INDONEWS.ID

  • Minggu, 14/05/2017 11:14 WIB
  • Pembuktian TPPO Jadi Tantangan Penegak Hukum

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Pembuktian TPPO Jadi Tantangan Penegak Hukum
Seminar, “Berperan Bersama dalam Pemenuhan Hak Saksi dan Korban TPPO” di Pontianak, Rabu (10/5/2017). (Foto: LPSK)
Pontianak, INDONEWS.ID - Pembuktikan unsur-unsur dalam pasal tindak pidana perdagangan orang (TPPO) menjadi tantangan tersendiri bagi para penegak hukum. Sulitnya pembuktian pasal perdagangan orang pada banyak kasus, membuat pelaku hanya dijerat dengan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bukannya menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan TPPO yang hukuman pidananya lebih berat. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan secara modern yang terjadi tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional. Perkembangan teknologi informasi makin membuat modus perdagangan orang semakin canggih. Untuk memperkuat perlawanan terhadap pelaku TPPO, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. “Hadirnya UU Pemberantasan TPPO diharapkan dapat menekan kasus perdagangan orang karena hukuman pidana yang diatur dalam aturan ini cukup berat, yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Selain itu, UU Pemberantasan TPPO juga sudah mengatur perlindungan dan hak-hak yang bisa diakses saksi dan korban perdangan orang,” ujar Semendawai dalam seminar, “Berperan Bersama dalam Pemenuhan Hak Saksi dan Korban TPPO” di Pontianak, Rabu (10/5/2017). Seminar yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan di Provinsi Kalbar, seperti hakim, jaksa, polisi, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendamping saksi dan korban, serta wartawan dari sejumlah media massa itu, menghadirkan narasumber Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalbar Panusunan Harahap, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Kalbar Wily Ade Haidir dan Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar. Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalbar Panusunan Harahap berpendapat, perlu kesamaan cara pandang antarpenegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal untuk menjerat pelaku TPPO. Karena dari beberapa pengalamannya menangani kasus TPPO, pasal yang digunakan jaksa penuntut umum masih Pasal 296 KUHP yang ancaman hukumnya hanya 1 tahun 4 bulan. “Indonesia sudah memiliki UU Pemberantasan TPPO dengan ancaman pidana lebih berat, mengapa tidak pasal-pasal dalam UU itu saja yang digunakan,” katanya melalui siaran pers, Sabtu. Aspidum Kejati Kalbar Wily Ade Haidir mengungkapkan, pada kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak, pihaknya sudah menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan TPPO. Namun, tantangannya adalah pembuktikan unsur-unsur dalam pasal-pasal tersebut. “Membuktikan unsur-unsur dalam pasal itu cukup sulit, maka JPU kerap melapisnya dengan Pasal 296 KUHP. Dengan demikian, jika pasal UU TPPO lepas, pelaku masih bisa dijerat dengan Pasal 296 KUHP,” ujarnya. Pasal 2 UU Nomor 21 Tahu 2007 tentang Pemberantasan TPPO berbunyi, setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). “Pembuktian eksploitasi inilah yang agak susah kita lakukan,” kata dia. Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar menambahkan, dari 2.000-an kasus yang masuk ke LPSK, hampir dua pertiganya didominasi kasus perempuan dan anak. Sedangkan dalam kasus TPPO, sangat jarang permohonan perlindungannya yang diajukan sendiri oleh korban, melainkan oleh aparat penegak hukum maupun lembaga pendamping saksi dan korban. “Kondisi ini menunjukkan sinergitas antarpenegak hukum sudah terbangun demi terpenuhinya hak-hak saksi dan korban khususnya dalam kasus TPPO,” ujarnya. (Very)
Artikel Terkait
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Artikel Terkini
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas