peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil. (Foto: Okezone.com)
Jakarta, INDONEWS.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa ketentuan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 sepanjang frasa “…yang bersifat mengikat” dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Frasa di dalam pasal tersebut merupakan rangkaian dari ketentuan yang mewajibkan KPU melakukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU).
Menurut MK, frasa mengikat dalam sebuah proses konsultasi berpotensi mengganggu kemandirian kelembagaan KPU dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya, yakni menyusun peraturan teknis penyelenggaraan pemilu.
Menanggapi putusan MK tersebut, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, kemandirian kelembagaan KPU dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak bisa lagi diintervensi dan dicampuri oleh DPR dan Pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan menyusun Peraturan KPU.
“Dengan dibacakannya Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016, DPR dan Pemerintah diharapkan bisa jernih melihat dan melaksanakan putusan ini. Semangat dari putusan ini adalah bagaimana memastikan kemandirian kelembagaan KPU tidak terbelenggu dengan kepentingan politik sesaat,” ujar Fadli melalui siaran pers, di Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Namun, kata Fadli, langkah awal merespon putusan ini bisa dilihat dalam persiapan Pilkada 2018 mendatang.
“Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, KPU dan Bawaslu akan melaksanakan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun regulasi teknis untuk Pilkada 2018,” katanya.
Putusan MK tersebut, kata Fadli, masih mewajibkan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun peraturan, sebagai bentuk koordinasi, dan cheks and balances antar organ yang memiliki peran dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, hasil konsultasi tersebut tidak bersifat mengikat.
Penyusunan Peraturan KPU untuk persiapan Pilkada 2017, katanya, menjadi salah satu pengalaman penting, betapa frasa “..bersifat mengikat” menjadi “alat memaksa” KPU untuk mengakomodir norma yang diajukan DPR dalam rapat konsultasi.
Dia mencontohkan, DPR memperbolehkan orang yang berstatus terpidana percobaan untuk bisa dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Padahal, ketentuan itu jelas bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 2015 sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah, ketentuan yang dibuat sendiri oleh DPR dan Pemerintah.
Karena itu, putusan MK ini memberi kepastian hukum bahwa proses konsultasi Peraturan KPU dan Bawaslu tidak lagi bisa dilaksanakan secara mengikat, karena bertentangan dengan UUD NRI 1945. (Very)