Sukoharjo, INDONEWS.ID --- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah merupakan negara yang islami, yaitu negara yang menerapkan nilai-nilai Islam sebagai spirit hidup bernegara, dimana semua warga negara muslim dapat menjalankan keyakinan tauhidnya. Prinsip tauhid itu juga dapat dilaksanakan di dalam praktek hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Penegasan itu disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, KH. Drs. Muhammad Dian Nafi, M.Pd. Menurutnya bahaya bila ideologi khilafah tumbuh di Indonesia karena hanya akan menimbulkan perpecahan, disintegrasi hukum, diskontinuitas sistem sosial politik, dan akhirnya Indonesia hanya menjadi ‘pasar’ bagi kekuatan-kekuatan besar di dunia.
“Hampir semua rakyat Indonesia tidak setuju dengan ideologi khilafah. Persatuan Indonesia tumbuh dari kesadaran partisipatif semua elemen warga bangsa, bukan karena adanya paksaan sentralistik sebagaimana ditawarkan melalui sentralisme khilafah. Realitas itu sejak ratusan tahun silam telah membentuk watak demokratis pada warga masyarakat Indonesia yang bersatu karena kesetaraan (musawah), kemerdekaan (hurriyah), dan persaudaraan (ukhuwwah),” ujar Kiai Dian Nafi di Sukoharjo, Kamis (3/9/2020).
Menurutnya, hukum nasional di Indonesia dibangun secara gradual dari semua panduan utama yang hidup di dalam masyarakat bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Legislasi panduan-panduan utama hidup itu berlangsung secara musyawarah untuk menjadi hukum positif yang dihormati bersama.
“Peraturan perundang-undangan yang dibangun, berimplikasi luas dalam kehidupan sosial seperti perihal perkawinan, pengasuhan anak, hukum waris, zakat, infak, wakaf dan sengketa ekonomi syariah telah dapat diangkat menjadi regulasi yang lebih menjamin kepastian hukum bagi warga negara. Capaian pembangunan hukum serupa ini justru belum terbukti dapat dicapai saat Khilafah diterapkan,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret itu.
Ia menambahkan bahwa bangunan sosial politik bangsa Indonesia terbentuk melalui proses ratusan tahun setelah belajar dari pengalaman sejak masa kerajaan-kerajaan, penjajahan kolonial Barat, masa kebangkitan nasional, masa pendudukan Jepang dan akhirnya masa kematangannya mencapai kemerdekaan.
“Pahit getir konflik dan kerusuhan sudah dialami juga dan berujung pada pelajaran besar bahwa setiap kali sebagian masyarakat menjauh dari kesepakatan luhur hidup berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, maka aneka kesulitan itu menyeruak dan merusak kehidupan sosial politik,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Dian Nafi mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk mewaspadai ideologi khilafah dan ideologi-ideologi internasionalis lainnya. Karena hal tersebut dapat membawa ekonomi Indonesia kepada pasar bebas, yang merupakan agenda pokok kekuatan neoliberal.
“Gagasan sistem khilafah ini mengaburkan batas-batas nasional padahal kendali negara atas kesatuan ekonomi mutlak dibutuhkan, maka gagasan-gagasan yang mengaburkan batas-batas nasional itu patut diwaspadai membuka jebakan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar belaka bagi kekuatan-kekuatan neoliberal,” terang peraih gelar master Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ia mencontohkan negara-negara Timur Tengah yang pernah dieksploitasi sebagai lahan ujicoba sistem khilafah kini justru rusak tidak karuan.
Menurutnya ada kemungkinan tawaran sistem khilafah ini memang berangkat dari semacam halusinasi karena ketidakberhasilan untuk mengikuti kenyataan yang ada.
“Cara-cara berpikir yang dekat dengan realitas telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat memprakarsai Piagam Madinah. Piagam itu terbukti menginspirasi lahirnya konsitusi negara modern yang berbasis kepada negara bangsa atau nation state,” ujarnya.
Ia menuturkan bahwa cara yang bagus untuk mengerti bahwa ideologi khilafah tidak sesuai dengan ideologi bangsa adalah dengan penelusuran sejarah perjuangan bangsa dan pendalaman terhadap teladan Nabi Muhammad SAW di dalam merintis konstitusionalisme.
“Di lini kesatuan bangsa terus-menerus melakukan pendidikan kesatuan ideologi Pancasila dan bela negara. Di bidang komunikasi dan informasi melakukan literasi media kepada warga negara dan menghentikan penetrasi muatan-muatan pro-khilafah di berbagai media digital dengan terus-menerus meningkatkan daya pilih atau selektivitas warga masyarakat terhadap muatan-muatan ideologis yang berbahaya,” tuturnya.
Pria yang juga Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdatuh Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu juga berpesan agar pemerintah menguatkan kapasitas masyarakat agar tidak terkena paham intoleran. Juga membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan class action kepada ormas yang terbukti merugikan masyarakat dalam berbagai bentuk.
“Sanksinya bisa berupa teguran, peringatan, pembatasan ruang gerak sosial politik, pemberhentian dari status aparatur negara, pemberhentian sebagai pegawai Badan Usaha Milik Negara, pemenjaraan, dan kerja sosial,” ucap Dian Nafi.
Terakhir ia menyampaikan agar baik masyarakat dan pemerintah mengenali potensi-potensi masalah awal yang berkaitan dengan penyimpangan ideologis kemudian melibatkan mereka yang terindikasi terpapar ke dalam kegiatan kemasyarakatan untuk kemudian membantu mencari solusi.
“Kita bisa menyelenggarakan kegiatan yang menguatkan bakat dan minat generasi muda, melakukan konter-narasi terhadap ideologi menyimpang, menjauhkan mereka dari paparan-paparan memetika dan terminologi ideologi yang menyimpang, dan melakukan literasi ideologi Pancasila di era global,” pungkasnya. (Very)