Jakarta, INDONEWS.ID - Budaya bangsa adalah cermin dari kehidupan kita sebagai masyarakat Nusantara, namun generasi muda kita srakan lupa dengan budaya atau seni tradisional. Sejak era kerajaan masyarakat kita sudah mengenal seni peran, seperti Ketoprak di Jawa Tengah atau Ludruk di Jawa Timur. Tapi tak semua anak muda kenal apa itu Ketoprak atau Ludruk. Untung ada komunitas Koncodewe bersama alumni ITB yang kembali mengangkat Ludruk sebagai hiburan masyarakat.
"Sakerah Where are You?", seni peran gaya Jawa timuran menjadi judul pementasan dua komunitas yang berbeda namun punya satu tujuan, mengangkat seni tradisional di kalangan menengah ke atas.
Patut diapresiasi dua komunitas itu, meski bukan pelaku seni atau pemain ludruk namun penampilan mereka secara keseluruhan patut diacungkan jempol. Lebih dari 50 persen pemain dalam pementasan yang digelar di gedung Wayang Orang Barata, Kalilio, Senin, Jakarta Pusat, bukan pekerja seni tapi mereka menunjukan pada penonton keseriusan mereka berperan di Ludruk tersebut.
Penampilan pemain Sakerah Where are You, nyaris mendekati pemain ludruk profesional, ini karena mereka dibawah arahan tokoh besar di seni peran. Sutradara mereka merupakan orang hebat dibalik panggung yang namanya sudah tak asing di dunia seni internasional.
Hebatnya lagi, dalam sehari mereka dua kali pentas, guna mengapresiasi masyarakat yang ingin menyaksikan para pemain non profesional tampil di panggung WO Barata. Di penampilan pertama, tampak kegugupan para pemain, terutama mereka yang tergabung dalam ikatan alumni ITB.
Di pentas kedua, 'gagap' panggung berkurang, mereka memainkan perannya membaik, mulai terbiasa dengan cahaya dan tatapan penonton. Di pentas pertama suara dari para pemain terdengar samar-samar tapi hal itu masih ada namun sudah jauh berkurang.
Seni pentas seperti Ludruk, dialog adalah kekuatan guna membawa penonton menikmati hiburan hingga diujung pementasan. Hebatnya mereka cepat memperbaiki kekurangan mereka, bersuara kuat saat berdialog saat di atas panggung.
Ludruk biasanya diawali dengan penampilan seorang penari Remo, mereka paham itu. Penari asal Surabaya begitu apik memainkan tariannya, meski ia pria tapi tariannya enak dilihat dan menggugah rasa penasaran penonton dengan alur cerita yang akan dipentaskan.
Alumni ITB bukan sekumpulan manusia yang tak paham teknologi modern, sayangnya mereka sedikit lalai dalam 'menghidupkan' seni tradisional. Cinta budaya nasional tak harus memainkan seni tersebut. Mengangkat seni tradisional dengan sentuhan teknologi modern rasanya perlu juga dilakukan alumni ITB.
Teknologi modern bukan sekedar gimik dalam pentas ludruk yang mereka perankan, seperti adegan pegawai pemerintah era penjajah meminta bantuan seorang ahli bela diri yang dihubungi lewat handphone atau memberikan uang pada ahli beladiri melalui transfer bank.
Meski demikian, kita harus mengapresiasi mereka, ditengah kesibukan mereka sebagai sosok-sosok penting di berbagai perusahaan masih peduli dengan seni tradisional. Pentas Ludruk ini bukan pertama yang mereka ikut berkecimpung, 3 bulan sebelumnya alumni ITB berkolaborasi dengan wayang orang Barata, mementaskan cerita Ramayana.
Ikut pentas seni tradisional boleh jadi langkah awal alumni ITB melestarikan seni tradisional, langkah berikutnya mungkin mereka akan membuat gebrakan baru agar budaya bangsa tak hilang dari bumi nusantara. Bisa jadi nantinya alumni ITB lah komunitas pertama yang bisa menyisihkan pengaruh budaya asing di masyarakat dengan terus mengenalkan seni tradisional dari berbagai daerah. Apalagi ilmu yang mereka kuasai digunakan untuk seni tradisional, semoga hal itu segera terwujud.