INDONEWS.ID

  • Sabtu, 07/03/2020 15:30 WIB
  • Pendekatan Kewilayahan (Regionalisasi): Terobosan Penting Dalam Kebijakan Penanggulangan Stunting Nasional

  • Oleh :
    • very
 Pendekatan Kewilayahan (Regionalisasi): Terobosan Penting Dalam Kebijakan Penanggulangan Stunting Nasional
Abdullah Antaria. (Foto: ist)

 

Abdullah Antaria*)

Baca juga : Jaga Keberlanjutan Agenda Pembangunan Mendatang, Pemerintah Evaluasi Capaian Kinerja PSN Tahun 2024

“Yang kedua, yang berkaitan dengan stunting, kekerdilan, artinya kurang gizi. Hati-hati dengan ini. Pemerintah daerah harus ikut campur ke sana. Terutama yang sudah pada posisi petanya merah, itu hati-hati. Semua daerah, semua provinsi ini ada semuanya. Dulu kita, lima tahun yang lalu kita angkanya 37 persen, gede banget, (sekarang) sudah turun jadi 28 persen, tapi itu masih tinggi sekali. Target kita dalam lima tahun ke depan harus mencapai angka empat belas. Meskipun di dalam perencanaan sembilan belas, ndak, saya enggak mau, saya minta empat belas. Perencanaannya sembilan belas tapi saya minta, Presiden minta empat belas…” 

Sambutan Presiden RI pada

Baca juga : Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama

Pembukaan Musrenbangnas Rancangan RPJMN 2020-2024 

16 Desember 2019

Baca juga : Kunker ke Halmahera Timur, Kepala BSKDN Beberkan Strategi Menjaga Keberlanjutan Inovasi

 

Pendahuluan

Dalam lima tahun terakhir, Stunting menjadi salah satu isu strategis nasional di bidang kesehatan yang secara gradual dapat dieliminir oleh Pemerintah. Dalam lima tahun kedepan isu stunting ini telah ditetapkan Presiden sebagai prioritas nasional yang harus segera diatasi secara signifikan. Hal ini dinyatakan tegas oleh Presiden dalam berbagai forum, salah satunya pada Pembukaan Musrenbangnas Rancangan RPJMN 2020-2024 tanggal 16 Desember 2019. Dengan dijadikannya isu stunting sebagai arah kebijakan Presiden RI dalam lima tahun kedepan, maka arah kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang kesehatan dipastikan akan bergerak ke  haluan yang sama. Dalam hal ini  Bappenas telah menargetkan penurunan angka Stunting hingga 19% di tahun 2024, bahkan Presiden RI menargetkan hingga 14% di tahun 2024.

Salah satu arah kebijakan penting yang akan dilakukan dalam penanganan stunting sepanjang lima tahun kedepan adalah pelaksanaan pendekatan regional. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden RI pada bulan Februari tahun 2020, bahwa dalam penanganan stunting harus dilakukan kerjasama antar pemangku kepentingan untuk melakukan penanganan secara regionalisasi, dimana daerah yang diidentifikasi stunting akan dibagi per regional dengan leading sector penanganan per regional. Dalam hal ini dasar yang dijadikan acuan Wapres untuk mengusulkan regionalisasi, adalah identifikasi yang dilakukan oleh Mendagri dimana masih terdapat 160 Kabupaten yang masuk dalam kategori merah dalam masalah stunting dan akan ditangani dengan membentuk tim terpadu antar K/L.

Kebijakan regionalisasi pada dasarnya merupakan solusi kelembagaan yang akan melibatkan banyak stakeholders yang perlu dilaksanakan secara efektif. Disisi lain, selama ini memang terdapat kendala kelembagaan yang perlu segera diatasi dan diharmonisasi agar sinergi antar stakeholders dapat berjalan baik. Pelaksanaan pendekatan regionalisasi secara kelembagaan sepatutnya dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi stunting secara komprehensif.

Penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran persoalan kelembagaan dalam penanganan stunting selama ini dan memberikan gambaran teknis solutif atas persoalan tersebut melalui formulasi dan implementasi kebijakan regionalisasi yang dapat bergerak efektif di lapangan dalam menangani stunting.

 

Beberapa Pokok Persoalan Kelembagaan dan Pentingnya Pendekatan Kewilayahan (Regionalisasi)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama ini terhadap pelaksanaan kebijakan penanggulangan stunting terdapat beberapa pokok persoalan mendasar yang harus menjadi perhatian untuk diatasi kedepan antara lain:

  1. Tidak tepatnya sasaran, dan tidak tepatnya tindakan intervensi. Hal ini tergambar dari beberapa pendekatan klinis yang tidak tepat di lapangan (misal: pemberian makanan tambahan yang salah). Hal ini terjadi karena perbedaan informasi dan pemahaman atas kondisi kebutuhan riil penderita stunting di lapangan, sehingga penyusun kebijakan tidak tepat dalam menyusun skenario intervensi.
  2. Koordinasi yang belum berjalan matang khususnya antara pusat dan daerah. Mengingat kewenangan di bidang pelayanan kesehatan termasuk gizi telah diserahkan kepada Daerah (UU PEMDA), maka pendekatan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Kemenkes RI, seringkali sulit untuk langsung diimplementasikan karena daerah memiliki kewenangan tersendiri dan pemahaman yang berbeda.
  3. Perbedaan Kondisi antar Regional. Pada kenyataannya kondisi setiap daerah yang berbeda, baik secara geografis, ekonomi, infrastruktur, budaya, hingga kualitas SDM berdampak pada sulitnya menggeneralisasi implementasi kebijakan. Dengan kompetensi yang berbeda-beda antar daerah, tidak semua daerah memiliki kemampuan yang seragam sesuai standar dalam melakukan pendekatan spesifik atau intervensi klinis. Dengan kondisi infrastruktur dan geografis yang berbeda, tidak semua daerah memiliki aksesibilitas yang baik untuk menjangkau penderita stunting. Perbedaan kondisi inilah yang menjadi landasan bahwa pendekatan intervensi tidak bisa disamakan antar daerah, dan memerlukan regionalisasi.
  4. Dukungan Stakeholders khususnya di Daerah yang Masih Kurang. Kurangnya dukungan stakeholders (Pemda, Swasta, Tokoh Masyarakat, dll) dapat disebabkan pemahaman stakeholders yang berbeda dengan pusat. dalam hal ini banyak pemangku kepentingan di daerah belum memiliki pemahaman yang cukup dan belum sensitif terhadap kondisi stunting. Hal ini sangat bergantung pada kemampuan advokasi, sosialisasi, dan KIE dari pusat ke daerah. Upaya sensitizing kebijakan secara tepat menjadi kunci penting bagi pemerintah pusat untuk memastikan bahwa pemangku kepentingan di daerah memiliki pemahaman yang sama tentang stunting. Dalam hal ini penedekatan regionalisasi diperlukan.
  5. Belum adanya indikator keberhasilan pendekatan sensitif kebijakan. Pendekatan sensitif menjadi salah satu strategi yang selama ini dilakukan pemerintah. Namun demikian kinerja dari pendekatan sensitif ini belum terukur dengan baik. Belum ada indikator yang seutuhnya dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana perubahan perilaku terjadi di masyarakat. Hal ini penting untuk diukur karena perubahan perilaku adalah salah satu prasyarat mendasar untuk mencegah stunting terjadi kembali di kemudian hari.
  6. Masih adanya kebijakan yang tidak implementatif di lapangan. Pada kenyataannya beberapa kebijakan pusat tidak berjalan efektif di lapangan. Hal ini tergambar dari implementasi Perpres nomor 83 tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi serta Permenkes nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang belum berjalan dengan baik di daerah. Dalam hal ini pendekatan kewilayahan (regionalisasi menjadi kunci penting yang harus dilakukan).
  7. Minimnya pendekatan keluarga/Peran UKM Puskesmas yang lemah di lapangan. Upaya pemerintah untuk melakukan intervensi secara masif hingga ke level keluarga seharusnya berjalan efektif melalui peran Posyandu dan peran UKM Puskesmas. Hal ini menjadi lemah, karena keberadaan Posyandu yang aktif mulai stagnan berkurang di daerah, dan peran Puskesmas yang lebih dominan dalam hal UKP pasca berjalannya program JKN.

Dari uraian pokok persoalan tersebut, tergambar bahwa terdapat kendala dalam implementasi kebijakan dimana peran dan kondisi daerah yang tidak optimal dalam mendukung kebijakan intervensi stunting selama ini. Terdapat persoalan mendasar dalam perencanaan kebijakan dimana Pemangku kebijakan di tingkat pusat tidak mengantisipasi persoalan kewilayahan yang sangat mendasar. Dalam hal ini kedepan diperlukan pendekatan kewilayahan (regionalisasi) untuk memastikan intervensi kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan optimal.

Membangun Strategi Pendekatan Regionalisasi melalui Peran Provinsi

Strategi pendekatan Regionalisasi dapat dilakukan dengan membentuk Tim Penanggulangan di Tingkat Pusat terlebih dahulu, namun secara teknis pelaksanaan, tugas ini sebaiknya diserahkan lebih lanjut kepada Pemerintah Provinsi untuk membentuk Tim Penanggulangan Regional dengan melibatkan seluruh Stakeholders Daerah. Pelibatan Pemprov penting untuk memastikan keakuratan intervensi kebijakan sekaligus mendistribusikan kebutuhan dukungan sumber daya termasuk fiskal.

Secara teknis, pendekatan regionalisasi melalui Pemerintah Provinsi dapat dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut

  1. Membentuk Tim Penanggulangan Pusat untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan. Tugas teknis didelegasikan pada Gubernur/Pemprov selaku wakil Pemerintah pusat dengan membentuk Tim Penanggulangan Regional melibatkan
  2. Tim bertugas/diberikan wewenang oleh Gubernur untuk mengkoordinasikan upaya percepatan penanggulangan stunting jangka pendek dan jangka panjang. (diketuai oleh Wagub/Sekda)
  3. Tim Regional terbagi dalam dua pokja untuk masing-masing pendekatan (spesifik dan sensitif).
  4. Masing-masing Pokja Tim Regional menyusun strategi terobosan penanggulangan sesuai dengan karakteristik wilayah. (pendekatan kewilayahan)
  5. Pelaksanaan/implementasi dari strategi yang disusun oleh pokja dioperasionalkan oleh Satgas di tingkat kab/kota atau subregional (lintas kab/kota) yang dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan melibatkan stakeholders di level Kab/Kota.
  6. Gbr. 1. Struktur Tim Penanggulangan Regional

BEBERAPA BENTUK TEROBOSAN PROGRAM YANG PERLU/ DAPAT DIKEMBANGKAN SESUAI KARAKTERISTIK REGIONAL

Secara substantif terdapat beberapa inisiatif strategis/ terobosan program yang perlu atau dapat dikembangkan secara kewilayahan oleh Tim Penanggulangan Regional, baik dari sisi pendekatan sensitif maupun spesifik. Gambaran beberapa bentuk terobosan tersebut, sebagai berikut:

 

                                                              Gbr. 2 Beberapa Bentuk Terobosan Program                        

Dalam hal ini, pada sisi pendekatan spesifik diperlukan beberapa bentuk terobosan baik secara teknis program maupun teknis kelembagaan. Dari sisi teknis program, diperlukan program yang bersifat promotif preventif yang sesuai karakter dengan masih-masing wilayah. Program yang bersifat promotif preventif tidak bisa digeneralisir secara nasional karena masing-masing daerah memiliki perbedaan karakter. Dalam hal ini diperlukan dua pendekatan program: 1) pendekatan preventif sekunder dengan program pemulihan dini bagi penderita yang sudah sehat beserta keluarganya, dengan materi program yang sesuai dengan karakter wilayah, dan 2) pendekatan promotif (pre stunting), yang dapat dimaksimalkan sesuai dengan karakter wilayah melalui peran optimal dari Puskesmas setempat dalam melakukan intervensi spesifik.

Dari sisi teknis kelembagaan, pendekatan spesifik harus dilakukan  melalui pelibatan perguruan tinggi/ RS Vertikal Pendidikan yang berada atau terdekat dari wilayah intervensi. Pelibatan RS Vertikal Pendidikan, dilapangan ditunjukkan dengan keterlibatan Dokter Internship dalam Tim Satgas Intervensi di level Kab/Kota. Hal ini akan semakin efektif jika keterlibatan dalam satgas menjadi bagian dari salah satu penilaian kelulusan Dokter Internship. Selain itu diperlkan penguatan program UKM Puskesmas, dalam hal ini keterlibatan program UKM Puskesmas dalam mendorong stunting dapat menjadi salah satu kewajiban (mandatory) untuk dipenuhi sebagai prasyarat pencairan BOK Puskesmas atau syarat akreditasi Puskesmas. Masih banyak lagi inovasi pada sisi teknis kelembagaan yang dapat dikembangkan untuk memastikan pendekatan spesifik dapat dilakukan secara kewilayahan.

Dari sisi pendekatan sensitif, literasi gizi daerah harus menjadi perhatian utama. Dengan karakteristik kewilayahan yang beragam, maka pendekatan literasi gizi harus dilakukan secara lokal untuk memastikan program berjalan efektif. Pendekatan lokal dapat melibatkan posyandu ataupun mitra kerja lainnya di level Perdesaan/Kelurahan secara maksimal. Selain pendekatan literasi gizi daerah secara lokal, diperlukan pendekatan ketahanan keluarga. Dalam hal ini kemampuan keluarga dalam memastikan gizi anggotanya terpenuhi harus ditingkatkan. Pendekatan ketahanan keluarga bersifat sangat lokal dan dapat diarahkan pada empat bidang sasaran antara lain: 1) ketahanan hidup korban stunting, 2) ketahanan keluarga dengan korban stunting, 3) pemberdayaan ekonomi keluarga, dan 4) pendidikan gizi keluarga. Dengan pendekatan sensitif melalui ketahanan keluarga dan peningkatan kemampuan literasi gizi secara lokal diharapkan dapat mencegah meningkatnya angka penderita stunting di Indonesia.

 

PENUTUP

Pokok-pokok persoalan mendasar belum optimalnya implementasi kebijakan penanggulangan stunting di daerah, berujung pada tidak optimalnya dukungan daerah dalam mendorong kebijakan intervensi stunting selama ini. Dalam hal ini Pemangku kebijakan di tingkat pusat tidak mengantisipasi persoalan kewilayahan yang sangat mendasar. Kedepan diperlukan pendekatan kewilayahan (regionalisasi) untuk memastikan intervensi kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan optimal.

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana pada Universitas UHAMKA Mata Kuliah Sumber Daya Manusia Kesehatan untuk Mutu Serta Administrasi & Kebijakan Kesehatan, dan mantan Staf Pada Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI.

Artikel Terkait
Jaga Keberlanjutan Agenda Pembangunan Mendatang, Pemerintah Evaluasi Capaian Kinerja PSN Tahun 2024
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
Kunker ke Halmahera Timur, Kepala BSKDN Beberkan Strategi Menjaga Keberlanjutan Inovasi
Artikel Terkini
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas