Jakarta, INDONEWS.ID - Perhelatan politik menjelang pemilu 2024 sudah dimulai. Salah satu persoalan yang dari dulu menjadi pembicaraan publik yaitu mahalnya biaya untuk ongkos politik di Indonesia.
Mahalnya biaya politik tersebut tidak sebanding dengan pencapaian atau hasil yang diperoleh melalui pemilu. Misalnya, pemilu menghasilkan para tokoh berkualitas dalam bidangnya masing-masing.
Malah yang terjadi yaitu kita mendapatkan para tokoh, baik anggota DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah, hingga Presiden mediocre.
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli juga ikut berkomentar terkait mahalnya biaya politik di Indonesia.
Dia mengatakan, dirinya sepakat dengan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait mahalnya biaya politik.
Karena itu, kata Firli, biaya politik harus dibebaskan dalam pesta demokrasi sehingga para pemimpin yang dihasilkan tidak sibuk mengembalikan modal yang dipinjamnya dalam pencalonan. Mahalnya biaya politik tersebut berakibat para pemimpin politik terjebak dalam perilaku korupsi.
Dalam akun Twitter pribadinya, @RamliRizal, mantan Kepala Bulog itu mengatakan dirinya setuju dengan pandangan Filri.
Rizal Ramli mengatakan biaya yang dikeluarkan seorang calon bupati untuk ongkos politik untuk menyewa partai misalnya berkisar antara Rp30-60 miliar.
"Akibat ambang batas, sewa partai: 30-60 M untuk Bupati. 100-300 utk Gubernur, > 1 T utk capres," ujar Rizal Ramli dalam akun Twitternya.
Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan bahwa dirinya pernah merasakan mahalnya ongkos politik tersebut.
Ekonom senior ini bercerita ketika dirinya didorong menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dan calon presiden. Biaya yang diminta, katanya, sangat besar.
"Ketua KPK benar sekali," tulisnya.
Ia juga mengatakan bahwa akibat dari keberadaan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (Preshold) ongkos politik menjadi sangat mahal.
Karena itulah, Bang RR – sapaan Rizal Ramli – terus mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menurunkan ambang batas pencalonan. Bahkan, bila perlu ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen. Jika tidak maka kita akan mendapatkan pemimpin dengan kualitas yang biasa-biasa saja. ***