Jakarta, INDONEWS.ID –Indonesia dengan ideologi Pancasila selama ini dianggap kelompok neo-Khawarij kurang syar’i atau bahkan kafir dan thagut. Padahal sejatinya Pancasila adalah tiruan dari pembentukan negara Madinah yang dibangun Rasulullah. Selain itu, Pancasila dibangun berdasarkan ruh agama yang berdasarkan hukum Allah yang tertera dalam Al-Quran.
Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Dr. M. Najih Arromadloni berpendapat, guna meruntuhkan bangunan logika yang dibangun dari sisa fosil pemikiran Khawarij, dibutuhkan upaya revitalisasi kembali pendidikan tentang Pancasila. Khususnya terkait tudingan bahwa Indonesia merupakan negara kafir dan taghut karena berazaskan Pancasila bukan Islam.
“Kita perlu merevitalisasi kembali pendidikan tentang Pancasila, kesadaran tentang kebhinekaan, karena sebetulnya kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai itu yang tentu sudah sejalan dengan nilai-nilai agama,” ujar Dr. M. Najih Arromadloni di Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Dia melanjutkan, dengan upaya revitalisasi Pendidikan Pancasila maka dapat meneguhkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat, yang akan membawa bangsa ini merdeka dari virus intoleransi dan radikalisme.
“Karena sebetulnya kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai itu yang tentu nilainya tersebut juga sudah sejalan dengan nilai-nilai agama, maka sebetulnya pada momentum itulah dan pada titik itulah kita baru bisa merdeka dari virus intoleransi dan radikalisme itu,” jelas Sekjen Ikatan Alumni Suriah (Syam) Indonesia ini seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.
Karena itu, pria yang juga praktisi pesantren ini berharap, ke depannya agar tidak lagi muncul narasi konfrontasi antara agama dengan Pancasila maupun nasionalisme yang juga menyebut Indonesia sebagai negara thagut dan mengharamkan semangat nasionalsme serta cinta tanah air. Ia kembali menegaskan, bangsa ini harus merdeka dari narasi radikal anti-Pancasila, merdeka dari intoleransi dan radikalisme.
“Oleh karena itu kemerdekaan yang sejati adalah pada saat kita bisa menerapkan atau mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila pada kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sehari-harinya. Sehingga tidak boleh ada lagi yang mengatakan bahwa Pancasila itu tidak sesuai dengan syariat Islam,” tutur pria yang akrab disapa Gus Najih ini.
Untuk itu, Gus Najih menilai edukasi dan moderasi menjadi hal pokok yang penting dibutuhkan untuk menciptakan manusia Indonesia yang tangguh dan merdeka dari intoleransi serta radikalisme, sebagaimana tujuan bangsa salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan.
“Jadi memang saya kira harus ada semacam reformasi kultural yang tentunya bertujuan untuk menanamkan dan mengedukasikan nilai-nilai luhur bangsa, agar supaya kita bisa terlindungi dari virus intoleransi dan radikalisme itu sendiri,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, pria yang juga pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation ini memandang perlu adanya ketegasan pemerintah pasca 77 tahun kemerdekaan dengan berkomitmen terhadap penanganan intoleransi dan radikalisme, serta menghentikan pragmatisme politik terdahulu yang terkesan memfasilitasi maupun melakukan kompromi terhadap aksi intoleransi dan radikalisme.
“Pemerintah perlu bersikap tegas sebagaimana yang disampaikan oleh BNPT bahwa negara ini membutuhkan sebuah regulasi sebagai pijakan yang kuat, yang bisa digunakan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan secara lebih tegas terhadap persoalan intoleransi dan radikalisme ini,” kata Gus Najih.
Pasalnya, virus intoleransi dan radikalisme yang menyebar ke masyarakat, belum ada jangkauan undang-undang. Hal ini semakin membuat miris ketika, keberadaan kelompok Salafi Wahabi yang melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, hormat kepada bendera Merah Putih, bahkan menganggap bahwa perayaan hari kemerdekaan adalah suatu bid`ah yang mungkar.
“Tentunya narasi-narasi seperti ini harus kita lawan, karena kalau narasi-narasi seperti ini dibiarkan maka akan mendegradasi nasionalisme masyarakat kita. Ketika masyarakat kita sudah tidak punya patriotisme maka itu berarti adalah alarm kehancuran,” ujar Gus Najih. ***