INDONEWS.ID

  • Jum'at, 02/09/2022 20:08 WIB
  • Psikolog Pendidikan Beberkan Cara Menangkal Perundungan Demi Tumbuh Kembang Anak yang Baik

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Psikolog Pendidikan Beberkan Cara Menangkal Perundungan Demi Tumbuh Kembang Anak yang Baik
Psikolog pendidikan, Dra. Diennaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi

Jakarta, INDONEWS.ID - Kasus perundungan anak di sekolah menjadi semakin marak dan mengerikan. Bukan hanya perasaan sedih yang dirasakan, tapi juga marah, malu, cemas. Bahkan trauma jangka panjang sampai depresi berat, yang dalam beberapa kasus berakhir dengan bunuh diri.

Lebih menyedihkan lagi, korban perundungan bukan saja anak-anak yang dirundung, tetapi juga perundung maupun anak-anak di sekeliling yang tidak melakukan upaya untuk melerai atau menegur atau bystander.

Psikolog pendidikan, Dra. Diennaryati Tjokrosuprihatono, M. Psi mengungkapkan perundungan dapat dikategorikan dalam beberapa jenis. Antara lain perundungan verbal, fisik, sosial dan cyber.

"Yang menjadi korban perundungan adalah siswa yang dirundung, perundung sendiri, bystander atau anak lain di sekitar perlakuan perundungan yang tidak melakukan tindakan pencegahan," kata Diennaryati dalam sebuah webinar bertema "Perundungan Tanggungjawab Siapa dan Bagaimana Menangkalnya" pada Jum`at (2/9).

Lebih lanjut, Diennaryati membeberkan ciri-ciri anak yang menjadi perundung. Pertama adalah harga diri rendah dan membutuhkan pengakuan. Biasanya, anak tersebut ingin merasa ditakuti sebagai upaya memperoleh rasa aman.

Selain itu, anak tersebut memiliki kelebihan, misalnya dari segi fisik atau lainnya. Dulunya adalah korban perundungan yang tidak terselesaikan dengan baik, sehingga menimbulkan dendam.

Sementara ciri-ciri anak yang sering dirundung antara lain tidak memiliki kepercayaan diri, memperlihatkan kelemahan diri dan tidak memiliki kemampuan membela diri, memiliki kelainan atau ciri khusus yang berbeda dengan anak lainnya.

"Membiarkan dirinya dirundung tanpa mencoba melakukan pencegahan, berasal dari keluarga yang kurang terbuka, memiliki kerentanan psikososial, kurang populer daya tahan atau resiliensi rendah," beber Diennaryati.

Diennaryati juga membeberkan ciri-ciri bystander atau teman atau orang lain sekitar peristiwa perundungan. Cirinya memiliki nilai prososial yang rendah, takut outgroup dan cendrung mencari selamat karena harga diri rendah.

"Kurang memperoleh pendidikan nilai-nilai berkehidupan, berasal dari keluarga yang kurang terbuka, acuh dan apatis," tambahnya.

Dampak Perundungan bagi Anak

Lebih lanjut, Diennaryati mengungkapkan dampak yang terjadi pada anak yang dirundung antara lain menjadi tertekan dan ketakutan, trauma, konsentrasi belajar terganggu, menghindari sekolah dan sering merasa sakit psikosomatis.

"Anak yang dirundung juga menjadi malu dan merasa hancur, tidak percaya diri, isolasi sosial dan menarik diri dari pergaulan, memiliki rasa marah pada diri sendiri dan lingkungan serta mengalami depresi ringan hingga berat, bahkan dapat melakukan upaya bunuh diri," papar Diennaryati.

Adapun dampak bagi perundung adalah terbentuknya kepercayaan diri semu pada anak tersebut dan menganggap kekuasaan adalah segalanya. Selain itu, cendrung cepat marah dan sulit mengendalikan emosi, terutama jika keinginannya tidak terpenuhi.

Perundung memiliki kecakapan sosial yang rendah, tidak memiliki perasaan empati, toleransi atau penghargaan terhadap orang lain. Prestasi belajarnya terganggu karena terobesesi pada keunggulan fisik dan popularitas. Untuk jangka panjang, dapat berkembang menjadi perilaku agresif yang pada akhirnya merugikan kelanjutan pendidikan dan masa depan sang anak.

Penyebab Perundungan

Lebih jauh dalam forum tersebut, Diennaryati menyampaikan penyebab perundungan. Menurutnya, manusia pada dasarnya memiliki death insting di samping memiliki life insting.

Selain itu, perundungan juga disebabkan oleh hasil belajar sosial yang kurang baik dari lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Sehingga tidak memiliki perilaku psikososial.

"Nah, siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya perundungan. Ada keluarga, sekolah dan masyarakat," pungkasnya.

Pembentukan awal kepercayaan diri, harga diri dan konsep diri positif adalah keluarga. Sehingga, pola asuh orang tua yang cendrung otoriter dan banyak menghukum baik secata verbal, fisik, jelas Diennaryati, berdampak besar dalam pembentukan sikap anak.

"Dari penelitian Fakultas Psikologi UI disebutkan 47.3% orang indonesia tidak tahan stres, 69% menderita persoalan psikologis dan perempuan menderita stres dan depresi mencapai 75,34% lebih besar dari laki-laki. Sehingga anak ketularan perilaku orang tua yang kerap menjadikan anak sasaran kesalahan," ungkap Diennaryati.

Sementara sekolah sebagai lingkungan kedua sang anak, kata Diennaryati, terlalu fokus pada kegiatan kognitif semata. Bahkan apatis dengan kenyataan perundungan yang terjadi. Selain itu, sekolah kurang konsisten dalam menegakan disiplin dan role model dari para guru juga mempengaruhi sikap anak.

Adapun masyarakat, tambah Diennaryati, kurangnya film cerita, serial baik film besar atau televisi yang mengajarkan kehidupan bersosialisasi dan nila-nilai moral serta kebaikan. Tayangan yang mendukung diskriminasi ras, agama dan tidak menjalankan aturan hukum secara konsisten.

Tips Cegah Perundungan

Lebih jauh, Diennaryati menyampaikan beberapa cara atu tips sebagai upaya mencegah terjadinya peristiwa perundungan. Pertama adalah wellbeing. Menurutnya, anak harus memiliki rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, secara fisik dan mental serta memiliki kualitas hidup yang layak.

Kedua adalah perilaku prososial. Menurutnya, ini merupakan kemampuan anak untuk memberikan manfaat dan membuat nyaman orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti membantu, berbagi dan membuat nyaman. Kemampuan ini, lanjutnya, sangat penting untuk menyiapkan anak-anak agar dapat diterima dalam lingkungan sosialnya.

"Selain itu, orang tua juga harus mendidik anak-anak dengan prinsip 8K yakni kasih sayang, keteladanan, komunikasi dua arah, kenyamanan, kebersamaan, kesempatan, keunikan anak dan keadilan," tandanya.

"Sayangi anak kita dan berikan pendidikan yang baik dalam keluarga dengan mempertimbangkan wellbeing anak sebagai fondasi anak berhubungan dengan lingkungan luar demi masa depannya," ajak Diennaryati mengakhiri pemaparannya.*(Rikard Djegadut)

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Perkuat Binwas Pemerintahan Daerah, Mendagri Harap Penjabat Kepala Daerah dari Kemendagri Perbanyak Pengalaman
Mendagri Resmi Lantik 5 Penjabat Gubernur, Ada Alumni SMAN 3 Teladan Jakarta
Mendagri Resmi Lantik 5 Penjabat Gubernur
Kak Wulan Bikin Petani Mawar Nganjuk Punya Harapan Baru
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas