INDONEWS.ID

  • Rabu, 16/02/2022 11:49 WIB
  • Hukuman Seumur Hidup untuk HW, ICJR: Pemulihan Korban Terabaikan dalam Sistem Hukum Indonesia

  • Oleh :
    • very
Hukuman Seumur Hidup untuk HW, ICJR: Pemulihan Korban Terabaikan dalam Sistem Hukum Indonesia
Pemerkosaan. (Ilustrasi Liputan6.com)

Jakarta, INDONEWS.ID – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung membacakan secara terbuka putusan terhadap Herry Wiryawan (HW), pelaku pemerkosaan 13 anak di Bandung pada Selasa (15/2). Dalam putusan ini, Majelis Hakim menyatakan HW bersalah dan menjatuhkan pidana berupa pidana penjara seumur hidup.

Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan restitusi yang pemenuhannya dibebankan kepada KPPPA atas kerugian yang diderita oleh korban.

Baca juga : Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora

“ICJR memberikan apresiasi pada usaha hakim dalam putusan ini, namun masih ada masalah yang lebih rumit. Dalam situasi ini, maka Skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara makin mendesak untuk diatur,” ujar Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (15/2).

Maidina mengatakan, ICJR mengutuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan berempati pada korban dan juga keluarganya atas peristiwa ini. “Namun putusan ini merefleksikan fenomena yang jamak terjadi di Indonesia belakangan terutama di dalam kasus kekerasan seksual dan kasus yang melibatkan anak-anak, bahwa negara hanya berfokus kepada penghukuman terhadap penghukuman keras bagi pelaku, tanpa melihat hal yang seharusnya semenjak awal menjadi fokus di dalam kasus, yakni pemulihan bagi korban,” ujarnya.

Baca juga : PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok

Maidina mengatakan, carut marut sistem pemulihan bagi korban berdampak pada ketidakjelasan hak yang dapat diperoleh korban ini tidak kunjung diperbaiki. Revisi UU Perlindungan Anak di tahun 2016 yang merupakan momen yang tepat bagi negara untuk memperbaiki kebijakan soal jaminan pemulihan korban, justru menghadirkan kebijakan kepada pelaku saja, dengan hadirnya “gimmick” seperti kebiri kimia dan pidana mati.

Salah satu permasalahannya adalah inkonsistensi pembentuk undang-undang dan APH serta Hakim dalam melihat posisi restitusi dalam sistem peradilan pidana. “Apakah restitusi merupakan respon pemulihan bagi kerugian korban atau sebagai bentuk pidana pada pelaku? Permasalahan ini ditemukan dalam kebijakan soal restitusi di Indonesia, mulai dari UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Perlindungan Anak hingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” katanya.

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

Jika dilihat dalam analisis historis tentang gerakan hak korban, katanya, harusnya restitusi dapat dilihat sebagi respons terhadap kerugian korban. Dengan adanya korban tindak pidana dan kerugian yang dialaminya, negara bertanggung jawab menyedikan pemulihan yang efektif, baik dibebankan kepada pelaku ataupun ditanggung oleh negara. Pemulihan bagi korban bukan sebagai bentuk penghukuman yang bergantung pada putusan pengadilan bagi pelaku.

Maidina mengatakan, ada catatan jika restitusi hanya dilihat sebagai penghukuman kepada pelaku, yaitu berlaku  ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. Dampaknya, korban menjadi tidak dapat memperoleh haknya ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku apabila hakim menjatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup.

“Maka dari itu, penegasan posisi dari restitusi atau setidaknya harmonisasi posisi restitusi di dalam perundang-undangan pidana perlu untuk segera dilakukan,” imbuhnya.

 

Bebankan Restitusi kepada Pihak Ketiga

ICJR memberi apresiasi pada usaha hakim dalam putusan ini. Namun masih ada masalah yang lebih rumit karena HW dituntut dengan pidana mati oleh Penuntut Umum, namun hakim menyatakan penjatuhan restitusi tidak dimungkinkan dengan mempertimbangkan Pasal 67 KUHP.

Menjadi rumit kemudian, Majelis Hakim melakukan ‘improvisasi’ dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Hal ini, kata Maidina, tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi yang dilakukan oleh pihak ketiga yaitu negara.

Korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi. Dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini. Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh Jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang.

“ICJR sepakat dengan ‘niat baik’ dari Majelis Hakim di dalam putusan HW dengan membebankan ganti kerugian untuk dibayarkan oleh negara. Sayangnya yang tidak disadari oleh Majelis Hakim, dengan ketiadaan kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sangat besar kemungkinan pada akhirnya restitusi ini tidak akan dibayarkan,” ujarnya.

“Sangat mudah bagi Pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia, karena memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban. Terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban,” tambahnya.

Seharusnya, kata Maidina, dengan melihat problem pemenuhan restitusi dan layanan korban dan memastikan komitmen negara menguatkan hak korban, negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk pemulihan hak korban.

“Skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara. Negara tetap bisa menerapkan sanksi finansial kepada pelaku tindak pidana, lalu mengolah hasil yang didapat untuk memenuhi hak korban, termasuk untuk membayarkan kompensasi dan memberikan layanan. Dana Bantuan Korban ini juga dapat diolah dari penerimaan bukan pajak negara,” katanya.

Karena itu, ICJR mendorong DPR dan Pemerintah untuk memengevaluasi, memperbarui dan memperkuat pengaturan tentang hak korban, mulai dari layanan korban hingga kejelasan restitusi dan eksekusi hak korban dalam KUHAP.

Kedua, mendorong Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk memperhatikan aspek pemulihan korban dalam penanganan kasus. Dalam putusan, MA wajib memberikan jaminan putusan pengadilan yang mempertimbangkan pemulihan Korban.

“Ketiga, Pemerintah dan DPR mengkaji segera skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund untuk masuk dalam KUHAP, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan undang-undang lain yang sedang dibahas seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas