Jakarta, INDONEWS.ID --- Pemberian Bintang Mahaputra Nararya kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah sempat menimbulkan polemik. Tetapi apa motif Presiden Jokowi memberikan penghormatan kepada kedua figur kontroversial itu?
“Mungkin saja Jokowi ingin membangun legacy sebagai negarawan yang menghormati kawan dan lawan politik. Presiden ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu memisahkan antara urusan politik dengan urusan negara. Melalui peristiwa ini Jokowi sedang memberikan contoh agar kita membedakan antara perbedaan pandangan politik dengan urusan negara,” ujar pemerhati Sosial Politik dan Kebangsaan, Karyono Wibowo kepada Indonews.id, di Jakarta, Kamis (13/8).
Saat muncul kabar bahwa Fadli Zon dan Fachri Hamzah akan mendapatkan Bintang Mahaputra Nararya, memang membuat publik terkejut dan membuat geger dunia maya. Menurut Karyono, ada yang tidak percaya, bahkan seolah "menggugat" pemberian penghargaan yang cukup prestisius itu.
Dalam benak publik, sedikitnya ada dua hal yaitu pertama mempertanyakan apa jasa yang luar biasa dari kedua politisi tersebut. Hal kedua, adalah menghubungkan dengan sikap "nyinyir" kedua politisi itu khususnya terhadap pemerintahan Jokowi.
Menurut Karyono, soal penilaian jasa Fadli dan Fachri tentu sudah melalui sejumlah pertimbangan. Salah satunya mungkin dilihat dari pengabdiannya ketika mereka menjadi pejabat negara, yaitu wakil ketua DPR, dan sebagai wakil rakyat.
“Terkait sikap kritis kedua sosok tersebut terhadap Jokowi dan pemerintah atau sikapnya yang sering nyinyir merupakan persoalan tersendiri yang tidak otomatis menegasikan jasa-jasanya pada saat menjadi abdi negara. Perlu dibedakan antara sikap politik (kepentingan partai) dengan sikap kenegaraan,” ujarnya.
Perdebatan soal penganugerahan bintang jasa kehormatan tidak hanya terjadi kali ini. Bahkan tak jarang penganugerahan gelar pahlawan juga kerap mengundang perdebatan, pro dan kontra. Ada yang menilai layak dan ada yang menilai tidak layak dengan pelbagai pertimbangan dan alasan.
Pemberian Bintang Mahaputra Nararya kepada Fadli dan Fachri pun menimbulkan kontroversi. “Tapi pemberian penghargaan tersebut sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Kini Fachri Hamzah dan Fadli Zon sudah menerima Bintang Mahaputra Nararya. Biarlah rakyat yang menilai,” ujar Karyono.
Menurut Karyono, pemberian Bintang Mahaputra Nararya itu ibarat nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan yang muncul di benak publik sekarang adalah bagaimana sikap Fadli Zon dan Fachri Hamzah setelah mendapat penghargaan prestisius tersebut. Apakah masih nyinyir. Masih akan kritis terhadap Jokowi dan pemerintah.
Menjawab pertanyaan ini, katanya, kita perlu membedakan antara nyinyir dan kritis. Nyinyir dan kritis sama-sama merupakan kata sifat. Kata "nyinyir" menurut KBBI adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet. Sedangkan makna "kritis", menurut KBBI, dapat diartikan bersifat tidak lekas percaya; bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; tajam dalam penganalisisan.
Oleh karena itu, yinyir belum tentu kritis, dan kritis belum tentu nyinyir. Ada orang yang sekadar nyinyir tapi substansinya tidak mengandung unsur kritik. Ada juga orang yang kritis terhadap suatu masalah tetapi belum tentu nyinyir.
Nah Fadli Zon dan Fachri Hamzah ini dinilai publik memiliki kemiripan gaya berkomunikasi di ruang publik. Keduanya sama-sama suka nyinyir, sama sama memiliki sifat kritis.
Masalahnya, jika nyinyir itu sudah menjadi watak dan tabiat, maka sulit untuk mengubahnya. Beda jika sifat nyinyir tersebut hanya sekadar tuntutan peran seorang aktor politik atau sinetron/film. “Nah disini perlu diuji, apakah kenyinyiran Fadli dan Fachri ini watak atau sekadar peran. Mungkin waktu yang akan menentukan,” kata Karyono.
Karena itu, kata Karyono, sikap kritis itu justru baik untuk membangun demokrasi yang sehat. Pemerintahan dalam negara demokrasi perlu check and balances. Namun, yang perlu diperbaiki adalah cara-cara kritik yang kerap melampaui makna kritik itu sendiri.
“Kritik beda dengan caci maki. Kritik beda dengan fitnah. Maka dari itu, saatnya sekarang mengubah paradigma kritik destruktif menjadi kritik konstruktif agar energi demokrasi menjadi positif untuk memajukan bangsa dan negara yang penuh dengan tantangan,” pungkasnya. (Very)