INDONEWS.ID

  • Jum'at, 15/05/2020 22:01 WIB
  • "Wae Diong", Filosofi Seputar Kelahiran Orang Manggarai

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
"Wae Diong", Filosofi Seputar Kelahiran Orang Manggarai
Rumah Adat Manggarai Flores, Nusa Tenggara Timur (Foto: Ist)

Oleh: Bernard Raho, SVD*)

Kiriman Pembaca, INDONEWA.ID - Hubungan yang sangat dekat antara bayi dan ka’e atau ari-ari diabadikan dalam motto hidup orang Manggarai “neka oke kuni agu kalo” atau neka oke kuni agu nao. 

Kuni berarti tali pusat (umbilical chord – dalam Bahasa Inggris) atau ari-ari atau Ka’e dalam Bahasa Manggarai. Sedangkan kalo, teno, dan nao adalah kayu-kayu yang gampang hidup dan merupakan lambang kehidupan. 

Setiap orang Manggarai memiliki ka’e (tali pusat atau ari-ari) yang tinggal di kampung halamannya (yang biasanya di gantung di belakang rumah atau dikuburkan di belakang rumah). 

Hubungan antara seorang Manggarai dan Ka’e-nya yang ditinggalkan di kampungnya itu sangat erat hingga lahirlah ungkapan neka oke kuni agu kalo berarti: “Hendaknya setiap orang Manggarai tidak melupkan Ka’e-nya yang senantiasa menunggu dia di kampung halamannya”. 

Dengan kata lain, Ka’e-mu tetap menantikan Anda kembali. Setiap orang Manggarai terikat dengan kampung halamannya karena di kampung itu lah Ka’e-nya dikuburkan atau digantung pada pohon aur.

Sumpeng atau Cumpeng

Setelah kelahiran, ibu dan bayi biasanya tidur terpisah dari anggota keluarga lainnya. Mereka dibuatkan tempat tidur di sekitar tungku. Nama tempat itu adalah cumpe atau sumpeng dalam dialek Kolang. 

Cumpe atau sumpeng secara eksklusif milik ibu dan bayi. Orang lain tidak bisa menggunakan tempat itu. Dengan memisahkan diri dari anggota keluarga lainnya, ibu dan anak itu secara sosial diisolasi. 

Selama berada di dalam cumpe atau sumpeng itu, ibu tidak boleh ke mana-mana sampai dengan hari cear cumpe atau sear sumpeng. 

Di samping cumpe/sumpeng ditempatkan sebuah wadah berisi air dan wadah itu tidak boleh kosong selama ibu dan anak itu tidur di cumpe/sumpeng itu.

Alasannya ialah supaya kalau jiwa bayi itu kebetulan keluar lewat wuwung atau ubun-ubun, dia tidak boleh pergi terlalu jauh karena takut dia tidak akan kembali lagi yang berarti anak akan meninggal. 

Kalau pun dia keluar, maka dia bermain-main sebentar di dalam air yang sudah disiapkan sebelum dia kembali lagi ke dalam tubuh bayi. Dalam hal ini, air sekali lagi merupakan simbol kehidupan. 

Air yang ditempatkan di dekat cumpe/sumpeng itu adalah simbol kehidupan dari bayi itu. Hari-hari selama ibu dan bayi berada di dalam cumpe/sumpeng merupakan masa-masa krisis dan karena itu harus diperhatikan secara serius. 

Masa ibu berada dan tidur di cumpe/sumpeng berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal itu bergantung pada ceki atau seki atau larangan dari masing-masing suku. 

Di dalam suku kami, sear sumpeng terjadi pada hari ke sepuluh. Pada lima hari pertama, ibu ditempatkan di dekat tungku. Sedangkan lima hari berikutnya, bayi ditempatkan di dekat tungku. 

Sear Sumpeng dan Saung Ta`a

Perpindahan dari satu posisi ke posisi lainnya disebut gholeh (pindah posisi). Kelak ketika seorang anak manusia meninggal dunia, posisi lima hari pertama dan posisi lima hari kedua itu mempunyai makna tersendiri. 

Lima hari setelah seseorang meninggal dunia dibuatlah upacara gholeh atau pindah posisi yang di dalam ritus kematian disebut ritus haung ta’a/saung ta’a. 

Orang Manggarai percaya bahwa lima hari pertama (untuk orang dengan seki lima atau larangan lima hari) jiwa orang yang meninggal masih tinggal di sekitar kampung. Karena itu, di tempat dia meninggal sesekali diberi makanan dan minuman seperti sirih-pinang atau rokok karena diyakini bahwa dia masih berada di situ. 

Tetapi sesudah ritus haung/saung ta’a, roh orang yang meninggal itu pindah ke dunia orang mati. Haung/saung ta’a adalah simbol kehidupan. Selama lima hari pertama sesudah kematian, orang-orang sekampung tidak boleh pergi kerja kebun (lontong).

Tetapi setelah ritus haung/saung ta’a, orang boleh ke kebun membawa kembali sayur-sayur segar (haung/saung ta’a) ke rumah. Daun segar atau haung/saung ta’a itu adalah simbol bahwa orang yang meninggal itu telah mempunyai kehidupan di dunia orang mati. 

Pada hari ke sepuluh untuk orang yang seki lima atau hari ke delapan untuk seki pat, dilakukan ritus sear sumpeng/cear sumpe. Di tempat lain ritus itu dinamakan ritus wa’u wa tana

Di dalam ritus tersebut, anak itu diperkenalkan kepada keluarga besar dan secara formal menjadi anggota suku dan sejak hari itu, dia menjadi makhluk sosial.

Keanggotaan anak itu dalam suku secara indah dilukiskan dalam istilah wa’u wa tana yang berarti turun ke tanah (turun dari cumpe/sumpeng). Tetapi wa’u juga berarti suku. Dengan mengikuti ritus wa’u wa tana, anak secara resmi menjadi anggota wa’u atau suku tertentu. 

Sementara hari ke sepuluh untuk orang seki lima, di kemudian hari ketika orang meninggal, dijadikan hari pesta kelah/ kelas atau kenduri. Dahulu kelah-kelas dibuat pada hari kesepuluh untuk orang seki lima dan hari ke delapan untuk orang seki pat

Kalau pada hari ke sepuluh setelah sear sumpeng anak itu telah menjadi anggota suku atau wa’u, maka demikian pun hari kesepuluh ketika diadakan ritus kelah-kelas, jiwa orang yang meninggal itu sudah menjadi anggota suku (wa’u) keluarga besar yang sudah meninggal. 

Pada waktu itu terjadilah perpindahan keanggotaan warga – hale mai wae ghia, se mai wae ite (Dia berada di seberang kali dan kita berada di sebelah sini kali). 

Setelah sear sumpeng selesai dilaksanakan, ritus dilanjutkan dengan ritus pemberian nama kepada sang bayi. Ada bermacam-macam praktik yang dilakukan di berbagai wilayah di Manggarai tentang ritus pemberian nama ini. 

Sebelum ritus pemberian nama dilakukan, anak itu belum bisa dipanggil dengan nama tertentu walaupun nama itu sudah disiapkan. 

Ada praktik di mana disiapkan beberapa nama. Tetapi ayah yang menentukan nama anak itu setelah empat orang pertama coba memilih nama anak itu. Tetapi dalam kesempatan yang ke lima, sang ayahlah yang memberikan nama. Sekali lagi, angka lima melambangkan kesempurnaan.

Namun, ada juga praktik di mana nama dipilih berdasarkan kehendak wujud tertinggi dengan melakukan teka nampo (melakukan tebakan). Biasanya buah pinang dibelah dua. Kemudian dilemparkan ke atas.

Kalau dua belahan tebuka ke atas, maka dia diberi nama X. Kalau dua-duanya tertutup dia diberi nama Y. Kalau satunya terbuka dan satunya tertutup, bayi itu diberi nama Z. Kalau setelah nama itu digunakan, dan ternyata anak itu sakit-sakitan, maka namanya bisa diganti lagi.

Ketika anak dibawa keluar rumah dan ditampilkan atau ditunjukkan kepada semua warga kampung, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. 

Sebelum anak itu ditunjukkan kepada warga kampung, rambutnya dipotong sedikit dan demikian juga kuku kaki dan dan kuku tangan. Kemudian rambut dan kuku-kuku itu diletakkan di atas ubun-ubun agar anak itu tidak menangis ketika dibawa keluar rumah. 

Orang Manggarai percaya bahwa anak yang menangis ketika dibawa keluar rumah berada dalam bahaya karena takut kehilangan jiwa - sama seperti padi yang takut terhadap perlakukan kasar orang-orang yang mengetam pada musim mengetam - dan hal tersebut bisa menyebabkan kematian yang prematur.

Guna menghindari kematian yang bisa datang tiba-tiba itu, wadah yang penyimpan air yang diletakkan di samping tungku harus tetap dijaga baik sampai anak itu dianggap sudah cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri. Air itu dipercayai memiliki kekuatan magis untuk bisa mempertahankan hidup anak itu. 

Di sini sekali lagi, orang Manggarai melihat hubungan yang kuat antara air, jiwa, dan kehidupan. Dalam kepercayaan orang-orang Manggarai, ubun-ubun itu sangat penting sehingga harus dijaga baik karena ubun-ubun adalah tempat di mana jiwa anak itu akan keluar apabila anak itu ketakutan. 

Itulah sebabnya, di Manggarai ada ritus-ritus yang disebut kukut wuwung yang dilakukan oleh anak rona (pemberi perempuan). Tujuannya adalah supaya jiwa atau roh tidak keluar dari anak itu melalui ubun-ubun (wuwung) dan menjamin bahwa anak itu bisa mencapai umur panjang.

Demikianlah beberapa ritus yang berkaitan dengan kelahiran seorang anak di Manggarai. Sebagaimana biasa, ritus biasanya lahir dari kepercayaan. Karena ada kepercayaan, maka ada ritus-ritus. Ritus-ritus mewujud-nyatakan secara simbolis apa yang dipercaya. 

Dari uraian-urain di atas, ternyata ritus-ritus dan simbol-simbol di sekitar kelahiran baru di Manggarai mempunyai banyak makna. Ritus-ritus itu tentu tidak akan dibuat lagi, tetapi semoga makna-makna dari ritus-ritus itu tetap dihidupi oleh orang-orang Manggarai. 

Kiranya narasi singkat ini membantu kita untuk semakin menghargai kekayaan filosofi orang-orang Manggarai yang tidak kalah dengan filosofi-filosofi yang berasal dari wilayah-wilayah lainnya.*

*)Bernard Raho, SVD adalah seorang pastor dari Ordo Serikat Sabda Allah (bahasa Latin: Societas Verbi Divini, disingkat SVD) kelahiran Manggarai, Flores NTT

Artikel Terkait
Artikel Terkini
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas