Penulis: Prof Tjandra Yoga Aditama (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes)
Pada 8 sampai 11 November 2022 diselenggarakan “High Level Meeting Tuberculosis 2022” di Surabaya. Pesertanya adalah pejabat pemerintahan lintas Kementerian, pemerintah daerah, lintas sektor dan mitra pengendalian tuberkulosis (TB) lainnya. Karena penyelenggara dan pesertanya adalah orang Indonesia maka sebenarnya bagus kalau nama pertemuannya dalam bahasa Indonesia saja ya, tidak perlu pakai bahasa Inggris.
Dalam pidato pembukaan pertemuan ini maka Menteri Kesehatan menyampaikan target utama bahwa sejak Januari 2023 harus ditemukan 60 ribu pasien TB setiap bulannya. Hal ini tentu amat penting karena menurut Global TB Report 2021 kita memang diperkirakan mempunyai 824.000 kasus baru setahunnya, dan di Global TB Report 2022 ini angkanya bahkan meningkat menjadi 969.000 kasus , sementara yang ditemukan sejauh ini masihlah sedikit, mungkin sekitar setengahnya. Global TB Report 2022 menyebutkan ada 10 negara dengan beban besar (“high TB burden countries”) di dunia yang punya cakupan pengobatan yang rendah, diperkirakan dibawah 50%, adalah negara kita Indonesia bersama 9 negara lainnya yaitu Republik Afrika Tengah, Gabon, Lesotho, Liberia, Mongolia, Myanmar, Nigeria, Filipina dan Viet Nam. Kalau pasien di tengah masyarakat tidak ditemukan maka tentu tidak dapat diobati, dan bahkan mungkin akan terus jadi sumber penularan tuberkulosis pada sekitarnya.
Karena itu target untuk mendapatkan 60 ribu kasus TB sebulan memang amat kita perlukan. Tetapi, tentu saja kasus-kasus itu bukan hanya harus ditemukan tapi juga perlu disembuhkan. Dalam hal ini kita tahu bahwa kalau kasus hanya ditemukan sesuai target tetapi tidak tersembuhkan dengan baik maka setidaknya ada tiga dampaknya. Pertama, kalau pasien tidak dijamin makan obat secara teratur maka bukan hanya dia tidak sembuh tetapi malah mungkin dapat terjadi resistensi obat, bahkan mungkin “multi drug resistance (MDR)” yang selalu menjadi masalah besar pengendalian TB karena makin sulit diobati, makin banyak efek samping obatnya dan makin tinggi kemungkinan penyakitnya menjadi parah. Ke dua, kalau ditemukan tapi tidak mendapatkan fasilitas pengobatan dengan baik maka kepercayaan dan keyakinan publik jadi terganggu. Dampak ke tiga, tentu saja kalau kasus ditemukan tetapi tidak disembuhkan dalam persentase yang memadai maka target eliminasi TB tahun 2030 yang sudah dicanangkan sesuai Peraturan Presiden No 67/2021 jadi sulit akan tercapai.
Karena itu, upaya besar untuk penemuan kasus TB memang jelas harus dijalankan bersama-sama dengan upaya keras pula untuk menjamin segala liku pengobatan yang diperlukan.
Penemuan kasus harus senafas dengan penyembuhannya