INDONEWS.ID

  • Senin, 21/12/2020 11:35 WIB
  • Tidak Terapkan Pasal Hukuman Mati dalam Kasus Dana Bansos, KPK "Bermain Mata" dengan Kekuatan Tertentu?

  • Oleh :
    • very
Tidak Terapkan Pasal Hukuman Mati dalam Kasus Dana Bansos, KPK "Bermain Mata" dengan Kekuatan Tertentu?
Juliari Batubara

Jakarta, INDONEWS.ID -- Juliari Batubara, dan para tersangka korupsi proyek bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Kemensos, saat ini bisa tersenyum sumringah. Betapa tidak, KPK hanya mengenakan sangkaan pasal suap selaku penerima, sesuai ketentuan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Ardian dan Harry ditempatkan selaku pihak pemberi suap hanya dikenakan sangkaan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU No. 20, Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga : Awarding Innovillage: Wujud Nyata Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Membangkitkan Talenta Digital Masa Depan

Koordinator TPDI Petrus Selestinus melalui siaran pers di Jakarta, Senin (21/12) menilai aneh alasan KPK hanya menjerat Juliari P. Batubara dkk. dengan pasal suap. Karena semua unsur pidana dan syarat bukti permulaan yang cukup sudah terpenuhi. Karena itu, KPK dipastikan tidak akan menerapkan pasal pidana mati sesuai harapan publik sesuai dengan komitmen awal Ketua KPK, Firli Bahuri.

“Padahal sesuai temuan penyidik KPK, diperoleh fakta bahwa kebijakan untuk korupsi dana bansos pandemi covid-19, didesain oleh Juliari P. Batubara dkk. dengan merekayasa pendirian PT. Rajawali Parama Indonesia (RPI) dan beberapa PT lainnya, pada Juli dan Agustus 2020, sebagai sarana untuk menyamarkan korupsi dan sekaligus pencucian uang,” ujar advokat Peradi tersebut.

Baca juga : Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya

“Jika KPK akhirnya hanya berhenti pada penerapan pasal suap sebagai patokan lantas mengabaikan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, hal ini pertanda KPK sedang berinvolusi menuju ke arah kemerosotan sistemik, dari semangat OTT untuk menerapkan hukuman mati, serta merta merosot hanya menerapkan pasal suap dengan ancaman pidana ringan,” tambahnya. 

Dalil KPK ini, kata Petrus, bisa melahirkan dugaan bahwa KPK sedang bermain dalam rana “simbiosis mutualisme” dengan kekuatan tertentu. KPK juga diduga memiliki agenda terselubung untuk meloloskan pelaku dari ancaman pidana mati. “Publik bisa bertanya ada apa dengan KPK, kok berubah dari galak mau menghukum mati, lalu merosot dan loyo hanya kenakan pasal suap yang ancaman pidananya ringan?” ujar Petrus.

Baca juga : Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78

Padahal pimpinan KPK beberapa kali menyatakan komitmennya untuk menghukum mati tersangka pelaku korupsi di saat negara menghadapi bahaya pandemi Covid-19. “Namun pada saat yang bersamaan KPK men-declare, hanya menerapkan pasal suap terhadap Juliari P. Batubara dkk, dan itu jelas mengecewakan publik karena lunturnya idealisme dan suburnya pragmatisme dalam penyidikan,” ujarnya.

 

Matikan Partisipasi Publik

KPK sendiri awalnya menjelaskan dan mengungkap fakta bagaimana rancang bangun korupsi dana bansos Covid-19 itu dirancang. Pada awalnya, kata KPK, sudah ada pembagian peran, antara peran swasta sebagai pemberi suap dan ada peran penyelenggara Negera sebagai penentu kebijakan sebagai penerima suap. Ini diawali dengan pendirian PT. RPI pada Agustus 2020. 

KPK menduga pemilik PT. RPI adalah Matheus Joko Santoso dkk. secara nominee berlindung di balik mekanisme Penunjukan Langsung, untuk memudahkan menyamarkan hasil korupsi melalui pencucian uang, mengorganisir kontrol transaksi, distribusi hasil korupsi dan pengamananya. 

“Oleh karena itu penerapan pasal ancaman hukuman mati sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagai suatu keniscayaan, karena unsur, melawan hukum, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, kerugian negara dan unsur terjadi pada saat negara dalam keadaan tertentu yaitu sedang menghadapi bahaya pandemi Covid-19, telah terpenuhi semua,” ujarnya.

Padahal KPK secara berturut-turut telah menunjukan kedigdayaan melalui OTT terhadap pelaku korupsi "big fish" dan "high rank", yaitu Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan RI) dan Juliari P. Batubara (Menteri Sosial RI), di saat pandemi COVID-19. Namun semua itu terdegradasi, ketika tersangka hanya dikenakan pasal suap minus pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Tipikor, yang mengacam pelaku dengan pidana mati. 

“Akhirnya yang dibuat mati oleh KPK bukan ‘koruptornya’ tetapi yang dibuat mati adalah semangat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, karena setiap OTT sumber informasinya dari masyarakat,” pungkas Petrus. (Very)

Artikel Terkait
Awarding Innovillage: Wujud Nyata Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Membangkitkan Talenta Digital Masa Depan
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Artikel Terkini
Awarding Innovillage: Wujud Nyata Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Membangkitkan Talenta Digital Masa Depan
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas