Penegakkan Hukum Pemilu dan "Parallel Crime Pattern" dalam Pilkada Serentak 2024
Keadilan bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga masalah dasar dalam budaya politik Demokrasi Pancasila, bahkan merupakan "kata kunci" dalam keseluruhan filsafat politik kita (Moerdiono, 1992: 13).
Reporter: very
Redaktur: very
Oleh: Girindra Sandino*)
Jakarta, INDONEWS.ID - Penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2024 telah lewat, namun sejak awal penyelenggaraan hingga berakhirnya tahapan pemilu 20204 rakyat disuguhkan pelaksanaan pemilu yang jauh dari nilai-nilai demokratis. Pelanggaran, kecurangan dan penyimpangan pemilu begitu marak terjadi. Bahkan perbuatan pelanggaran tersebut terkesan disengaja dan “telanjang” dan mengarah pada pelanggaran fatal yakni Terstruktur, Sistematik dan Massif.
Sebut saja, beragam bentuk pelanggaran-pelanggaralan netralitas ASN yang terjadi pada pemilu 2024, yang antara lain menjanjikan warga pemilih dengan memberikan uang (money politics) untuk memilih paslon tertentu, pengguaan fasilitas dan anggaran negara, menggerakan perangkat desa untuk berpihak dan mendukung paslon tertentu, program-program bantuan sosial yang disalahgunakan untuk kepentingan kampanye untuk memilih calon tertentu, terlibat sebagai tim kampanye, menggerakkan struktur birokrasi, memengaruhi atau mengintimidasi para pegawai di tingkat bawah.
Pelanggaran-pelanggaran ASN baik yang bersifat ringan maupun fatal harus segera ditindak tegas jika terjadi lagi pada Pilkada Serentak 2024 yang akan datang, oleh karena tidak menutup kemungkinan dan berdasarkan pengalaman kami dalam pemantauan pemilu, pelanggaran-pelanggaran pemilu sebelumnya selalu pararel atau beranjut pada pelaksanaan Pilkada.
Perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai dan prinsip konstitusional kedaulatan rakyat serta aturan-aturan hukum yang menjamin partisipasi politik rakyat dalam proses penentuan pilihan politik melalui pemilu atau pilkada, jelas tidak dapat dinegasikan oleh asumsi- asumsi teoritik yang dapat melahirkan langkah mundur dalam kehidupan demokrasi. Oleh karena itu untuk menjamin prinsip konstitusional kedaulatan rakyat dalam pemilu harus dijamin oleh penegakkan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, harus berorientasi pada pencapaian keadilan sebagai tujuan hukum.
Keadilan bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga masalah dasar dalam budaya politik Demokrasi Pancasila, bahkan merupakan "kata kunci" dalam keseluruhan filsafat politik kita (Moerdiono, 1992: 13).
Beragam bentuk pelanggaran-pelanggaralan netralitas ASN tersebut antara lain yang perlu masyarakat awasi adalah di antaranya menjanjikan warga pemilih dengan memberikan uang (money politics) untuk memilih paslon tertentu, pengguaan fasilitas dan anggaran negara, menggerakan perangkat desa untuk berpihak dan mendukung paslon tertentu, program-program bantuan sosial yang disalahgunakan untuk kepentingan kampanye untuk memilih calon tertentu, terlibat sebagai tim kampanye, menggerakkan struktur birokrasi, memengaruhi atau mengintimidasi para pegawai di tingkat bawah.
Walau sankinya sangat tegas terhadap politik uang tetap saja masyarakat acuh. Dalam konteks itu, kesadaran politik maupun hukum masyarakat dalam Pemilu setidaknya harus dikembangkan melalui kegiatan membangun "resistensi sosial" terhadap pelanggaran dan kejahatan pemilu, yaitu “penolakan kolektif” terhadap sikap dan perilaku yang menjurus pada perbuatan pelanggaran Pemilu.
Kedua, pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti keluarga, lembaga keagamaan atau lembaga lain yang secara langsung atau tidak langsung melakukan pengendalian sosial, agar masyarakat taat hukum. Mengingat pelanggaran dan kejahatan pemilu, selain dilatarbelakangi faktor sosio-struktural, juga berhubungan dengan dinamika interaksi sosial.
Di samping itu, harus ada semacam bentuk pengendalian sosial yang dengan fungsinya dapat dikembangkan dalam proses penangkalan sebuah pelanggaran yang mengarah pada kejahatan pemilu maupun Pilkada. Bentuk lainnya adalah opini publik, yang "termobilisasi" mengenai kasus-kasus pelanggaran tertentu, yang pada satu sisi memperkuat komitmen moral anti kejahatan dan pada sisi lain melahirkan hukuman sosial.
Pengendalian sosial jelas menyandang fungsi yang dalam memahami dimensi- dimensi keadilan dalam penegakan hukum dapat dipergunakan parameter- parameter sebagai berikut:
Pertama, Parameter ideologi, yakni nilai-nilai dan keyakinan yang berkembang dalam masyarakat. Secara konstitusional, keadilan dijumpai dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rancangan itu, perlu digarisbawahi penjelasan pasal-pasal baik yang berlaku bagi warga negara maupun bagi seluruh penduduk harus memuat hasrat Bangsa Indonesia untuk membangun masyarakat yang demokratis, berperikemanusiaan, dan berkeadilan sosial.
Keadilan sesuai dengan penjelasan ini yang menjadikan fungsi hukum berdimensi demokrasi, berdimensi kemanusiaan dan berdimensi keadilan sosial (Wahjono, 1992: 47).
Kedua, parameter hukum positif, dalam arti seberapa jauh dimensi-dimensi keadilan sudah menjadi acuan dalam proses pembentukan, pembaharuan, dan penegakan hukum pemilu. Sudah saatnya juga proses penegakkan hukum pemilu yang sedang berjalan dan terbentuk tidak hanya berhenti sebagai retorika politik, tetapi terus dilembagakan dalam bentuk perundang-undangan khusus serta menjadi agenda dalam pembangunan penegakkan hukum pemilu yang lebih disederhanakan dan lebih jauh menjadi landasan bagi revisi segenap perundang-undangan pemilu/pilkada yang melibatan partisipasi masyarakat dalam upaya penegakkan hukum pemilu dengan bentuk yang sesederhana mungkin.
Ketiga, parameter kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan salah satu sendi pokok bagi operasionalisasi keadilan dalam rangka perwujudan Negara Hukum. Penegakan hukum pemilu yang dijalankan dalam konteks kemandirian kekuasaan kehakiman, dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan interventif institusi- institusi ekstra-yudisial.
Keempat, parameter kesadaran hukum rakyat berupa partisipasi politik, sebagai kondisi subyektif bagi realisasi keadilan elektoral dalam kehidupan hukum dan kehidupan sosial yang lebih luas.
Pengaduan-pengaduan kelompok masyarakat ke lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU di setiap tingkatan, pengaduan terhadap Bawaslu dan jajarannya, pengaduan terhadap DKPP, dengan atau tanpa dampingan LSM, sebagai "re- artikulator" kepentingan masyarakat, adalah petunjuk tengah bangkitnya kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat yang tidak sekedar reaktif, tetapi juga aktif dalam mengembangkan langkah-langkah komunikasi, sehubungan dengan persoalan- persoalan keadilan .
Aksi-aksi tersebut bukan saja telah menggeser isu-isu lokal menjadi isu politik, dan mendorong lembaga-lembaga dalam sistem hukum untuk secara dinamik merespons masalah-masalah hukum berdimensi struktural, yang secara riil dihadapi oleh masyarakat. Dalam konteks itu, penegakan hukum tidak dapat mengabaikan realitas peningkatan kesadaran politik masyarakat yang menjelma menjadi partisipasi politik.
Kelima, parameter struktur sosial dan politik, yang menempatkan hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan politik, dan cenderung mempertahankan tata tertib sosial yang ada. Maka fungsi dan peranan hukum yang mengedepan adalah hukum sebagai bentuk social control, yang cenderung lebih mengandung ciri-ciri represi, namun melibatkan fungsi instrumental untuk mengubah tata tertib sosial, yang menegaskan hukum sebagai sarana rekayasa sosial.
Keenam, parameter budaya hukum, yang hidup dalam masyarakat. Tumbuhnya counter culture yang membenarkan penggunaan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Kecenderungan punitive (menghukum) yang muncul dengan situasi-situasi sosial tertentu, nilai-nilai yang merasionalisasikan ditempuhnya "jalan pintas" dalam mengatasi masalah hukum, adalah contoh unsur-unsur budaya hukum yang tidak mendukung dimensi keadilan dalam penegakan hukum.
Pemahaman atas parameter-parameter yang telah dipaparkan di atas memperlihatkan mengenai bidang-bidang yang harus digarap untuk memperkuat dimensi keadilan dalam penegakan hukum, khususnya hukum pemilu maupun pilkada. Oleh karena tidak tertutup kemungkinan kejahatan pemilu 2024 terulang kembali sebagai PARALLEL CRIME PATTERN, atau pola kejahatan pemilu yang berkesinambungan oleh karena, kejahatan sebelumnya diterima permisif oleh masyarakat sehingga akan terlulang pada hajatan besar Pilkada 2024.
Peran serta masyarakat dalam penanggulan kejahatan pemilu memerlukan pelembagaan yang terintegrasi ke dalam sebuah strategi nasional pencegahan kejahatan pemilu dan dikembangkan dalam iklim yang demokratis. Singkatnya demokrasi dalam arti proses serta struktur politik yang mengejawantahkan kedaulatan rakyat dengan ciri-ciri pokoknya, terutama dalam kaitannya dalam penegakkan hukum pemilu, masih tetap merupakan agenda yang harus diperjuangkan.
*) Koordinator INDONESIAN DEMOCRATIC (IDE) CENTER