INDONEWS.ID

  • Senin, 12/10/2020 11:24 WIB
  • KoDe Inisiatif: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Lantaran Sejumlah Pasal Zombie

  • Oleh :
    • very
KoDe Inisiatif: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Lantaran Sejumlah Pasal Zombie
Demo Omnibus Law. (Foto : Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Pasca pengesahan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) demonstrasi bermuculan untuk menolak pemberlakuan UU tersebut.

Baca juga : Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan

Publik memang sudah menyoroti naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja pasca diserahkan oleh pemerintah ke DPR. Salah satunya muncul dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif. KeDe mencatat ada 31 pasal inkonstitusional dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang berpotensi bertentangan konstitusi karena sudah dinyatakan inkonstitusional.

“Terdapat 29 UU (putusan pengujian UU, red) dari 79 UU yang telah diubah/dihapus dalam RUU Cipta Kerja pernah diujikan di MK,” ujar Koordinator Bidang Konstitusi dan Ekonomi KoDe Inisiatif, Rahmah Mutiara di Jakarta, seperti dikutip Hukumonline.com, Kamis (5/3/2020). 

Baca juga : Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi

Dia menilai pemerintah tidak mengindahkan putusan MK dengan masuknya pasal-pasal inkonstitusional dalam RUU Cipta Kerja tersebut. KoDe Inisiatif membagi ketidakpatuhan pemerintah terhadap putusan MK itu dalam tiga kategori.

Pertama, putusan MK tidak ditindaklanjuti. "Putusan MK tidak ditindaklanjuti dalam RUU Cipta Kerja atau norma-norma yang telah dibatalkan atau ditafsirkan MK tidak diakomodasikan dalam RUU Cipta Kerja," kata Rahmah.

Baca juga : Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi

Kedua, tindak lanjut putusan MK bersifat parsial atau hanya sebagian yang diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Ketiga, pasal yang telah dibatalkan MK karena dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dihidupkan kembali. "Muncul pasal-pasal zombie dimana pasal yang telah dibatalkan MK, dihidupkan kembali oleh pemerintah dalam RUU Cipta Kerja," ujarnya.

Beberapa putusan MK, katanya, dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja tersebut. Salah satunya, Putusan MK 005/PUU-I/2003 terkait Pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang membatakan Pasal 44 ayat (1), Pasal 62 ayat (1) dan (2) yang tidak diatur atau dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja.  

Selain itu, Putusan MK No.003/PUU-VIII/2010 terkait pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang membatalkan/menafsirkan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71, dan Pasal 75. Hanya Pasal 19 angka 22 dan Pasal 50 yang ditindaklanjuti.

“RUU Omnibus Law RUU Cipta Kerja inkonstitusional lantaran menghidupkan kembali pasal yang sudah tidak berlaku dalam putusan MK,” ujarnya.

Rahmah meminta pemerintah dan DPR membuka ruang seluas-luasnya untuk mempertimbangkan aspirasi publik terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung dengan RUU Cipta Kerja. “Mempertimbangkan setiap aspirasi secara adil dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan partisan atau golongan," kata Rahmah.

Dia menyarankan DPR dan pemerintah mesti mengkaji kembali implikasi dari semua pasal yang dinormakan dalam UU Cipta Kerja secara komprehensif. Sebab, dampak pengaturan UU Cipta Kerja sangat luas dan menyasar banyak sektor yang menyangkut hak warga negara.  

“DPR dan pemerintah harus benar-benar memperhatikan putusan MK demi memastikan konstitusionalitas RUU Cipta Kerja ini. Presiden dan DPR harus menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi dan memastikan materi muatan RUU Cipta Kerja mengakomodas tafsiran-tafsiran MK," sarannya.

Peneliti PuSaKo Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan jika mereka (pemerintah dan DPR) mau membuat UU baru seharusnya mematuhi putusan MK. Kalau hal ini terus dibiarkan, DPR melakukan pelanggaran konstitusi. Kalau ini tetap disahkan ini menjadi pelajaran hukum tata negara. Meskipun secara formal RUU ini bisa dibawa ke MK.

“Sepertinya, pasal yang telah dibatalkan MK dihidupkan lagi mereka mau mencoba-mencoba. Nantinya semoga DPR harus lebih detail lagi,” ujarnya.

 

Sentralisasi Ekonomi

Direktur Publish What You Pay Maryati Abdullah mengatakan seharusnya semua pengelolaan sumber daya alam dalam UU Cipta Kerja mengacu Pasal 33 UUD 1945. “Dikelola dan dikuasai dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 dimaknai upaya sentralisasi sumber daya alam pada pemerintahan pusat,” katanya.

Maryati menilai sentralisasi tidak menumbuhkan semangat konstitusi. Sebab, sentralisasi dalam pemberian izin dalam sektor sumber daya alam itu akan menurunkan kemandirian, responsibilitas ekonomi daerah menurun.

“Sentralisasi ini menurut saya tidak bagus karena akan menurunkan tingkat ekonomi daerah. Tak hanya itu, sentralisasi ekonomi ini akan menyebabkan illegal mining lebih banyak lagi,” katanya. (Very)

Artikel Terkait
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Artikel Terkini
Pemprov Papua Barat Daya Serahkan Bantuan Mobil Angkutan Umum untuk Pedagang Mama Papua di Maybrat
Rapat Koordinasi Nasional Bahas Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2024
Evaluasi Penanganan Pengungsi di Maybrat Menunjukkan Kemajuan Signifikan
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas