Jakarta, INDONEWS.ID -- Penggerebekan dalam kasus prostitusi online yang diinisiasi oleh anggota DPR Andre Rosiade merebak di media. Penggerebekan kontroversial itu dilakukan oleh Tim Cyber Ditreskrimsus Polda Sumbar, Minggu (26/1) lalu, yang juga diikuti oleh Andre Rosiade.
Pasalnya, penggerebekan dilakukan setelah PSK yang menjadi tersangka itu merasa dijebak. Menurut pengakuannya, dia telah `dipakai` terlebih dahulu sebelum digerebeg.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. Liona Nanang Supriatana, S.H., M.Hum. mengatakan, dalam Prostitusi online seharusnya yang ditangkap dan dihukum adalah pria pemesan, bukannya wanita yang harus menghadapi tindak pidana ini.
“Karena wanita adalah korban dari orang yang memiliki kekuasaan yakni uang, keputusan untuk melakukan prostitusi atau tidak bukan terletak di pihak wanita melainkan di pihak pria sebagai pemesan,” ujarnya melalui pernyataan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (6/2).
Karena itu, katanya, yang harus dilindungi sebenarnya oleh Kepolisian adalah pihak wanita sebagai korban, bukannya pria sebagai pelaku. “Justru pihak pria pemesan yang harus ditangkap dan diadili karena yang menyebabkan kejahatan ini berlangsung,” ujarnya.
Penggebekan itu, menurut pengurus DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) itu sangat disayangkan karena jebakan penggerebekan ini memunculkan masalah baru, yakni menegakan keadilan dengan jalan ketidakadilan, sehingga melahirkan ketidakadilan baru.
Liona menegaskan waktunya yang tepat saat ini bangsa Indonesia harus mengubah peraturan perundangan yang berlaku, karena belum ada pasal dalam KUHP yang mengatur tentang penegakan hukum pidana untuk para pelanggan prostitusi, bahkan berkembang pola pikir yang keliru bahwa penyebab prostitusi terletak di pihak wanita, sehingga wanita penjaja seks diekspos besar-besaran tapi lelaki penyewa jasanya justru dilindungi.
Wanita tersebut, kata Presiden Bandung Lawyers Club Indonesia itu, seharusnya dilindungi dan dijunjung martabatnya sebagai korban dari lelaki hidung belang. Seharusnya lelaki hidung belang yang ditindak dan dipenjara karena telah merendahkan derajat wanita dan melakukan kekerasan terhadap wanita.
Menurut Liona yang pernah mengikuti studi banding ke Swedia yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI Angkatan 58 itu, produk hukum mulai dari Undang-Undang sampai dengan Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemberantasan kejahatan asusila di Indonesia adalah bias jender. Hal ini disebabkan para pembuat Peraturan hukum di Indonesia adalah dunia pria (maskulin), artinya dalam memandang setiap kejahatan asusila lebih cenderung dari persfektif laki-laki. Hal tersebut berbeda dengan negara seperti Swedia yang anggota Dewan Perwakilan Rakyatnya 50% pria dan 50 % wanita, sehingga dalam menentukan kriteria kejahatan asusila tidak hanya dari sudut pandang pria.
Di Swedia, sejak pemberlakuan Undang-Undang Prostitusi tahun 1999, telah berhasil menurunkan tingkat prostitusi sampai dengan 80%. Dalam Undang-Undang tersebut diatur bahwa wanita yang melakukan prostitusi adalah korban kekerasan dari pria hidung belang yang dimanfaatkan oleh mucikari karena kemiskinan.
“Oleh karena itu Negara harus melindungi korban, dengan jalan memberikan keterampilan sampai korban bisa hidup mandiri dan pria hidung belang ditangkap dan diadili,” pungkas Liona. (Very)