INDONEWS.ID

  • Sabtu, 10/06/2017 11:54 WIB
  • Perubahan Peta Hak Angket Bisa Saja Terkait Penanganan Kasus di KPK

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Perubahan Peta Hak Angket Bisa Saja Terkait Penanganan Kasus di KPK
Jakarta, INDONEWS.ID - Perilaku plin-plan beberapa fraksi di DPR RI yang sebelumnya menolak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berubah menjadi mendukung angket menunjukkan bahwa DPR sebenarnya labil dan tidak punya prinsip dalam hal pemberantasan korupsi. Perubahan peta dukungan terhadap Hak Angket tersebut bisa juga dibaca karena terkait beberapa kasus yang sedang ditangani KPK saat ini. “Tentu sah-sah saja jika publik menghubungkan hak angket KPK tersebut dengan beberapa kasus yang sedang ditangani KPK seperti kasus KTP Elektronik dan kasus Alat Kesehatan,” ujar alumnus Pascasarjana Kajian Startejik Intelijen Universitas Indonesia Stanislaus Riyanto, di Jakarta, Sabtu (10/6/2017). Stanislaus mengatakan, jika anggota DPR tidak terlibat, mereka seharusnya tidak perlu resah dengan penanganan KPK terhadap kasus tersebut. Namun jika anggota DPR reaktif dengan melakukan hak angket, tentu saja tidak berlebihan jika muncul dugaan bahwa hak angket tersebut untuk mengamankan anggota DPR. Dugaan warga tersebut, katanya, sebenarnya linear dengan hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang menempatkan DPR sebagai juara pertama persepsi dari masyarakat sebagai lembaga negara korup. Seperti diketahui, GCB pada tahun 2016 melakukan survei untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Asia Pasifik. Survei dengan 1.000 responden berusia 18-55 tahun yang tersebar di 31 propinsi tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat menempatkan DPR di peringkat pertama lembaga negara yang dianggap korup, diikuti birokrasi pemerintah dan DPRD. Hal ini, kata Stanislaus, tentu saja dapat dimaklumi mengingat publik lebih sering menerima tayangan pemberitaan anggota DPR yang terlibat korupsi dibandingkan dengan pelaku dari lembaga lain. Selain predikat paling korup, DPR juga mempunyai kinerja yang rendah jika dilihat dari capaian target pengesahan RUU. Kinerja DPR yang rendah tersebut dapat dibuktikan dengan data capaian kinerja DPR pada tahun 2016. Dari 50 target RUU yang seharusnya disahkan menjadi UU, DPR hanya mampu menyelesaikan 10 UU. Stanislaus mengatakan, untuk menghormati asas praduga tidak bersalah, dan menghargai kinerja wakil rakyat yang bekerja dengan baik, kinerja yang rendah dan pelaku korupsi tersebut ditujukan hanya kepada oknum DPR, bukan digeneralisasi kepada semua anggota DPR. Dengan catatan jumlah oknum tersebut tidak bertambah sehingga menjadi dominan dari populasi DPR. Harus diyakini bahwa masih banyak orang baik dan berkualitas di DPR. Menurut Stanislaus, DPR tidak perlu sewot atau gerah dengan penilaian publik tersebut. Sebaiknya DPR fokus pada perbaikan kinerjanya, bukan malah membuat kegaduhan-kegaduhan yang semakin merendahkan persepsi publik terhadap DPR. Hal ini misalnya terjadi pada hiruk pikuk pembentukan pansus hak angket KPK. “Hak angket KPK ini dengan mudah akan dinilai publik sebagai salah satu manuver orang-orang tertentu di DPR untuk melemahkan KPK,” ujarnya. Lembaga Pengawas Independen Untuk memperbaiki kinerja, reformasi harus dilakukan terhadap DPR. Proses seleksi calon anggota DPR, kata Stanisluas, harus dibenahi supaya masyarakat tidak seperti memilih kucing dalam karung. Karena itu, harus ada mekanisme yang bisa menampilkan rekam jejak secara lengkap calon anggota DPR tersebut. Profil calon anggota DPR juga harus digali secara ilmiah dengan pemeriksaan psikologi. Hal ini harus dilakukan supaya anggota DPR yang terpilih dan menjabat benar-benar mempunyai kualitas yang baik dari sisi sikap dan kinerja. Stanislaus mengatakan, aksi KPK seperti melakukan penggeledahan di ruangan anggota DPR tentu saja membuat wakil rakyat tidak nyaman. Walau demikian, kewenangan KPK untuk melakukan tindakan terhadap orang yang dicurigai melakukan korupsi, dengan bukti permulaan yang cukup tersebut, tidak perlu dikurangi atau diintervesi. Justru yang harus dilakukan yaitu membentuk lembaga lain untuk mengawasi kinerja DPR agar membaik. “Lembaga pengawas independen DPR harus dibentuk. Lembaga yang harus diisi oleh orang diluar DPR tersebut harus berani melakukan tindakan kepada anggota DPR yang melanggar aturan atau norma. Jika tidak ada lembaga pengawas yang mempunyai kekuatan untuk memberikan sangsi kepada anggota DPR maka DPR bisa saja merasa above the law,” ujarnya. Seperti diketahui, peta dukungan politik hak angket terhadap KPK berubah. Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya, yang semula cenderung menolak hak angket, berubah total menjadi yang terdepan mendukung. Hal itu terjadi setelah nama mantan Ketua Umum sekaligus pendiri PAN Amien Rais disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi alat kesehatan yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Amien Rais bahkan langsung menyambangi DPR untuk memberi dukungan terhadap pembentukan Pansus Hak Angket KPK. PAN bahkan menempatkan tiga kadernya di Pansus Hak Angket KPK yaitu  Mulfachri Harahap (Dapil Sumatera Utara I), Muslim Ayub (Dapil Aceh I), dan Daeng Muhammad (Jawa Barat VII). (Very)
Artikel Terkait
Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Salim Said Maestro Intelektual yang Paling Detail dan Mendalam
Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea
Bupati Tanahdatar buka Grand Opening Sakato Aesthetic
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas