Jakarta, INDONEWS.ID - Rencana pulangnya Rizieq Shihab (RS) ke Indonesia menjadi salah satu berita terhangat di Tanah Air. Rencana kepulangan Rizieq terus digoreng pihak tertentu yang ingin “memancing di air keruh”. Namun, hingga kini, jadwal pulangnya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) ini belum kunjung pasti.
Pengamat politik President University AS Hikam mengatakan, pulangnya RS ke Indonesia merupakan sebuah syarat mutlak bagi gerakan 212, yang selama ini tampil sebagai oposisi pemerintahan Joko Widodo. Pasalnya, RS merupakan figur pemersatu gerakan 212, yang selama ini dilanda konflik internal.
“Konflik internal elit pendukung Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah nyata dan kemungkinan kian bertambah parah. Sebagian dari pemimpin gerakan 212 kini pecah dan ini berpotensi menular ke lapis bawah. Kembalinya sang Imam Besar sebagai solusi alternatif terbaik sulit dibantah. Memimpin gerakan politik oposisi dari luar negeri, meniru model Imam Khomeini, prospeknya lebih susah,” ujarnya melalui website pribadinya, http://www.hikamreader.com/, yang diunggah Kamis (22/2/2018).
Dalam artikel berjudul “Kepulangan HB Rizieq dan Respon Pemerintah PJ” (Presiden Jokowi), yang tayang sebelumnya, AS Hikam mengatakan, bagi pendukung RS khususnya, dan kelompok Islam politik umumnya, kembalinya tokoh tersebut adalah sebuah keniscayaan politik. “Tanpa kehadiran beliau di tanah air, ghirah (greget), kiprah, dan akselerasi perjuangan mereka mungkin akan kehilangan momentumnya. Mengapa sedemikian penting? Karena absennya sang tokoh telah, sedang, dan akan kian memperbesar potensi krisis kepemimpinan kelompok tersebut,” ujarnya.
Menurut Hikam, persoalan terpenting yang kini dihadapi oleh para pendukung RS bukan hanya kapan dia akan kembali, tetapi juga - dan lebih urgen – secepat apa RS bisa kembali tanpa terganggu oleh persoalan hukum yang menjadi kendala serta penyebab ketidakhadirannya selama beberapa bulan terakhir.
“Semakin tertunda kepulangan sang Imam Besar itu, semakin kuat pula potensi terjadinya krisis kepemimpinan dan pelemahan kelompok Islam politik yang selama ini tergantung kepada karisma dan kepemimpinan beliau,” ujarnya.
Hikam mengatakan, hingga kini, belum ada satu pun figur yang mampu menjadi motor dan penggerak kelompok tersebut seperti RS. Faktanya, para Alumni 212, yang notabene adalah salah satu kekuatan yang dijadikan bukti cerita sukses gerakan Islam politik, kini menghadapi perpecahan dan membentuk perkubuan di elitnya.
Sementara itu, bagi pihak pemerintahan Jokowi, kepulangan RS juga harus disikapi secara efektif dan tanpa menimbulan ekses-ekses sospol yang dapat menyumbang peningkatan gangguan stabilitas di tahun politik. Jika kasus hukum Rizieq diabaikan - karena alasan pentingnya melakukan strategi politik akomodatif - maka kredibilitas pemerintahan Jokowi, baik secara legal, politik, dan etik, akan dipertanyakan publik.
Karena itu, Pemerintahan Jokowi harus memperhitungkan dengan sangat matang dan hati-hati, termasuk menimbang faktor opini dan persepsi publik baik di dalam negeri maupun masyarakat internasional yang juga terus memantau dinamika politik di Indonesia.
“Hemat saya, prinsip rule of law dan equality before the law akan diuji apakah akan dipegang teguh oleh Pemerintah PJ, baik tersurat maupun tersirat, ataukah ditundukkan oleh pragmatisme politik menghadapi dinamika perpolitikan nasional jelang Pileg & Pilpres 2019,” ujarnya.
Menteri Riset dan Teknologi (Ristek) Kabinet Gus Dur ini mengatkaan, tren legitimasi dan akseptabilitas Pemerintah Jokowi semakin kuat di mata rakyat. Pendekatan penegakan hukum pun mendapat dukungan luas dari publik dan aparat. Sementara itu, tak semua kelompok oposisi kompak mendukung RS dan gerakannya dalam politik elektorat. Kekuatan-kekuatan ormas Islam di masyarakat sipil pun mayoritasnya berorientasi kepada politik moderat.
"Hadapi proses hukum dengan segala konsekuensinya, maka marwah dan kepemimpinan akan terjaga. Itulah yang dulu dipilih dan dilakukan para pahlawan bangsa dan para pejuang besar dunia,” ujarnya.
“Kita tunggu saja bagaimana drama kepulangan HRS akan berkembang, dan bagaimana Pemerintah menyikapinya. Jika urung terus-terusan, maka yang akan dirugikan adalah sang Imam Besar dan kekuatan kelompok Islam politik yang sangat memerlukan kehadiran beliau, sebab momentum untuk meneguhkan keberadaan dan kiprah mereka di pentas politik nasional akan hilang. Bukan hanya itu; ia bisa jadi akan makin membuka peluang konflik internal di kalangan elit dan pendukungnya,” pungkasnya.