INDONEWS.ID

  • Jum'at, 25/03/2022 07:55 WIB
  • Operasi Damai Cartenz (Operasi Damai): Logika Terbolak-balik

  • Oleh :
    • Mancik
Operasi Damai Cartenz (Operasi Damai): Logika Terbolak-balik
Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata-tata Negara, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - Papua tidak kunjung henti dengan kekerasan dan pelanggaran HAM, sejak Trikora dikumandangkan oleh Soekarno. Kekerasan demi kekerasan dilakukan, operasi demi operasi terus tetap dilakukan. Tindakan yang memberikan gambaran pada publik bahwa sangat susah orang Papua hidup damai walau di negeri-nya sendiri. Hal yang berbeda di jaman Belanda. Operasi yang dilakukan membuat rakyat mengungsi besar-besaran walau sudah di tahun 2022, seperti Nduga, Intan-Jaya, dll.

Baca juga : Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat

Atas dasar itu pula, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bukunya Papua Road Map telah merumuskan 4 akar masalah di Papua, yakni (1) masalah sejarah dan status politik Papua; (2) pelanggaran HAM; (3) Marjinalisasi; (4) Kegagalan pembangunan. Dalam semangat itu, LIPI menawarkan sebuah solusi dari beberapa solusi yakni Dialog. Dialog Jakarta-Papua kemudian dianggap jalan damai menyelesaikan masalah di Papua, karenanya Jaringan Damai Papua pun mendorong Dialog untuk mewujudkan Papua Tanah Damai.

Sayangnya, semangat mendorong Papua tanah damai melalui dialog Jakarta-Papua tidak pernah diindahkan walaupun Indonesia punya pengalaman berunding dengan Aceh. Mestinya Papua juga bisa dilakukan perundingan untuk mewujudkan Papua damai. Akan berbahaya jika terkesan penyelesaian masalah lebih dilihat hanya pada pendekatan ras. Semangat ini hanya bisa menimbulkan kejahatan terhadap ras (rasisme).

Baca juga : Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)


Logika Operasi Damai Cartenz, Damai Itu Tanpa Senjata dan Kekerasan

Jika bicara damai, tidak ada damai yang terjadi dengan senjata dan kekerasan. Damai itu selalu anti kekerasan dan anti senjata. Damai selalu didasarkan pada penghormatan pada kemanusiaan dan demokrasi. Atas semangat damai, dengan pendekatan damai, mestinya yang dikirim ke Papua adalah (1) Guru; (2) Dokter; (3) Pekerja kemanusiaan; dan (4) memastikan pelaksanaan hukum.

Baca juga : Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator

Terhadadap 4 hal subtansial tersebut, mengingatkan kita pada keberadaan Belanda di Papua, dimana, keberadaan Belanda mengedepankan pendekatan kebudayaan, humanis dan kerohanian, yang berdampak pada terciptanya Papua penuh damai. Kembali pada konteks logika damai, sarana menuju damai adalah Perundingan/Dialog sebagai bentuk demokrasi tertinggi. Mestinya, negara yang beradab selalu menemukan cara-cara humanis dalam mewujudkan perdamaian.

Jika membedah analogi operasi, kita dapat melihatnya dalam konteks kesehatan dalam pengertian arti kata. Dalam dunia kesehatan, operasi selalu ditujukan pada operasi terhadap masalah tertentu atau penyakit tertentu, seperti operasi batu ginjal, dan lainnya. Operasi selalu ditujukan pada objek tertentu yang menjadi problematika. Sehingga, jika ditarik pada operasi damai cartenz, sesungguhnya itu bias logika. Tidak ada operasi damai. Yang dioperasikan selalu problematika tertentu.

Dari makna dan analogi tersebut, operasi terhadap damai sesungguhnya adalah upaya mewujudkan hal yang tidak damai. Dan dapat kita lihat ada dua hal pengertian yang harus dilihat secara baik dan dapat dikritisi adalah (1) Damai tidak bisa dioperasikan, karena makna sesungguhnya sudah damai dan sudah selesai; (2) Damai selalu tanpa kekerasan dan tanpa senjata, serta yang dikedepankan adalah Dialog/ Perundingan serta pendekatan kemanusiaan. Letak logika terbolak-balik ada di sini.


Mau Wujudkan Damai, Jalannya Perundingan/Dialog Jakarta-Papua

Dalam sejarah, tidak ada operasi militer di Papua yang mewujudkan Papua menjadi damai. Dan jika kita lihat kembali perjalanan sejarah, satu-satunya Presiden yang bisa menciptakan Papua sedikit damai hanya-lah Gus Dur. Itu pun karena Gus Dur melakukan beberapa hal, yakni (1) pendekatan kemanusiaan; (2) militer dikembalikan ke barak; (3) demokrasi dibuka lebar; (4) memberi jaminan sebagai kepala negara terhadap keberadaan Papua dimana aspek kebudayaan diproteksi. Sayangnya, itu tidak bertahan lama. Andai Gus Dur saat itu mendorong perundingan untuk merumuskan Desentralisasi Asimetris dari 4 hal itu menjadi Undang-undang Khusus, mungkin damai itu sedikit terlihat.

Bertolak dari judul di atas, untuk mendorong perdamaian di Papua, perundingan sudah harus dilakukan antara Jakarta dan Papua. Jakarta melalui presiden sudah harus menunjuk special envoy, penanggungjawab politk (misalnya wapres), dan juru-runding. Pihak Papua juga, baik melalui ULMWP untuk sudah harus menyiapkan hal yang sama untuk mendorong upaya damai di Papua dengan memilih juru runding, walau dalam konferensi perdamaian Papua, rakyat Papua sudah memilih 5 (lima) juru runding mereka.

Jika semangatnya damai, mestinya sudah bisa dilihat dengan tahapan pra-perundingan/dialog seperti (1) penarikan militer non-organik; (2) operasi militer dihentikan; (2) Tapol dibebaskan; (3) Militer kembali ke barak; (4) Demokrasi dibuka lebar; (4) Pekerja kemanusiaan bebas masuk; dan lainnya. Dan pra tersebut sudah harus dilakukan kesepakatan bersama. Kalau operasi militer tetap jalan, Komisi HAM PBB dilarang masuk, penangkapan dimana-mana dan demokrasi ditutup, itu sama dengan tidak ada keinginan mewujudkan Papua tanah damai, tapi hanya memakai istilah yang seakan damai tapi faktanya bias.

Sudah saatnya, praktek konstitusi di Indonesia yang prinsipnya adalah pembatasan kekuasaan dan penghormatan pada hak asasi manusia sebagai dasar dari demokrasi dipraktekan untuk mewujudkan Papua tanah damai. Dan praktek tersebut dapat diukur dengan cara digelarnya Perundingan/Dialog Jakarta-Papua. Tanpa perundingan/dialog, hanya cerita omong-kosong.

*)Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata-tata Negara

Artikel Terkait
Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat
Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)
Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator
Artikel Terkini
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Korban Banjir Bandang di Sumbar
HOGERS Indonesia Resmi Buka Gelaran HI-DRONE2 di Community Park, Pantai Indah Kapuk 2
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas