INDONEWS.ID

  • Sabtu, 26/12/2020 12:30 WIB
  • Nobel 2021 Untuk Presiden ke-7 RI: Setelah 6 Presiden Terdahulu Muspro

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Nobel 2021 Untuk Presiden ke-7 RI: Setelah 6 Presiden Terdahulu Muspro
Presiden Joko Widodo dan Logo Nobel Perdamaian

Oleh: Christianto Wibisono, Penulis Buku "Kencan Dinasti Menteng"

Opini, INDONEWS.ID - Hadiah Nobel Perdamaian yang sebetulnya sudah mau diberikan untuk Indonesia kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, selain Presiden Sukarno yang sukses mengembalikan Irian kembali ke pangkuan ibu pertiwi dengan jalan damai tanpa perang terbuka di tahun 1963.

Pada tahun 1993, sebetulnya Soeharto melakukan terobosan hebat dengan menerima sowan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di Cendana, langsung dari Halim Perdana Kusuma tanpa pengawalan. Rabin sedang ingin berdamai dengan Palestina, dan meminta restu Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok.

Ia juga akan sowan kedua kalinya ketika Presiden Soeharto berada di Markas Besar PBB (1993). Sayangnya, Soeharto tidak meningkatkan peranannya secara proaktif, padahal Yitzhak Rabin dan Shimon Peres sedang mengatur perdamaian dengan Yasser Arafat yang terwujud di Oslo, dan mereka bertiga mendapat hadiah Nobel Perdamaian 1994.

Habibie, sebetulnya layak dapat Nobel dengan memerdekakan Timor Timur, tapi karena penjarahan Dili pasca referendum dengan akibat masuknya pasukan PBB, maka Habibie malah akan kehilangan jabatan presiden di Sidang Umum MPR 1999.

Gus Dur dengan dinamika eksentriknya berani berkunjung ke Israel dan menjadi anggota Shimon Perez Institute berpeluang mendamaikan Israel Palestina. Salah satu kuartet jubir Presiden Gus Dur berrsama Wimar Witular dan Adhie Massardi adalah Yahya Staquf, kakak Menag Yaqut Quomas.

Staquf menolak dan memberi jabatan itu kepada adiknya lkarena masih ingin menerobot sebagai jurudamai Israel Pelestina.

Sebetulnya, ketimbang “nyelonong ke Afghanistan” ditawari mendamaikan Taliban, mantan wapres Jusuf Kalla yang sebetulnya memang layak dapat Nobel 2006 untuk Perdamaian Helsinki, lebih efisien bila koalisi Staquf Kalla bisa dapat Nobel 2021 bila Indonesia sukses jadi jurudamai dan meninggalkan jebakan “Lebih Arab dari Arab”.

Tahun 1952 RI tolak Israel dan Taiwan ikut Asian Games IV di Jakarta. Akibatnya kita diskors tidak boleh ikut Olimpiade Tokyo 1964 tapi negara negara Arab tetap berlenggang kangkong ikut Olimpiade Tokyo 1994 bersama Israel. Karena itu Bung Karno sangat sedih karena air susu tidak berbalas.

Maka tepat Langkah Presiden Megawati yang menolak desakan Amien Rais untuk membatalkan kunjungan ke Amerika Serikat bertemu Presiden George W. Bush sebagai presiden pertama yang masuk Amerika Serikat, seminggu setelah teror WTC, 11 September 2001.

Mestinya waktu itu juga Megawati bisa memperoleh Nobel bila bisa menapai Amerika Serikat dengan Timur Tengah.

Kumpul Kebo Presidenter – Parlemensial di Era Reformasi

Kondisi perpolitikan Indonesia dewasa ini ialah plesetan kombinasi 2 (dua) istilah baku presidensial vs parlementer.

Di Prancis, dipakai istilah kohabitasi karena memang mirip dengan Indonesia ada Presiden, tapi ada juga Perdana Menteri. Dulunya sering terjadi dua tokoh itu berasal dari partai yang beroposisi, maka disebut kohabitasi yang stagnan.

Tapi, di Indonesia yang terjadi ialah kumpul kebo, koalisi dan aliansi yang tidak loyal, doyan selingkuh dengan lawan politik, plin-plan sebentar menikmati kekuasaan sebagai menteri kabinet. Tapi, di DPR tetap voting anti kebijakan Pemerintah.

