INDONEWS.ID

  • Kamis, 08/10/2020 10:59 WIB
  • Menepis Pendapat Amien Rais (Bagian-2): DPD Hilang, DPA Muncul, Otda Batal

  • Oleh :
    • indonews
Menepis Pendapat Amien Rais (Bagian-2): DPD Hilang, DPA Muncul, Otda Batal
Mayjen TNI (Purn) Prijanto. (Foto: Sindonews.com)

 

Mayjen TNI (Purn) Prijanto*)

Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"

INDONEWS.ID -- Pembatasan : ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”.

Pembukaan UUD 1945

Baca juga : Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap

Dalam Pembukaan UUD 1945 sangat jelas, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Pemerintahan yang dipilih, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Konsensus kita, Pembukaan UUD 1945 dan NKRI tidak boleh diubah.

Bentuk negara dan  implementasi kedaulatan rakyat diatur dalam Batang Tubuh. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik ; dan Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Baca juga : Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik

Dalam pertarungan kepentingan politik global, untuk menguasai suatu negara, konstitusi merupakan sasaran. Indonesia masuk salah satu sasaran. Keterlibatan aktor internasional negara liberal kapitalis dalam amandemen UUD 1945 dengan dalih agar Indonesia lebih demokratis, adalah nyata.

United Nations Develepment Program (UNDP)  dan United State Agency for International Develepment (USAID) didukung LSM asing, Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) terlibat dalam amandemen UUD 1945.

Keterlibatan mereka tidak hanya masalah dana, tetapi juga konsep pemikiran pembaharuan. Mereka hadir dalam rapat. Mereka berkolaborasi dengan LSM domestik Centre for Electoral Reform (Cetro).  (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi).

Kita sudah merasakan, pemilihan secara langsung ala Amerika, ‘one man, one vote’, adalah hasil amandemen yang merusak sendi persatuan. Mari kita bahas bagaimana kaitan intervensi asing dalam amandemen UUD 1945 dengan implikasi yang disampaikan Amien Rais jika kita kembali ke UUD 1945.

 

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Untuk Apa?

Implikasi pertama yang disampaikan Amien Rais, DPD otomatis hilang, jika kembali ke UUD 1945. Amien Rais beranggapan DPD penting. Padahal, hilangnya DPD itu logis, UUD 1945 tidak mengenal DPD.

Kita kenal, lembaga DPD itu sebagai unsur negara serikat (federal). Padahal, Pasal 1 ayat (1) baik di UUD 1945 maupun  UUD 2002, Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Dengan demikian, DPD bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaan kritisnya, siapa pembisik harus ada lembaga DPD?  Intervensi asing kah? Untuk  pecah belah kita kah?

Walau DPD perannya belum sama  seperti Senat di Kongres Amerika Serikat, ini ‘embrio’ yang tidak sesuai untuk Negara Kesatuan. Upaya meningkatkan peran DPD secara perlahan, merupakan indikasi, konsepsi ‘sutradara’ untuk membangun DPD di Indonesia yang diinginkan belum selesai.  

Apabila dalih DPD untuk memberdayakan ‘Utusan Daerah’ harus lewat Pemilu dan dilembagakan, mengapa ‘Utusan Golongan’ tidak sekalian diberdayakan menjadi ‘Dewan Perwakilan Golongan’? Patut diduga dan dicurigai, pembentukan DPD ada maksud dan tujuan tertentu. ‘Nafas’ DPD berbeda dengan ‘Utusan Daerah’ yang dimaksud UUD 1945.

Mari kita cermati, ada Otonomi Daerah, DPD, ketidakharmonisan pusat dan daerah, pusat beroposisi dengan daerah dan sebaliknya, sumber kekayaan alam di daerah, dan pemilik modal di belakang pejabat yang didukung saat pemilihan. Kita bangun pertanyaan kritis, adakah benang merah rangkaian kondisi tersebut?

Apakah DPD embrio menuju negara federal agar asing mudah ‘bermain’ urusan sumber daya alam di daerah? DPD bisa mengajukan RUU terkait Otonomi Daerah. Sedangkan anggota DPD dan Kepala Daerah lewat Pemilihan langsung, membuka peluang kapitalis bermain. Kiranya cukup panjang untuk menyoroti DPD, apakah dari aspek kelembagaan, status, peran dan manfaatnya.

Satu hal yang pasti, kembali ke UUD 1945, otomatis DPD hilang, bukan kerugian dan  tidak perlu risau. Justru sistem ketatanegaraan yang kita pilih benar, menjaga Negara  Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Pentingnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA)

Nusantara ini awalnya kerajaan-kerajaan. Raja selalu punya unsur Penasehat, Mahapatih dan lain-lain. Dunia wayang, juga ada Penasehat yang memiliki pitutur luhur. Suritauladan dunia wayang adalah negara Amarta dengan penasehat Batara Kresna dan Semar.

Kresna seorang ksatria dan Raja. Semar seorang Punakawan abdi ksatria Pendawa. Komposisi ini menggambarkan Raja mendengarkan suara para  ksatria dan rakyat. Nilai budaya mengilhami ‘the founding fathers’ tidak saja dalam menentukan Dasar Negara, tetapi juga dalam ketatanegaraan, antara lain perlunya Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Presiden mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, memerlukan Penasehat.  Dewan Pertimbangan Agung inilah penasehat Presiden, sebuah badan di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apabila  undang-undang mengatur anggota DPA adalah tokoh-tokoh terpilih non Parpol, maka DPA akan memiliki independensi yang kuat.

Tugas DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945:  ”Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Ada kewajiban dan hak. Tugas ini sangat penting, khususnya ketika Presiden dalam tekanan Parpol atau legislatif.

Andaikan   DPA   ada,   seperti   masalah  Pilkada serentak Desember 2020 dan RUU yang jauh dari kepentingan rakyat, Presiden bisa mendapat masukan DPA dari perspektif kepentingaan rakyat.  Negara kita memang Republik bukan Kerajaan, namun agar pemimpin tidak otoriter dan salah keputusan, baik pemerintahan kerajaan maupun republik, tetap saja perlu ‘penasehat’.

Hal ini terbukti, pengamandemen juga berpikir, Presiden perlu Penasehat. Pengamandemen menghapus Bab IV UUD 1945 Dewan Pertimbangan Agung, selanjutnya menempatkan Pasal 16 di Bab III UUD 2002, Kekuasaan Pemerintahan Negara.  Disini terjadi keanehan dan tidak lazim. Bagaimana mungkin sebuah konstitusi ada Bab yang kosong atau hilang?

Pasal 16 UUD 2002: “Presiden membentuk satu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Tidak ada kata kewajiban dan hak. Dewan pertimbangan ini sebagai unsur eksekutif. Pertanyaannya, sejauhmana anggota dewan berani mandiri tidak takut kepada Presiden?

Dewan penasehat Presiden saat ini bernama Wantimpres didukung Staf Kepresidenan. Suatu saat nanti, bisa jadi, tidak menutup kemugkinan, dewan ini isinya orang-orang tertentu, sebagai lanjutan saat Pilpres. Produknya bisa ditebak, cenderung melindungi kebijakan Presiden atau pemerintah dan pencitraan bagaikan tim sukses.

Sedangkan DPA, sebagai Lembaga Negara yang independen, diharapkan memberikan masukan kepada Presiden dalam perspektif kepentingan negara. Sehingga Presiden tidak otoriter, tidak terkooptasi Parpol, memiliki bahan pertimbangan yang matang dan mandiri. DPA yang berperan bak Batara Kresna dan Semar. Kresna yang duduk sejajar dengan Raja Amarta, Yudhistira. Inilah pentingnya DPA dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945.

 

Pemerintahan Daerah di UUD 1945

Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal 18 UUD 1945: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Cuplikan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 di atas:

Daerah-daerah itu bersifat autonoom (steek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semua akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Mencermati hal di atas, pendapat Amien Rais, jika kembali ke UUD 1945, Otonomi Daerah (Otda) batal, sabagai pernyataan yang tidak ada dasarnya. Bagaimana mungkin Otda batal, sedangkan UUD 1945 mengamanatkan masalah Pemerintahan Daerah. Persoalannya terletak bagaimana undang-undang Otda harus memiliki nafas sesuai pasal tersebut sehingga tetap dalam bingkai NKRI.

Selanjutnya bagaimana implikasi terhadap keanggotaan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, jika kita kembali ke UUD 1945? Kedua implikasi yang disampaikan Amien Rais tersebut akan kita bahas pada bagian-3 rangkaian artikel ini. Semoga bermanfaat. Inya Allah, amin. [*] 

*) Penulis adalah ­­­­­­­­­­­­­­­Wagub DKI Jakarta 2007-2012, Pendiri Rumah Kebangkitan Indonesia, 7 Oktober 2020.

Artikel Terkait
Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"
Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap
Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik
Artikel Terkini
Jelang Musim Haji, MERS CoV di Arab Saudi Perlu Diwaspadai
PJ Bupati Maybrat Pantau Ujian Nasional 3 SD Terdalam di Aifat Utara
PNM Sosialisasikan Program Mekaar Pada Tokoh Masyarakat dan Pemuka Agama Serang
Pj Bupati Maybrat Hadiri Rapat Persiapan Penilaian Akreditasi Delapan Puskesmas
Peringatan Hari Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura ke-207
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas