INDONEWS.ID

  • Rabu, 13/04/2022 11:27 WIB
  • Ginandjar Kartasasmita: `Security Dilemma` dan Kepentingan Nasional Indonesia dari Konflik Rusia Versus Ukraina

  • Oleh :
    • very
Ginandjar Kartasasmita: `Security Dilemma` dan Kepentingan Nasional Indonesia dari Konflik Rusia Versus Ukraina
Prof Ginandjar Kartasasmita dalam acara Kuliah Umum Universitas Paramadina yang bertajuk “Security Dilemma” – Dan Kepentingan Nasional Indonesia dan Asia” (Belajar dari Kasus Rusia – Ukraina). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Konflik Rusia-Ukraine merupakan konflik ikutan paska bubarnya ideologi dan sistem politik komunis Rusia di bawah Perestroika Gorbachev. Kebijakan Gorbachev memicu disinterasi Uni Soviet yang berujung pada pemisahan 3 negara bagian utama USSR Belarus, Rusia dan Ukraina. Setelah masing-masing menjadi negara merdeka timbul ketegangan Rusia-Ukraina terutama dalam soal aset dan infrastruktur militer Uni Soviet yang banyak terdapat di Ukraina. Begitupun soal Etnis Rusia di Ukraina, dan isu Krimea (65,3% etnis Rusia).

Prof Ginandjar Kartasasmita dalam acara Kuliah Umum Universitas Paramadina yang bertajuk “Security Dilemma” – Dan Kepentingan Nasional Indonesia dan Asia” (Belajar dari Kasus Rusia – Ukraina) beberapa waktu lalu mengatakan agresi Rusia ke Ukraine adalah soal prinsip keanggotaan Ukraine dalam NATO, yang terbuka kemungkinannya setelah amandemen konstitusi Ukraina pada 2019.

Baca juga : Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora

“Rusia menganggap prospek keanggotaan Ukraina ke dalam NATO sebagai pelanggaran terhadap ‘garis merah’ Rusia dan ancaman terhadap keamanan Rusia. Sementara sebagian negara-negara eks USSR juga sudah bergabung ke dalam NATO,” ujarnya.

Menteri di era Orde Baru itu mengatakan, perang Rusia-Ukraine saat ini adalah penyelesaian sengketa model Abad 20 yang ditandai dengan dua kali Perang Dunia serta beberapa perang besar Korea, Vietnam, Afghanistan dan lain-lain. Terdapat ofensif satu negara ke negara lain dan menimbulkan korban jutaan warga sipil baik meninggal ataupun mengungsi.

Baca juga : PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok

“Padahal selama dua dasawarsa Abad 21 dunia telah semakin mengglobal baik hubungan antar negara, kehidupan individu dan sosial, ekonomi, politik telah disatukan oleh kemajuan teknologi digital dan komunikasi yang sangat pesat (Dani Rodrik, March 2022 pada buku Hyper Globalization, Harvard University). Berbagai model bisnis dan kegiatan ekonomi keuangan terinteraksi mendunia dengan berbagi aplikasi internet, sosmed dan aneka gadget. Di dunia politik, perangkat teknologi membuka pintu datangnya era ‘Demokrasi Digital’,” ujarnya.

Demokrasi, katanya, kembali ke arah demokrasi langsung seperti zaman Athena Yunani, namun saat ini demokrasi langsung difasilitasi oleh kemajuan perangkat teknologi komunikasi dan digital.

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

Dia mengatakan tidak ada lagi dua kutub ideologi yang berhadapan diametral, seperti pada era perang dingin. Rusia pun telah menjadi negara kapitalis. Sistem politik otoritarian tetapi sistem ekonomi kapitalis, sama seperti China. Konflik-konflik timur tengah, Laut China Selatan, Semenanjung Korea perang skala besar menjadi semakin dihindarkan, diganti oleh perang ekonomi, perang teknologi cyber war, sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

Karena itu, invasi Rusia ke Ukraine merupakan hal yang mengejutkan. “Hal itu merupakan bagian dari ‘Security Dilemma’ yang tidak lagi dapat membedakan tindakan ofensif dan defensif dalam melindungi keamanan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Bagi Barat, agresi Rusia adalah langkah ofensif tapi bagi Rusia adalah langkah Defensif terutama mencegah Ukraine melebur ke dalam NATO,” katanya.

Ginandjar mengatakan, kepentingan nasional Indonesia adalah agar konflik cepat berhenti dan perdamaian terwujud.

Hal tersebut karena, pertama, perang dan sanksi-sanksi ekonomi telah menyulitkan dan menekan ekonomi Indonesia dan ASEAN khususnya.

Kedua, berpengaruh terhadap posisi Presidensi Indonesia di G-20. Ketiga, risiko kenaikan harga-harga pupuk, gandum jagung, minyak dan gas yang telah langsung naik tinggi akibat invasi. Rusia produsen gandum terbesar dunia bersama Ukraine (supplier 30 % gandum dunia), Jagung dunia 13% dihasilkan Ukraine. 

Menurutnya, konflik peradaban sekarang adalah konflik peradaban Barat versus peradaban Timur. Namun mentalitas Rusia lebih banyak ke Timur, karena sebanyak 70% sikap mental Rusia mewakili peradaban Timur. Rusia tidak betul-betul Barat meski bersistem Demokrasi tetapi bukan demokrasi murni. Jika Rusia adalah negara demokratis, maka tidak akan terjadi invasi ke Ukraine karena harus menunggu izin parlemen Rusia.

“Zaman ke depan adalah abad yang dipimpin oleh China dengan kekuatan ekonomi dan teknologinya. Teknologi adalah kunci kemenangan peradaban saat ini,” ujarnya.

“NATO dulu dibentuk karena adanya PAKTA WARSAWA Uni Soviet cs. Namun kini eksistensi NATO sesungghnya tidak lagi diperlukan dan a historis karena Rusia sendiri telah menanggalkan ideologi dan sistem politik komunisme. Maka agresivitas NATO di Eropa Timur hanya akan memancing kemarahan Rusia,” pungkasnya.

 

Perisiapkan Konsiderasi Policy

Sementara itu, Dr. Shishkha Prabawanigtyas mengatakan, kejutan yang terjadi paska agresi Rusia ke Ukraine memunculkan pertanyaan apakah telah pecah dan bergesernya bangunan western trans Atlantik yang ditandai ketika Rusia membangun proxy dengan China.

Apakah hal itu juga sebagai bagian dari perjalanan value western yang dilihat oleh peradaban non barat sebagai peradaban hipokrit, dan mementingkan diri sendiri. Mungkinkah akan bergeser ke sebuah peradaban baru yang masih menyusun bentuknya sendiri.

Karena itu, katanya, masih menjadi pertanyaan besar, akan bergerak ke arah mana setelah sebelumnya ada clash antara Komunis dengan Demokrasi dan kemudian Demokrasi versus Otokrasi. Terjadi benturan nilai peradaban dan tarik-menarik antara sistem nilai demokrasi dan otokrasi, apalagi setelah terbukti sistem besar demokrasi tidak menjamin efektivitas negara ketika berhadapan dengan pandemic covid 19.  

Konsep “Security Dilemma” berawal dari pemikiran yang muncul pada era 1950 an yang mempunyai asumsi dasar berangkat dari proposisi bagaimana political realism (das sein) dibandingkan dengan Political Idealism (das solen). Konsep security dilemma secara khusus membahas paradigma kebutuhan negara akan rasa aman dari ancaman negara lain.

“Harus ada kebijakan yang tepat terkait kondisi yang di luar perkiraan terjadi ketika Indonesia sebagai Presidensi G20. Yakni ketika Rusia melakukan agresi kepada Ukraine. Konsiderasi policy harus dipersiapkan dengan narasi yang tepat karena Rusia telah menyatakan akan hadir pada sidang G20. Indonesia jelas berada pada beberapa pilihan pensikapan. Beberapa negara besar sudah menyatakan akan memboikot pertemuan G20 di Indonesia jika Rusia diizinkan hadir,” ujarnya. ***

 

 

 

Artikel Terkait
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas