INDONEWS.ID

  • Sabtu, 30/10/2021 10:01 WIB
  • Mengenal Suku Boti dan Sistem Hukumnya yang Memanusiakan Manusia

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Mengenal Suku Boti dan Sistem Hukumnya yang Memanusiakan Manusia
vSuku Boti (Foto: Kompasiana)

Oleh Risno Pakur

Jakarta, INDONEWS.ID - Hi guys, kali ini kita akan membahas suku Boti. Saya yakin pembaca masih belum familiar dengan eksistensi suku yang satu ini.

Baca juga : Jateng - Indonesia Berbasis Kualitas Otonomi Daerah, Sistem Hukum Nasional, dan Pertahanan Negara

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang eksistensi suku yang satu ini, pastikan teman-teman dalam keadaan yang baik dan sehat selalu ya dalam kondisi dunia yang sedang sakit ini.

Jadi begini teman-teman semuanya, suku Boti ini berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di tengah hamparan padang sabana dan pegunungan yang luas, kabupaten ini menyimpan banyak sekali keanekaragaman budaya masyarakat adat yang dianut.

Di kabupaten yang berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa ini, dahulu terdapat beberapa kerajaan kecil. Salah satu yang masih tersisa hingga kini adalah Kerajaan Boti yang mendiami kawasan pegunungan di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli Pulau Timor, Atoni Metu. Wilayah kerajaan Boti terletak sekitar 40 kilometer dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan, So’e.

Secara administratif kini menjadi desa Boti Kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, Desa Boti tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman.

Berjalannya perputaran roda waktu seakan tidak menyentuh Kerajaan Boti. Warga Boti hingga kini masih hidup dalam kesahajaan dan tetap memegang teguh pada tradisi leluhur mereka. Kehidupan warga Boti hingga kini masih bergantung pada kerasnya alam daratan Pulau Timor.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan.

Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda. Mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah juga dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggulungnya seperti konde.

Penganut Monogami

Meskipun pembagian peran sudah jelas antara warga suku Boti, ada hal yang berbeda dan unik yang dianut masyarakat adat setempatnya. Warga suku Boti menganut mogogami, yaitu system pernikahan yang dimana pihak laki-laki hanya dan diwajibkan hanya memiliki seorang istri.

Tentunya hal ini berbeda dan berlawanan dengan paham yang menganut system perkawinan poligami. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah juga dilarang memotong rambutnya.

Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi berupa tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika.

Pelanggar harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti.

Boti dan Hukum Progresif    

Ada satu pengalaman dan cerita yang unik datang dari warga suku Boti ini yakni di desa ini tidak ada pencuri. Jika ada dan ditemukan perbuatan mencuri, maka pelaku tidak akan digebuk warga.

Melainkan warga akan memberinya modal untuk memenhui kebutuhannya. Terasa unik ya guys, hal ini berbeda dengan perlakuan masyarakat ibu kota yang kebanyakan menonjolkan budaya main hakim sendiri.

Untuk teman-teman mahasiswa ataupun sobat yang punya latar belakang studi ilmu hukum, mari kita coba mengkaji hal ini dengan lebih cermat.

Kita ketahui bahwa system sanksi hukum di negara  kita cenderung mengarah kepada budaya sanksi yang menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Dari tujuan pemidanaan saja sudah terlihat budaya sanksi yang dibangun. Mari kita kembali ke cerita awal tentang sangsi pencuri tadi. Jika kita bandingkan dengan teori pemidanaan yang dicetuskan oleh Kant dan Hegel tentang Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien).

Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak. Bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).

Sebagaimana yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.

Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Tujuam dari pada pembalasan ini adalah untuk menciptakan efek jera terhadap pelaku kejahatan.

Tentunya, konsep ini berbeda dengan system hukum suku Boti dimana pendekatan sanksi lebih kepada menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan prinsip kebaikan yang dianut oleh masyarakat adat setempat.

System hukum suku Boti ini cenderung mirip dengan tujuan penerapan hukum progresif yang tidak menekkanan pada konsep pembalasan namun cenderung memanusiakan pelaku kejahatan.

Lalu, bagaimana dengan hukum progresif ala Satjipto Rahardjo? Telah kita ketahui bersama bahwa hukum progresif lebih mengutamakan sisi kemanfaatan dari keberadaan hukum itu sendiri. Singkatnya,’’hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.

Direktur Satjipto Rahardjo Institute, Prof Suteki mengatakan tak mudah menjawab hukum progresif per definisi. Karena ia adalah hukum yang terus berkembang.

Almarhum Prof Tjip menyebut hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, legal science is always in the making.

Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya.

Hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif mendudukkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis. Jadi, hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil.

Hukum progresif bukan hanya taat pada formal prosedural birokratis tetapi juga material-substantif. Tetapi yang tak kalah penting adalah karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba materi.

“Hukum itu harus berhati nurani". Prinsip-prinsip demikian sudah lahir dan dijalankan oleh suku Boti. Bayangkan saja guys, bagi warga desa ataupun orang luar kerajaan Boti jika ketahuan mencuri hewan di wilayahnya, raja tidak serta merta memberi sansksi jera ataupun represif malah sebaliknya raja suku Boti malah memberi modal untuk hidup. Ya bisa sa saja pencurinya diberi hewan untuk digunakan menafkahi keluarga pencuri bijak bukan?hehehe. Inilah system hukum yang bertitik tolak dari hati Nurani dan memanusiakan manusia. Gracias suku Boti

Artikel Terkait
Jateng - Indonesia Berbasis Kualitas Otonomi Daerah, Sistem Hukum Nasional, dan Pertahanan Negara
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas