Jakarta, INDONEWS.ID - Setelah berjalan hampir satu tahun, Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan memutuskan permohonan judicial review Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) hari ini, Senin (10/7/2017).
Pasal ini mengatur kewajiban KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun Peraturan KPU. Hasil konsultasi yang dilakukan tersebut bersifat mengikat bagi KPU.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dijamin kemandiriannya dalam menyelenggarakan segala bentuk kewenangan. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh KPU adalah menyusun peraturan sebagai ketentuan teknis penyelenggaraan pemilu.
“Ketika kewenangan tersebut bergantung dan diintervensi oleh pihak lain (baca: DPR dan Pemerintah), tentu saja prinsip kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi terganggu,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (9/7/2017).
Terganggunya kemandirian KPU dalam menyusun peraturan, kata Titi, tidak hanya menimbulkan persoalan konsep dan norma saja. Dalam praktik, proses penyusunan Peraturan KPU telah terbukti dintervensi jauh oleh DPR dan Pemerintah.
Bahkan, dalam pelaksanaan Pilkada 2017 yang lalu, DPR dan Pemerintah “memaksa” KPU untuk memasukkan ketentuan syarat pencalonan yang memperbolehkan orang yang masih berstatus terpidana, dalam hal ini terpidana percobaan, untuk dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah.
Padahal, rumusan di dalam Pasal 7 huruf g UU No. 10 Tahun 2016 secara terang mengatur bahwa orang yang bisa dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah adalah yang sudah berstatus sebagai mantan terpidana.
“Orang yang menjalani pidana percobaan, status hukumnya adalah seorang terpidana, dan pastinya belum menjadi mantan terpidana. Namun apa lacur, frasa wajib dan mengikatnya KPU untuk mengikuti hasil konsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun Peraturan KPU, norma yang melanggar UU Pilkada itu dimasukkan ke dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan,” kata Titi.
Atas dasar itu, KPU periode 2012-2017 mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk memohon pembatalan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016, yakni prihal kewajiban konsultasi dalam menyusun Peraturan KPU yang sifatnya mengikat.
“Putusan MK ini tentu akan menjadi fondasi dan penegasan penting bagi kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu. Kelembagaan penyelenggara pemilu tentu tidak hanya KPU, tetapi juga Bawaslu,” kata Titi.
Titi mengatakan, Putusan MK yang menjamin dan memberikan kepastian hukum terhadap kemandirian lembaga penyelenggara pemilu sangat dinantikan. Putusan MK juga akan memberikan perlindungan dan kepastian terhadap ketentuan mekanisme konsultasi dalam menyususn Peraturan KPU, di dalam RUU Pemilu yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah.
Penyelenggara pemilu yang mandiri, adalah salah satu prasyarat pelaksanaan pemilu yang demokratis. Pengalaman konsultasi dalam menyususn Peraturan KPU dalam perjalanannya, justru dijadikan ruang untuk mengintervensi KPU, bahkan memasukkan norma yang terang bertentangan dengan UU.
“Oleh sebab itu, Putusan MK yang memberikan perlindungan dan kepastian terhadap kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu akan membuktikan bahwa MK adalah pelindung konstitusi dan penjaga demokrasi sesungguhnya,” pungkasnya. (Very)