Oleh. Agung M. Siradj
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi di sahkan menjadi undang-undang oleh dewan legislasi nasional pada 6 Desember 2022. Pengesahan tersebut menjadi moment bersejarah bagi bangsa Indonesia khususnya di sektor hukum. Hal ini akan mengalami dampak besar, mengingat KUHP terbaru akan mengubah dan merevolusi berbagai aspek kehidupan, seperti akademik, tingkah laku, peradilan, paradigma hukum, dan lain-lain.
Perencanaan KUHP baru sejatinya telah dilaksanakan sejak lama, mengingat KUHP yang digunakan sebelumnya adalah warisan kolonial. KUHP Kolonial dianggap tidak sesuai dengan perkembangan Zaman dan tidak mencerminkan nilai-nilai jati diri bangsa yang berpegang pada Pancasila. Proses perjalanan pengesahan RUU KUHP sangat terjal dan mengalami banyak tantangan.
Menurut sejarah, RKUHP mulai dibahas pada tahun 1963 oleh para akademisi hukum saat itu. Namun rancangan tersebut banyak mengalami kendala untuk mencapai konsensus hukum dalam membentuk kodifikasi hukum yang sesuai nilai-nilai bangsa. Telah hampir 7 kali pergantian Presiden dan belasan menteri bidang hukum silih berganti untuk menyelesaikan proyek hukum tersebut, namun RKUHP selalu gagal untuk disahkan.
Fenomena yang terbilang unik terjadi ketika peserta rapat yang hadir secara fisik dalam pengesahan RKUHP hanya 60 orang dari total 575 lagislator yang ada di Parlemen. Lebih uniknya lagi ketika pasal pelaku korupsi hukumannya diringankan dibanding sebelumnya. Dua hal tersebut membuat spekulasi mengenai kesungguhan legislator dalam mengesakan RKUHP serta kepentingan yang ada dibalik pengesahan tersebut.
Beberapa saat pasca pengesahan RKUHP, terdapat banyak pihak yang merasa bahwa RKUHP belum layak disahkan dan terkesan terlalu tergesa-gesa dalam melegalkannya dimana mayoritas pihak tersebut muncul dari kalangan para aktivis hukum serta para pemerhati hak asasi manusia. Berdasarkan asumsi para aktivis hukum, KUHP yang disahkan saat ini masih cacat dan tidak menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi sehingga tidak layak diratifikasi menjadi undang-undang. Selain itu terdapat banyak poin demokrasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang termuat didalamnya.
Perhatian terhadap demokrasi Indonesia dipertanyakan pasca pengesahan tersebut, padahal Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan poin demokrasi , yaitu pasal 433 tentang pencemaran nama baik, pasal 218 tentang penghinaan presiden, pasal 240 tantang penghinaan kepada pemerintah atau lambang negara, dan pasal 218 tentang penghinaan presiden. Pasal tersebut sebenarnya telah lama menuai kritik sebelum disahkan, pemerintah bahkan telah berjanji untuk meninjau kembali pasal yang menjadi keberatan dari masyarakat.
Kurang dari dua minggu sebelum pengesahan tersebut, pemerintah melalui Edward Omar Sharif Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan Ham mengumumkan akan menghapus Pasal Pencemaran Nama Baik. Penghapusan tersebut dilakukan setelah dilaksanakan diskusi bersama dewan pers Indonesia yang merasa keberatan terhadap pasal pencemaran nama baik yang mengekang kebebasan dalam berpendapat.
Fakta lapangan sangat kontradiktif dengan pernyataan pemerintah, dimana masih terdapat pasal yang mengatur pencemaran nama baik sebagai bagian dari tindakan penghinaan pada pasal 433 KUHP. Pasal pencemaran nama baik menjadi pasal kontroversi akibat banyaknya salah tafsir terhadap pasal tersebut. Pada tahun 2021, menurut _Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet),_ sebanyak 33% dari pasal yang digunakan dalam UU ITE ialah pencemaran nama baik dimana mayoritas pelapor ialah pemerintah, 38% dan yang terlapor ialah masyarakat awam sebanyak 29,4%.
Statistik mengenai pencemaran nama baik di atas menunjukan tendensi penggunaan pencemaran nama baik sering digunakan untuk menjerat masyarakat awam yang dianggap tidak berdaya untuk melakukan perlawanan hukum serta memberi peringatan kepada masyarakat dan aktivis untuk berhati-hati dalam mengkritik pemerintah. Bahkan penghinaan kepada pemerintah dan presiden juga dapat dijerat kasus pencemaran dalam UU KUHP terbaru.
Sorotan negatif mengenai RKUHP indonesia tidak hanya datang dari aktivis nasional, beberapa media besar dunia juga menyoroti pelanggaran HAM dalam RKUHP tentang hukuman pidana bagi pasangan seks diluar nikah. Menurut media luar tersebut, salah satu sektor yang paling dirugikan dalam aturan seks di luar nikah ialah pariwisata. Banyak masyarakat luar negari merasa kebijakan tersebut akan mengusik kenyamanan mereka ketika akan berlibur kembali ke Indonesia serta menaikkan keprihatinan mereka terhadap kebebasan ham yang ada di Indonesia.
Menanggapi isu tersebut, pemerintah menyatakan bahwa UU KUHP saat ini telah layak untuk disahkan karena telah melalui banyak diskusi bersama pihak yang terkait. Pembahasan RKUHP memang telah menjadi proyek besar yang melibatkan para pakar hukum Indonesia dan mengalami banyak revisi sejak diajukan di DPR. Pemerintah menyarankan kepada para pihak yang keberatan mengenai KUHP terbaru dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah berdalih bahwa KUHP saat ini sangat diperlukan untuk menggantikan KUHP kolonial yang tidak sesuai lagi. Selain itu, beberapa pasal tambahan merupakan penyesuaian kepada gejala sosial yang tidak mempunyai landasan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum yang sah. Penghapusan disparitas hukum menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk mengakomodasi berbagai nilai-nilai pancasila ke dalam hukum yang berlaku.
Peristiwa meninggalnya beberapa mahasiswa 2019 saat demonstrasi RKUHP harusnya dapat dijadikan suatu refleksi bagi pemerintah. Demonstrasi tersebut merupakan tanda bahwa tingginya minat masyarakat dalam mengawal pembentukan RKUHP di Indonesia. Terdapat banyak forum diskusi yang tersedia untuk membuka ruang dalam menentukan pilihan terbaik yang dapat dimasukan maupun dihapuskan dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.
Dengan melihat fenomena yang terjadi, RKUHP menjadi buah simalakama yang dibutuhkan tetapi sulit untuk diimplementasikan. Sebagai negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi negara wajib untuk menghormati Hak Asasi Manusia serta mendengarkan aspirasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Sudah seharusnya hukum dapat menciptakan ketertiban bukan menambah kekacauan.