Terjadilah situasi dimana Presidensial memang letterlijk menjadi Presiden yang sial, atau Presiden yang gemetar terhadap parlemen yang sial(an).

Kondisi seperti itu dihadapi oleh semua presiden pasca Soeharto.

Habibie terguling karena dalam pengambilan suara, DPR menolak pertanggungan jawabannya. Dan termasuk banyak anggota Golkar sendiri ikut menolak Habibie, yang dianggap sebagai orang luar tanpa basis di dalam Golkar.

Gus Dur diangkat melalui persekongkolan Poros Tengah, mengingkari hak Megawati sebagai pemenang kursi parlemen terbanyak. Megawati tidak dapat berbuat banyak dalam pemerintahannya yang hanya bertahan 3 tahun 3 bulan.

Sementara, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi korban kalkulasi politiknya yang terlalu survival oriented, just passing the grade, pokoknya sekedar lolos dan lulus tidak dimakzulkan.

Pada termin pertama, dengan menggunakan jurus mengkudeta kubu oposisi, SBY mendukung Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (JK) mengkup Golkar hingga kabinetnya mulus di parlemen.

Tapi hal tersebut menjadikan dirinya seolah tersandera oleh Wakil Presiden yang pede dan lebih proaktif. Bisa dimaklumi, karena di DPR, kursi Golkar lebih banyak dari Partai Demokrat yang hanya 7%, sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, posisi seorang Wakil Presiden menjadi sangat assertif, percaya diri, bahkan tidak sadar menjadi matahari kembar menutupi sinar matahari pertama sang Presiden, yang secara pribadi merasa lebih memiliki kemampuan, dan merasa lebih superior dalam kapabilitas inteligensia.

Kompetisi tidak sehat itu menjadi salah satu sebab friksi dan kegagalan SBY-JK mengkapitalisasikan prakarsa perdamaian Aceh yang layak mendapat hadiah Nobel Perdamaian.

Skenario meleset dan Nobel Perdamaian melayang ke Mohamad Yunus dari Grameen Bank. Hal ini bisa terjadi, karena menjelang pengumuman Hadiah Nobel 10 Oktober 2005, Pemerintah melakukan dua langkah politik fatal.

Pertama, adalah eksekusi Tibo, meskipun Uni Eropa menulis surat resmi meminta penggantian hukuman mati dengan penjara. Walaupun begitu, kans mereka memenangkan hadiah Nobel masih ada. Seminggu kemudian, ketika Jusuf Kalla berada di Washington, para anggota Kongres AS masih memberi salam dan selamat sebagai calon penerima Nobel.

Tapi, seminggu sebelum pengumuman pada 4
Oktober, terjadi kesalahan langkah politik yang kedua: Polycarpus Budihari Priyanto, yang dianggap memiliki peran dalam membunuh Munir Said Thalid, seorang aktivis Hak Asasi Manusia, dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi.

Belajar dari pengalaman sejarah muspronya Hadiah Nobel dari 76 presiden, semoga di era Presiden ke-7 Presiden Jokowi bisa membentuk duet Staquf JK sebagai Utusan Khusus jurudamai Israel Palestina.

Bila belajar dari sejarah masa lampau, sudah layak bila semua negara mendukung hadiah Nobel Perdamaian 2021 untuk presiden RI ke-7. Kecuali kalau kita tidak mau belajar dari sejarah, dan selalu hanya mendaur ulang blunder sejarah masa lalu yang saying tidak bisa diubah lagi.

Kita hanya bisa menciptakan alternatif sejarah masa depan, tidak akan mungkin menghapus sejarah masa lalu. Yang sudah konyol menendang bola ke gawang sendiri, menyia nyiakan peluang emas Hadiah Nobel 6 kali, seharusnya kita tidak mengulangi untuk ke—7 kalinya.*

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Perjalanan Epik Menuju Rumah: Pengalaman Seru dari Ranca Buaya hingga Cibubur
Kenal Pamit` Kadispenau, Sederhana namun Meriah
Inspeksi Mendadak Pj Bupati Maybrat Ungkap Kondisi Memprihatinkan di Kantor Distrik Aifat Utara
Pj Bupati Maybrat Tinjau Puskesmas Aifat Utara, Puji Kinerja Dalam Penanganan Scabies karena Kutu Babi
Pj Bupati Maybrat dan Kapolres Tandatangani NPHD, Dukung Penerimaan Bintara Polri dari Maybrat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas