INDONEWS.ID

  • Sabtu, 25/07/2020 16:30 WIB
  • Indonesia Darurat Intoleransi, Sunda Wiwitan Tersingkir dari Tanah Sendiri

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Indonesia Darurat Intoleransi, Sunda Wiwitan Tersingkir dari Tanah Sendiri
Masyakat penganut kepercayaan sunda wiwitan yang berada di kaki gunung cermai membawa hasil bumi dalam upacara Seren Taun 22 Rayagung 1947 di Kuningan, Jawa Barat, 17 Oktober 2014. Acara tersebut merupakan ungkapan syukur atas suka duka dalam bidang pertanian. TEMPO/Nurdiansah

Jakarta, INDONEWS.ID - Masyarakat adat Sunda Wiwitan Paseban Cigugur, Kuningan, Jawa Barat harus menghadapi rencana eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri Kuningan yang akan dilakukan Kamis (24/8).

Masyarakat adat Sunda Wiwitan yang didampingi Ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) sebelumnya sudah meminta PN Kuningan untuk menunda eksekusi.

Cigugur sendiri merupakan pusat atau tempat lahirnya Sunda Wiwitan. Bahkan, karena jadi tempat lahir, Sunda Wiwitan kerap disebut sebagai agama Cigugur. Dari situ kemudian Sunda Wiwitan menyebar ke pelosok Jawa Barat, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Penganut ajaran ini menyebar di beberapa desa di daerah Provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, (Banten), Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok (Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Cirebon, dan Cigugur (Kuningan).

Edi S Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah I menyebut, Wiwitan mempunyai arti `pertama, asal, pokok, dan jati`. Maka Sunda Wiwitan bisa dimengerti sebagai agama Sunda asli atau Sunda awal.

Karena itu, Sunda Wiwitan adalah agama oleh banyak orang Sunda zaman dulu. Masyarakat tradisional Sunda yang menganut Sunda Wiwitan melakukan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur.

Meski Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam, namun pemerintah menetapkan Sunda Wiwitan bukan sebagai agama, melainkan hanya aliran kepercayaan atau animisme.

Dua Prinsip Ajaran

Dihimpun dari berbagai sumber, Sunda Wiwitan pada dasarnya mempunyai dua ajaran. Yakni `Cara Ciri Manusia` dan `Cara Ciri Bangsa`.

Prinsip `Cara Ciri Manusia` maksudnya unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur itu terdiri dari lima, yakni welas asih (cinta kasih), undak usuk (tatanan dalam kekeluargaan), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya).

Sementara prinsip `Cara Ciri Bangsa` dapat dipahami bahwa manusia memang memiliki persamaan, namun tetap ada banyak pula yang membedakan antarsesama manusia. Itu yang menjadi konsep prinsip `Cara Ciri Bangsa` yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.

Kedua prinsip itu tidak tertulis dalam kitab Sunda Wiwitan `Siksa Kanda-ng karesian`. Kedua prinsip itu justtu dijalani penganutnya secara tersirat, bukan tersurat di dalam kitab. Bagi mereka, apa yang tersirat yang bisa menjadi penuntun dalam menjalani kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua. Pertama, yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain. Kedua, yang bisa membahayakan diri sendiri.

Namun, seiring perkembangan zaman, ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Terutama untuk menghormati tempat suci dan keramat atau suci.

Menolak Tunduk

Kini, di pertengahan 2017, Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan Cigugur dihadapkan rencana eksekusi PN Kuningan. Mereka menyatakan menolak tunduk pada negara.

Salah satu anggota Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih mengatakan, eksekusi akan digelar pada pukul 08.00 WIB ini. Masyarakat adat menyatakan akan melawan eksekusi yang dinilai bertentangan dengan konsitusi ini.

"Kami tentu saja akan mempertahankan apa yang menjadi hak leluhur kami," kata Dewi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (23/8).

Mereka sebelumnya telah mendatangi kantor PN Kuningan agar rencana eksekusi lahan sengketa itu ditunda. Dalam protes itu, warga adat didampingi anggota ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI).

"Buat apa kami tunduk pada hukum negara ketika negara tidak menghargai hukum adat kami," ujar Dewi.

Pangaping Adat Sunda Wiwitan Okki Satria Djati berpendapat, eksekusi ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum. Pasalnya, lahan eksekusi tersebut merupakan zona cagar budaya nasional yang telah tercatat sejak 1976 di Departemen Kebudayaan dan Pendidikan.

Selain itu, amar putusan pengadilan dinilai diskriminatif dan cacat hukum karena meminggirkan nilai sejarah dan budaya di dalamnya. Lebih jauh, kata Okki, dalam objek sengketanya mengabaikan esensi hak hukum masyarakat adat.

Pihaknya pun menyerukan kepada seluruh jaringan budaya, adat, jawara, pesilat, pemuda, ibu-ibu dan perempuan untuk melawan proses eksekus. Mereka berharap seluruh elemen masyarakat peduli terhadap warga adat yang selama ini berkontribusi pada peradaban nusantara.

"Kami warga adat Karuhun Sunda Wiwitan sudah memutuskan lebih baik gugur membela wilayah adat kami dan akan kami buktikan," kata Okki dalam keterangan tertulis.*

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas