INDONEWS.ID

  • Senin, 07/08/2017 09:50 WIB
  • AS Hikam: Pondok Pesantren Potensial Jadi Benteng Cegah Radikalisme

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
AS Hikam: Pondok Pesantren Potensial Jadi Benteng Cegah Radikalisme
Tuban, INDONEWS.ID - Pondok Pesantren dapat menjadi basis pergerakan dan kekuatan untuk melawan penyebaran paham radikalisme yang semakin luas dan massif. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat pondok pesantren sebagai akar rumput dengan berbagai program pemberdayaan seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. “Potensi ponpes (Pondok Pesantren) sebagai kekuatan akar rumput harus digerakkan dan diperkuat, terutama dengan dukungan negara dan komponen masyarakat sipil yang lebih dulu telah bergerak dan berdaya. Ideologi radikal perlu dihadapi bukan hanya pada tataran wacana dan kontra ideologi, tetapi juga melalui penguatan basis ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jejaring yang luas,” ujar pengamat politik Muhammad AS Hikam dalam seminar nasional bertajuk "Membendung Radikalisme Melalui Kekuatan Masyarakat Akar Rumput" di Ponpes Salafiyah Kholidiyah Plumpang Tuban, Sabtu (5/8/2017). Acara tersebut merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam rangka Haul ke-34, Almaghfurlah KH. Abdul Fatah Al-Manshur (1917-1983) yang merupakan pendiri  pendiri ponpes Salafiyah Kholidiyah. Seminar Nasional tersebut menghadirkan Dr. Ir. Sumas Sugiarto, Kepala Badan Renbang Kementerian Ketenagakerjaan dan Dr. Eko Sulistio, Dep III Bidang Komunikasi, Kantor Sekretaris Presiden sebagai keynote speakers, dan para narasumber yaitu Dr. As'ad Ali, mantan Waka BIN, M. Saviq Ali, Pemimpin Redaksi NU Online, dan Abdul Kholiq, Duta SDGs, mantan Bupati Wonosobo Muhammad AS Hikam seperti dikutip hikamreader.com mengatakan, para pembicara memaparkan pandangan-pandangannya terkait ancaman radikalisme yang bersumber dari ideologi-ideologi politik, termasuk liberalisme, komunisme, dan fundamentalisme agama. Khusus terkait ideologi transnasionalisme yang saat ini mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya ideologi Khilafahisme, para pembicara menjelaskan dari berbagai perspektif sejarah, sosiologi, psikologi, dan ekonomi. Pondok pesantren sebagai komponen penting dari masyarakat sipil Indonesia (MSI), kata Hikam, potensial baik sebagai subjek dan agen perubahan dan benteng menghadapi radikalisme. Namun, pondok pesantren juga bisa menjadi objek dan sasaran radikalisme karena berbagai faktor. “Salah satu potensi positifnya adalah sumber tradisi keilmuan dan kedekatannya dengan masyarakat sejak berabad-abad dalam sejarah,” jelas mantan Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Abdurrahman Wahid itu. Namun, pada saat yang sama, ponpes juga berada dalam pusaran perubahan yang cepat bukan saja pada tataran lokal dan nasional tetapi juga global. Sementara kapasitas komunitas pesantren sangat bervariasi, sehingga rentan menjadi objek kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya dari luar. Dalam perkembangan mutakhir, khususnya globalisasi yang diwarnai teknologi infornasi saat ini, ponpes, kata Hikam, masih berada pada posisi penerima dan sasaran, dan belum menjadi pengubah apalagi penentu dinamika. “Itu sebabnya jika ponpes akan dilibatkan dalam upaya membendung pengaruh radikalisme yang disebarkan oleh kekuatan transnasional seperti HTI, Al Qaeda, ISIS, dan lain-lain, dia perlu didukung oleh negara di samping melakukan perubahan internal dalam dirinya sendiri. Penguatan ekonomi dan pembentukan jejaring infornasi serta keterlibatan dalam berbagai kegiatan deradikalisasi adalah beberapa hal yang penting,” ulas Hikam. Walaupun ponpes telah mampu mengimbangi wacana ideologis melalui kajian-kajian fiqih ketatanegaraan (fiqh siyasah), tetapi secara sosiologis tetap masih ringkih sebagai kekuatan penggerak di masyarakat yang sedang berubah cepat. Pondok pesantren, kata Hikam, seringkali harus menghadapi dan menjawab tuntutan perubahan dengan kekuatan SDM dengan skills yang rendah bagi kiprah ekonomi modern. Karena itu, Hikam berharap Pemerintah Indonesia tidak hanya beretorika dalam mendukung komunitas ponpes. “Berbagai program penguatan ekonomi kerakyatan perlu didesain dan diwujudkan secara tepat agar ponpes dan masyarakat sekitarnya mendapat manfaat dan bukan malah terasing dalam hiruk pikuk pembangunan,” pungkasnya. Ketua Yayasan Salafiyah Kholidiyah, Puji Winarni menyatakan bahwa seminar nasional tersebut merupakan kegiatan rutin Pondok Pesantren Salafiyah Kholidiyah Plumpang. Pada tahun ini kegiatan dilakukan atas dukungan International NGO on Indonesian Development (INFID). Senior Program Officer Sustainable Development Goal’s(SDGs) INFID, Hamong Santono menyampaikan apresiasi tinggi terhadap Yayasan Salafiyah Kholidiyah karena berhasil melaksanakan seminar nasional, yang juga sebagai upaya mensosialisasikan SDGs, khususnya Tujuan 16 tentang masyarakat damai, non-diskriminatif, pemerintahan yang kuat dan akuntabel. Seminar Nasional berlangsung lancar dan dihadiri lebih dari 400 orang dari berbagai kalangan, terutama para generasi muda di wilayah Kabupaten Tuban, Lamongan dan Bojonegoro. Ansor, Karang Taruna, PMII, santri putra/i, NU, pejabat dari Tripika, dan masyarakat umum. (Very)  
Artikel Terkait
Dasco: Jumlah Kementerian Merupakan Implementasi dari Asta Cita dan 17 Program Aksi Prabowo
Femisida: Urgensi Persoalan yang Belum Usai
Jadi Anggota Panmus, Senator Stevi Harman: Isu-isu Strategis Perlu Disinkronkan
Artikel Terkini
Dasco: Jumlah Kementerian Merupakan Implementasi dari Asta Cita dan 17 Program Aksi Prabowo
PT WMS Gelar Diskon Khusus Service Sepeda Motor Honda untuk Anggota TNI di AHASS Jakarta-Tangerang
Libatkan Ribuan Industri Kecil, Kemenperin Gencar Sosialisasi Sertifikat TKDN
Korupsi Nol
Femisida: Urgensi Persoalan yang Belum Usai
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
vps.indonews.id