 25/04/2020 18:01 WIB
  • Presiden Jokowi dan Prakarsa Diplomasi Baru

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Presiden Jokowi dan Prakarsa Diplomasi Baru
PLE Priatna adalah alumnus FISIP UI dan Monash University, Australia, saat ini bekerja di Jakarta sebagai pejabat di Departemen Luar Negeri (Foto: Ist)

Oleh: PLE Priatna*)

Opini, INDONEWS.ID - Pandemi global corona virus atau covid-19 telah meningkatkan tensi politik dan detak jantung berdiplomasi antar negara. Betapa tidak, fokus kegiatan berdiplomasi saat ini bergeser agak mengejutkan karena ramai-ramai negara saling berburu bantuan alat medis sekaligus menemukan pemasok alat kesehatan ini.

Sebanyak 54 negara, tidak saja membatasi secara ketat, namun bahkan secara tegas melarang ekspor dan menjualbelikan alat-alat kesehatan (masker, baju APD dan ventilator) ke pasar manca negara (Global Trade Alert, 2020).

Baca juga : Memikirkan Pikiran dan Tindakan Politik Jokowi

Studi yang dilakukan Prof Simon Evenett mengungkap sudah 68 negara dan menyebut alasan utama melakukan restriksi karena stok dalam negeri menipis dan permintaan terus meningkat. Produk alat kesehatan tidak saja sebagai komoditas strategis ceruk penting devisa negara tapi juga pendulum meningkatnya tensi ketegangan di sana-sini.

Hanya dari tiga negara (Amerika Serikat, Jerman dan China) bisnis produk alat medis ini pada akhir tahun 2019 mencapai 500 juta dolar Amerika, dan empat bulan terakhir ini (Januari-April 2020) di tengah pandemi ini dipastikan transaksinya meningkat mencapai angka yang fantastik.

Baca juga : Pengembangan Bisnis Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan di Indonesia Sangat Penting dan Mendesak

Presiden Trump pun terang-terangan melarang perusahan 3M di AS untuk tidak menjual produk alat kesehatan ke luar negeri. Sekalipun dalam bulan Januari dan Februari lalu, Pemerintah AS mengirimkan bantuan 17,8 ton berbagai jenis alat kesehatan ke China.

Di belahan lain, Pemerintah Swiss marah kepada Jerman saat truk pengangkut 240.000 masker, yang akan melewati perbatasan Jerman ini dicegat petugas, ditahan dan dilarang melanjutkan perjalanan.

Baca juga : Makna Keberlanjutan Kepemimpinan Presiden Jokowi oleh Ganjar Pranowo

Kementerian Luar Negeri Swiss pun akhirnya memanggil Duta Besar Jerman untuk menyampaikan protes keras sekaligus meminta Pemerintah Jerman meloloskan masker tersebut. Kedua contoh kecil di atas memperlihatkan betapa meningkatnya tensi politik di berbagai belahan dunia carena pandemi corona ini.

Ancaman pandemi Covid-19 ini sesungguhnya telah menyatukan perhatian global -- meskipun banyak negara, saat ini, tidak hanya menutup perbatasan dengan tetangga -- tapi lebih dari itu saling menabuh genderang memperebutkan stok, alat medis sebagai aset.

Beggar thy neighbor meminta bantuan ventilator canggih berharga pasar 50.000 dolar AS per alat pada tetangga dekat bukan lagi jalan keluar yang mudah. Sebab, lebih dari 200 negara menghadapi pandemi Covid-19, sementara stok alat kesehatan global yang dibutuhkan malah terus berkurang dan sangat terbatas.

Kecelakaan diplomasi bisa terjadi kapan saja di banyak belahan dunia. Survival of the fittest, hipotesa bagi yang kuat semakin besar menguasai stok berarti semakin tinggi probabilitas berhasil mengatasi keadaan dan penyelamatan mayoritas warga negaranya.

Risiko meningkatnya ketegangan antar negara tidak terelakkan lagi dan kecelakaan diplomasi disebabkan tarikan anarki antar negara juga semakin terbuka.

Diplomasi global tampak menghadapi tantangan dilematis. Di satu sisi menjaga tensi perdamaian tidak berubah menjadi kecelakan diplomasi. Namun di sisi lain, tuntutan perlindungan dan keselamatan warga adalah panggilan mendesak dan kewajiban konstitusi yang tidak bisa ditawar.

Dalam situasi kritis di tengah tuntutan mendesak -- tidak hanya dibutuhkan tata kelola global untuk saling berbagi tapi juga sikap kenegarawanan para pemimpin dunia -- untuk memprakarsai solusi bersama.

Kepala negara atau pemerintahan sebagai diplomat in chief di banyak belahan, dalam situasi sulit ini, menjadi aktor pengendali utama tensi ketegangan agar diplomasi menjadi jalur pilihan. Pagar diplomasi, penjaga sekaligus pengatur detak jantung dan tensi politik tidak bergeser menjadi kecelakaan.

Belakangan, jebakan kecelakan berupa benturan kepentingan makin menguat di tengah vakumnya inisiatif multilateral di bawah badan kesehatan PBB (WHO). Pemerintah AS menghentikan bantuan dana operasi badan kesehatan PBB ini adalah cermin sepenggal konflik yang mencuat.

Peran WHO belakangan diharapkan meningkat. Yakni tidak hanya berkutat pada urusan bantuan keahlian (edukasi dan penyebaran informasi), penyediaan vaksin dan penanggulangan penyakit, tapi juga inisiator bagi pengelolaan pembelian alat medis. Menjadi inisiator instrumen khusus tata kelola dan(quota/proporsional) distribusi secara adil dan efektif alat kesehatan. Walaupun hal itu merupakan satu tantangan berat di luar kapasitas organisasinya.

Sekjen PBB Antonio Gutteres bersama badan PBB atau menunjuk satu dua kepala negara anggota untuk memprakarsai penggalangan dana bersama sekaligus menggagas mekanisme pembelian alat kesehatan, yang selanjutnya dibagikan kepada negara yang membutuhkan.

Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia misalnya, memiliki peluang besar untuk turut menggagas penggalangan dana global berikut instrumen tata kelola alat kesehatan di tengah perang melawan pandemi Covid-19 ini.

Politik luar negeri bebas aktif saat ini telah memberikan kredensial yang kuat. Bahkan memberikan leverage dan ruang pengaruh bagi Presiden RI Joko Widodo guna menggulirkan prakarsa baru serta menjembatani secara leluasa, kepentingan banyak negara.

Kerangka kerjasama Indo-Pasifik, G20, ASEAN, Gerakan Non Blok dan juga anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB itu adalah sebagian pintu peluang bagi inisiatif kepemimpinan baru berikut prakarsa terobosannya.

Prakarsa membangun global leadership meredakan kepanikan global, memenuhi kebutuhan alat kesehatan sekaligus menghindari ancaman perselisihan frontal antar negara.

Langkah terobosan mengumpulkan dana, belanja alat dan membagikan alat tersebut guna menghindari kemelut adalah prakarsa besar yang relevan dan kontekstual saat ini. Kita pasti bisa.*

*) PLE Priatna adalah alumnus FISIP UI dan Monash University, Australia, bekerja di Jakarta.

 

 

 

Artikel Terkait
Memikirkan Pikiran dan Tindakan Politik Jokowi
Pengembangan Bisnis Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan di Indonesia Sangat Penting dan Mendesak
Makna Keberlanjutan Kepemimpinan Presiden Jokowi oleh Ganjar Pranowo
Artikel Terkini
Kenal Pamit` Kadispenau, Sederhana namun Meriah
Inspeksi Mendadak Pj Bupati Maybrat Ungkap Kondisi Memprihatinkan di Kantor Distrik Aifat Utara
Pj Bupati Maybrat Tinjau Puskesmas Aifat Utara, Puji Kinerja Dalam Penanganan Alergi Rabies
Pj Bupati Maybrat dan Kapolres Tandatangani NPHD, Dukung Penerimaan Taruna Akpol dari Maybrat
Kunjungan Pj Bupati Maybrat ke SMAN 1 Aifat Raya Ungkap Kekurangan Guru dan Data Siswa yang Tidak Akurat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas