INDONEWS.ID

  • Sabtu, 09/05/2020 20:01 WIB
  • Menyoal Reforma Agraria Sejati atau Reforma Agraria Semu/Pseudo Reform

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Menyoal Reforma Agraria Sejati atau Reforma Agraria Semu/Pseudo Reform
Krisogonus Dagama Pakur merupakan advocate public yang saat ini bekerja di kantor firma hukum Hendra Wijaya&partners. Saat ini, penulis sedang mengenyam pendidikan lanjutan strata 2 di Universitas Trisakti dengan mengambil program pengkhususan hukum bisnis.

Oleh: Krisogonus Dagama Pakur*)

Opini, INDONEWS.ID - Secara etimologis atau asul-usul kata, istilah agrarian berasal dari bahasa latin. Kata agrarian dapat dibagi menjadi kata ager dan agraririus. Kedua kata tersebut memilki arti tentang perladangan, persawahan dan pertanian.

Terminologi Indonesia dapat mengartikan bahwa, kata agrarian tersebut merujuk pada pengertian urusan pertanian, perkebunan maupun perladangan. Di Indonesia sendiri, pengertian agraria telah diatur dan ditetapkan dalam sebuah undang-undang nomor 5 tahun 1960. Undang-undang pokok agraria tersebut, secara umum mengatur tentang kegunaan tanah maupun penguasaan hak atas tanah tersebut.

Menurut undang-undang pokok agraria, pengertian agraria diatur dalam pasal 1 ayat 2 UUPA nomor 5 tahun 1960. Dalam ketentuan tersebut, agraria dapat diartikan  bumi air dan ruang angkasa yang terkandung didalamnya. Sedangkan, pengertian bumi merupakan satu kesatuan dari tanah permukaan, maupun dalam tubuh tanah tersebut.

Menurut Andi Hamzah, agraria erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang bercocok tanam, sebab sebagian besar masyarakat kita hidup dari mata pencahariannya sebagai petani tulen. Dengan adanya konsep dasar dari pengaturan hak atas tanah tersebut, kita dapat menjamin adanya kepastian hukum atas masalah pertanahan yang ada di negara kita.

Tujuan pokok diadakannya pengaturan hak atas tanah melalui undang-undang pokok agraria tersebut, merupakan sarana yang akan dipakai untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan 66 1()5, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Namun, yang patut kita pertanyakan adalah apakah kemudian konsep dan tujuan dari pengaturan tersebut sudah menjadi bukti telah terlaksananya reforma agraria sejati? Apakah konsep tersebut sudah berhasil mengantarkan masyarakat merdeka secara ekonomi dan berdaulat atas tanahnya sendiri?

Pengalaman negara-negara di dunia yang telah melakukan reforma agraria sejati telah membuktikan bahwa kesuksesan dari penerapan reforma agraria sejati sesungguhnya berawal dari dukungan seluruh komponen bangsa dan didukung dengan adanya kepastian hukum dan kondisi social politik yang kondusif.

Menurut Gunawan Wanardi, konsep reforma agraria sejati adalah Reforma agraria yang bertujuan terbangunnya struktur masyarakat yang lebih berkeadilan.  Pada awalnya kebijakan land reform adalah suatu kebijakan sosial, yaitu pemerataan penguasaan tanah, bukan sebuah kebijakan ekonomi (produksi); namun kemudian orang sadar bahwa dibutuhkan suatu economic rationale yang mampu memberi alasan dari segi ekonomi mengapa suatu reforma agraria perlu dilakukan.

Itulah sebabnya selepas perang dunia kedua, negara-negara mulai menambahkan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan pada program reforma agraria mereka.

Adapun berbagai pertimbangan itu adalah:  secara politik dapat ditolerir (politically tolerable), secara ekonomi dapat dijalankan (economically viable), secara kebudayaan dapat dipahami (culturally understandable), secara sosial dapat diterima (socially acceptable), secara hukum dapat dibenarkan (legally justificable) dan secara teknis dapat diterapkan (technically applicable).  

Apabila kita mengamati dan mencermati perjalanan bangsa Indonesia, kita pun dapat temukan bahwa disamping terdapat urgensi pelaksanaan reforma agraria, juga berlangsung berbagai dinamika tarik ulur penerapan kebijakan yang berkaitan dengan pertanahan bagi masyarakat.

Penderitaan rakyat, sengketa-sengketa agrarian, maupun konflik social yang terjadi di masyarkat pada umumnya yang terjadi akibat politik dan kebijakan era colonial yang memiliki inspirasi tersendiri bagi founding fathers bangsa kita. Sebab dengan adanya tindakan demikian, para pendiri bangsa kita dengan lantang dan gerak cepat mampu melakukan terobosan baru dan merubah arah kebijakan pertanahan yang dilakukan oleh colonial Belanda maupun millter Jepang pada saat itu.

Tentunya dalam mengahadapi situasi demikian,pemerintah maupun komponen bangsa merasakan langsung dilema dalam menjalankan reforma agraria ini. Begitu juga dengan seluruh komponan masyarakat, maupun civil society organitation yang banyak terlibat dalam mengatasi masalah ataupun sengketa social yang berkaitan dengan pertanahan.

Berbagai dilema yang dihadapi dari zaman sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi telah kita lalui. Namun, hingga kini menurut pengamatan penulis, reforma agraria masih tergolong tahap pendahuluan(pseudo-reform) artinya adalah bangsa ini masih memiliki jalan panjang untuk menggapai cita-cita reforma agraria sejati.

Pseudo reform(reforma agraria semu) yaitu suatu pembaruan yang sopan namun pada hakekatnya bukan pembaruan, yang disebut nicely behaved non land reform.  Bagaimana pun reforma agraria sejati hanya bisa dilakukan jika ada kemauan politik.

Di negara-negara non sosialis muatan konkret reforma agraria adalah: mengatur ulang alokasi penyediaan tanah; menata ulang status pemilikan/penguasaan/penggunaan tanah; mengatur ulang tata cara perolehan tanah; dan menata ulang penggunaan tanah.

Dilema Reforma Agraria di Masa Kini.

Setelah rezim orde baru turun tahta, untuk sesaat banyak orang menaruh harapan baru pada pimpinan ataupun rezim yang mendapat amanat rakyat dalam menentukan arah kebijakan nasional nantinya. Hampir seluruh bidang, mengalami perubahan akibat lengsernya rezim ini, termasuk dalam bidang pertanahan.

Dengan dikeluarkannya TAP MPR no.IX/2001, timbulah harapan baru dalam arah kebijakan pertanahan. Tapi ternyata, dalam perjalanannya mengalami problematika dan persolan social politik yang berkepanjangan hingga menyebabkan mandeknya implikasi dari program dan tujuan reforma agrarian itu sendiri. Dengan adanya situasi tersebut, maka muncullah dua pertanyaan mendasar atas dilemma yang kita hadapi bersama.

Pertama, benarkah apa yang dilaksanakan selama ini merupakan pelaksanaan dari reforma agrarian sejati? Kedua, kesulitan apakah yang menjadi persoalan panjang yang menyebabkan pembahasan reforma ini berlarut-larut bahkan menimbulkan polemic yang tidak berkesudahan?Dua pertanyaan tersebut saling berkaitan satu sama lain, dan jawabannya menurut saya agak sedikit rumit.

Ketiga, dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat.

Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional.

Keempat,Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 dan tidak bertanah.

Per Maret 20017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. (BPS, 2017). Situasi ini telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi yang terus membesar.

Penulis beranggapan bahwa,pada saat ini kita sebagai bangsa belum secara maksimal menjalankan amanat reforma agraria sejati.Hal ini dikarenakan adanya kondisi social politik yang tidak kondusif karena beberapa prasyarat yang harus dipernuhi malah belum tercapai sebagaimana mestinya. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya pemisahan antara elite bisnis dan elite poilitik yang melingkari pejabat kita.

Perlu kita ketahui bersama,bahwasanya sebagian besar elite politik nasional kita ini adalah yang berprofesi sebagai businessmen.Kedua,tidak adanya dukungan yang tulus dari pihak militer secara terbuka dan sungguh-sungguh.AKhirnya pun kita kembali dihadapi dengan satu pertanyaan mendasar yaitu, reforma agrarian sejati atau tidak sama sekali?*

*) Krisogonus Dagama Pakur merupakan advocate public yang saat ini bekerja di kantor firma hukum Hendra Wijaya&partners. Saat ini, penulis sedang mengenyam pendidikan lanjutan strata 2 di Universitas Trisakti dengan mengambil program pengkhususan hukum bisnis. 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
The International Awards 2024, Pj Bupati Maybrat Dapat Penghargaan dari Seven Media Asia
Pj Sekretaris Daerah kabupaten Maybrat Turut Kunjungi Kampung Ayata dan Aisa
Gunungapi Ibu AWAS, Desa Sangaji Nyeku Diminta Dikosongkan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas