INDONEWS.ID

  • Minggu, 23/07/2017 12:08 WIB
  • Prediksi Pilpres 2019 Pasca Penetapan Presidential Threshold

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Prediksi Pilpres 2019 Pasca Penetapan Presidential Threshold
Oleh: Stanislaus Riyanta*) INDONEWS.ID - Akhirnya setelah melalui proses yang cukup panas, disertai dengan aksi walk-out, DPR memutuskan UU Pemilu melalui rapat paripurna. Isi dari UU Pemilu tersebut  salah satunya adalah menentukan angka presidential threshold sebesar 20 persen. Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden. Dengan penetapan presidential threshold sebesar 20 persen maka parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden. Penetapan UU Pemilu tersebut tentu tidak mulus. Tercatat pada saat rapat paripurna untuk mengambil keputusan UU Pemilu (Kamis 20/7) tersebut, terdapat 4 fraksi yabg melakukan walk out yaitu Fraksi Gerindra, PKS, Partai Demokrat, dan PAN. Aksi yang dilakukan oleh empat fraksi ini dapat dipahami, mengingat partai-pertai tersebut tentu saja akan dirugikan jika angka presidential threshold adalah 20 persen. Angka sebesar 20 persen akan menjadi hambatan terutama yang berasal dari partai menengah dan kecil, untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri. Walaupun hal ini harus dimaklumi sebagai konsekuensi dari demokrasi. Dengan angka penetapan presidential threshold sebesar 20 persen, tentu akan mengakibatkan beberapa konsekuensi yang bisa menjadi kajian prediksi situasi pada Pilpres 2019. Konsekuensi pertama jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden maksimal 4 pasang. Angka ideal 5 pasang dengan angka tepat 20% hampir mustahil terjadi mengingat sulit sekali membagi partai-partai yang mengikuti pemilu pada 2019 tersebut menjadi 5 bagian secara bulat. Meskipu demikian diperkirakan jumlah pasangan yang akan maju dalam Pilpres adalah tiga pasang, hal ini diperkirakan berdasarkan jumlah platform atau kelompok yang sekarang ada, meskipun dinamika politik di Indonesia bisa berubah dengan cepat. Konsekuensi kedua adalah akan terjadi koalisi Parpol, hal ini jika dilihat dari hasil pemilu 2014 bahwa tidak ada partai yang meraih suara minimal 20 persen. Saat pemilu 2014 tercatat hasil 5 partai tertingi adalah PDI Perjuangan (18,95 persen), Golkar (14,75 persen), Gerindra (11,81 persen), Demokrat (10,19 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen). Koalisi partai untuk mengusung pasangan capres-cawapres tentu akan mempertimbangkan platform politik dan catatan dinamika politik yang pernah terjadi. Jika melihat angka presidential threshold sebesar 20 persen dan dinamika politik saat ini maka diperkirakan pasangan capres-cawapres yang akan bertanding dalam Pilpres 2019 adalah tiga pasang. Pasangan pertama adalah petahanan Joko Widodo yang saat ini calon wakil presidennya masih belum bisa ditebak. Tetapi melihat dinamika yang terjadi terutama dari berbagai gejolak politik terutama dari kelompok oposisi, Joko Widodo perlu menggandeng calon wakil presiden dari kalangan TNI atau Polri. Cawapres dari unsur TNI atau Polri (tentu saja yang sudah purnawirawan) akan menguatkan posisi Joko Widodo terutama untuk menggalan kelompok massa yang menyukai figur TNI-Polri yang seringkali dianggap sebagai unsur yang mewakili ketegasan. Ada beberapa pilihan bagi Joko Widodo untuk memilih cawapresnya seperti Gatot Nurmantyo, Moeldoko, Tito Karnavian, dan Budi Gunawan. Tentu saja konsekuensi yang muncul dari masing-masing calon harus dipertimbangkan kalkulasi politiknya. Pasangan kedua diperkirakan akan muncul dari kelompok yang sekarang menjadi oposisi dari pemerintah, dan bisa ditambah dari kelompok pro pemerintah yang tidak loyal, seperti Partai Amanat Nasional.  Gerindra dan PKS yang sekarang menjadi partai oposisi, ditambah Partai Amanat Nasional, jika nanti terpaksa dikeluarkan dari koalisi pro pemerintah, kemungkinan akan mengusung pasangan capres-cawapres tersendiri. Jika yang disusung adalah Prabowo Subianto, maka diperkirakan cawapres yang diusung adalah dari kelompok Islam. Beberapa kemungkinan bisa muncul sebagai pilihan cawapres seperti Anies Baswedan atau tokoh lain dari GNPF MUI. Kemungkinan lain, jika dinamika  politik mendukung kelompok ini bisa saja mengusulkan capres Anies Baswedan. Jika Anies Baswedan maju sebagai capres maka diperkirakan cawapresnya adalah dari kalangan TNI. Opsi yang muncul adalah Gatot Nurmantyo. Pertukaran posisi Capres Gatot Nurmantyo dan cawapres Anies Baswedan bisa saja muncul. Pasangan kedua  ini akan meraup dukungan dari kelompok Islam dan kelompok yang tidak menjadi oposisi pemerintah. Kuda hitam dari peserta pilpres 2019 diperkirakan akan dilahirkan dari kubu Partai Demokrat, yang saat ini memilih dalam posisi netral, bukan pro pemerintah dan bukan oposisi. Partai Demokrat sudah mengorbitkan Agus Yudhoyono melalui kesempatan Pilkada DKI 2017. Meskipun jumlah suara yang diperoleh masih kecil, namun sebagai ahli strategi yang pernah berkuasa selama 10 tahun, Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan mampu melakukan manuver dan penggalangan politik untuk melahirkan pasangan capres-cawapres pada pilpres 2019. Pasangan capres-cawapres dari Partai Demokrat dan koalisinya tidak harus Agus Yudhoyono, bisa saja calon lain yang lebih senior, namun siapapun calonnya tentu akan menjadi jalan bagi Agus Yudhoyono untuk meniti karir politik pada level nasional. Prediksi kemungkinan tiga pasang capres-cawapres ini akan terus berkembang dan bisa berubah dengan cepat tergantung situasi politik yang terjadi. Namun siapapun yang akan maju nanti diharapkan pilpres 2019 dapat menjadi ajang pembuktian kualitas demokrasi di Indonesia yang lebih baik dan lebih maju. Semua pihak diharapkan tidak memanfaakan isu identitas SARA sebagai bahan untuk propaganda dan agitasi, karena hal tersebut akan menimbulkan perpecahan dan polarisasi. Pilpres 2019 diperkirakan akan lebih dinamis dan panas dari Pilpres 2014. Propaganda dan agitasi dengan menggunakan isu SARA diperkirakan akan terjadi, apalagi dipermudah dengan adanya teknologi yang memudahkan orang untuk menyebarkan konten. Pembatasan presidential threshold pada angka 20 persen akan berdampak pada kualitas demokrasi yang lebih baik, jumlah pasangan capres-cawapres lebih terbatas dan terseleksi. Di sisi lain tentu angka 20 persen menimbulkan kekecewaan kepada pihak yang ingin mengusung capres-cawapres namun belum mampu meraih suara dan menggalan kekuatan hingga 20 persen. *) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
Artikel Terkait
Kak Wulan Bikin Petani Mawar Nganjuk Punya Harapan Baru
PNM Peduli, Gerak Cepat Bantu Bencana Banjir Bandang dan Lahar Dingin Sumatera Barat
Gelar Rapat Internal di Istana, Indonesia Semakin Siap Berproses Menjadi Anggota OECD
Artikel Terkini
Kak Wulan Bikin Petani Mawar Nganjuk Punya Harapan Baru
PNM Peduli, Gerak Cepat Bantu Bencana Banjir Bandang dan Lahar Dingin Sumatera Barat
Pj Bupati Maybrat Sambut Kedatangan Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Tips Memilih Jasa Pengurusan Visa
Rekomendasi Jasa Penerjemah Tersumpah Terbaik di Jabodetabek
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas