INDONEWS.ID

  • Selasa, 09/11/2021 16:15 WIB
  • Sejumlah Tokoh Desak BPK Audit Uang Publik Akibat Terbitnya Peraturan Wajib Tes PCR

  • Oleh :
    • very
Sejumlah Tokoh Desak BPK Audit Uang Publik Akibat Terbitnya Peraturan Wajib Tes PCR
Tes PCR. (Foto: Ilustrasi Suara.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Sejumlah tokoh dari sejumlah lembaga mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit uang publik sebagai akibat dari terbit dan terealisasinya aturan wajib tes polymerase chain reaction (PCR) yang telah berimplikasi besar terhadap masyarakat.

Desakan itu dilakukan melalui surat yang ditulis kepada BPK yang juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR RI, dan Ketua DPD RI.

Baca juga : Penyelundupan 560 Liter BBM Subsidi Digagalkan Pos Siliwan Satgas Yonif 742/SWY di Perbatasan RI-RDTL

“Kewajiban test PCR bagi pengguna moda transportasi udara dan atau pasien yang akan mendapat tindakan medik, telah berimplikasi terhadap bertambahnya beban belanja masyarakat sekitar 23 (dua puluh tiga) triliun rupiah. Menurut kami, disaat perekonomian melemah serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat, sehingga patut untuk menyebut bahwa timbulnya beban tersebut adalah sesuatu tindakan yang tidak adil,” ujar Iskandar Sitorus dari LBH Kesehatan, Junisab Akbar dari Indonesian Audit Watch – IAW, Haris Rusly Moti dari Petisi 28, dan M Hatta Taliwang dari Institut Ekonomi Politk Soekarno Hatta melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (9/11).

Menurut sejumlah tokoh tersebut, Undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dalam pertimbangnya menyebutkan bahwa keuangan negara adalah salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca juga : Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas

Sehubungan dengan adanya temuan berupa dugaan telah terjadi sesuatu kondisi dimana terafiliasinya beberapa individu penyelenggara negara, yakni pada posisi pembantu Presiden, yang berperan melahirkan aturan wajib test tersebut ternyata ikut dalam putaran bisnis import sampai dengan tata kelola test PCR, maka LBH Kesehatan bersama Indonesian Audit Watch (IAW) dan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta beserta Petisi 28 memohon kepada BPK RI agar menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara guna mengaudit hal yang disampaikan di atas.

Seperti diketahui, Surat Keputusan Presiden  nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi WHO yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Disebutkan juga bahwa  semua instrumen pelaksana harus mempertanggung-jawabkan segala sesuatu kepada Presiden.

Baca juga : Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran

Surat Keputusan Presiden nomor 7 tahun 2020 itu diurai ke dalam turunan peraturan yang diterbitkan oleh para pembantu Presiden, baik Menteri terkait dalam surat itu dan atau Satuan Tugas Covid-19. Pada uraian-uraian didalamnya salah satunya mengatur tentang metode medis PCR, yaitu metode pemeriksaan dengan mendeteksi DNA virus untuk mendapatkan hasil apakah seseorang positif atau tidak Covid-19.

Patut dicatat, dari perspektif epidemiologi/penyebaran sesuatu penyakit, maka tes PCR untuk pelaku perjalanan bukan sesuatu tes tertarget, melainkan hanya pengujian secara acak. Idealnya, tes harus dilakukan tertarget, yaitu terhadap orang yang bergejala guna kepentingan pengendalian sebaran penyakit. Jadi, sesungguhnya mobilisasi masyarakat tidak terkait dengan tes PCR.

Para tokoh tersebut mengatakan, tes PCR untuk pencegahan COVID-19 hanya tepat bila dilakukan secara ketat terhadap pelaku perjalanan lintas negara. Itu bertujuan untuk mencegah strain atau jenis virus baru yang masuk ke Indonesia yang berasal dari luar negeri.

“Sudah menjadi pengetahuan publik tentang perspektif epidemiologi dan ketepatan tes PCR, namun ternyata para pembantu Presiden tetap menerapkan wajib tes PCR terhadap pengguna moda transportasi udara dan bagi pasien yang akan dilakukan tindakan medik di sarana pelayanan kesehatan,” ujar para tokoh tersebut.

Dampak dari terbitnya aturan itu jadi menempatkan masyarakat pengguna moda transportasi udara didalam negeri dan pasien, harus mengeluarkan uang/anggaran untuk tes PCR.

“Diduga hampir 29.000.000 (dua puluh sembilan juta) kali tes PCR telah terjadi. Tentu didalam kewajiban tes PCR itu termasuk juga tes yang dilakukan oleh instansi pemerintah (yakni institusi sektor kesehatan dan Satgas Covid-19 diberbagai lini) terhadap masyarakat, seperti di tempat-tempat isolasi. Dan juga terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang diwajibkan untuk tes PCR dengan menggunakan biaya uang negara/pos anggaran penanganan Covid. Sehingga alokasi dana penanganan Covid-19 terkhusus pembayaran biaya tes PCR wajib diaudit sebagai pintu masuk audit terhadap keseluruhan kewajiban tes PCR sesuai aturan-aturan tersebut,” ujar para tokoh tersebut.

 

Harga yang Tinggi

Para tokoh tersebut mengatakan test PCR juga terus dikritik publik karena harga yang tinggi. Yang semula secara umum untuk sekali tes dikisaran Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) terus berulang berubah ubah sampai dengan harga dikisaran Rp. 275.000 (dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Perubahan-perubahan harga ini, menurut sejumlah tokoh tersebut, bisa menjadi salah satu pintu bagi auditor keuangan negara sebab menjadi bahan untuk mencocokkan terhadap pemeriksaan penggunaan dana Covid-19 yang diperuntukkan untuk biaya tes PCR.

“Itu semua menunjukkan bahwa ada hal-hal yang patut untuk diketahui publik. Yakni, mengapa sampai sedemikian yang terjadi sehingga harga bisa dengan mudah diturunkan. Bahkan harga itu menjadi seperti diluar kelaziman padahal komponen pemeriksaan dalam penetapan batas tertinggi tarif PCR adalah bahan habis pakai berupa reagen hingga alat pelindung diri (APD) petugas laboratorium, komponen administrasi, serta biaya lainnya seperti biaya operasional mesin PCR dan listrik,” ujar mereka.

Selain dari selisih harga yang tinggi, entitas tersebut tentu sebagaimana lazimnya didunia bisnis akhirnya bisa mendapat valuasi. Baik karena performa kinerja bisnisnya, kontrak-kontraknya maupun kerelasiannya.

Penyelenggara negara dan atau pengguna uang negara dibawah level Presiden dalam menata kelola tes PCR dengan kewenangan yang sesungguhnya pantas untuk dikaji/ dianalisa. Karena hal tersebut tidak pantas  dilakukan.

“Karena hal seperti itu tidak lazim di negara lain. Akibat dari produk kewenangan yang menggiring mobilisasi uang publik mengakibatkan hilangnya potensi penggunaan uang masyarakat untuk keperluan lain sekitar Rp 23 triliun menjadi digunakan membiayai tes PCR. Uang sebesar itu sangat signifikan jikalau dipergunakan rakyat untuk membantu perekonomiannya. Bukan malah terkonsentrasi pengumpulannya ditangan sekelompok entitas korporasi,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait
Penyelundupan 560 Liter BBM Subsidi Digagalkan Pos Siliwan Satgas Yonif 742/SWY di Perbatasan RI-RDTL
Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas
Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran
Artikel Terkini
Penyelundupan 560 Liter BBM Subsidi Digagalkan Pos Siliwan Satgas Yonif 742/SWY di Perbatasan RI-RDTL
Lepas Suhajar sebagai Sekjen Kemendagri, Mendagri Apresiasi Kinerja dan Loyalitas
Purna Tugas sebagai Sekjen Kemendagri, Suhajar Sampaikan Terima Kasih kepada Mendagri dan Jajaran
Pj Bupati Maybrat hadiri Acara Pengantar Tugas Sekjen Kemendagri
Mendagri Lantik Suhajar sebagai Wakil Rektor IPDN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas