INDONEWS.ID

  • Jum'at, 10/04/2020 22:01 WIB
  • Pakar Komunikasi: Wacana Pencabutan Telegram Kapolri Berlebihan

  • Oleh :
    • very
Pakar Komunikasi: Wacana Pencabutan Telegram Kapolri Berlebihan
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Di era kemajuan teknologi komunikasi di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia, membuat semuanya lebih transparan, terukur dan objektif.

Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbaik di dunia menghargai kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin konstitusi, dipastikan penegakan hukum lebih terukur dibanding negara lain dengan kualitas demokrasi yang masih dipertanyakan.

Baca juga : Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing mengatakan, ada kalangan tertentu yang mewacanakan salah satu dari lima telegram Kapolri, yaitu terkait dengan penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah agar dicabut. Menurutnya, permintaan itu berlebihan.

“Sebab, segala bentuk penghinaan dari seseorang kepada orang lain, tak terkecuali penghinaan kepada presiden, adalah bentuk perbuatan yang tidak linear dengan UU pidana,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (10/4).

Baca juga : Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi

Jadi, kata Emrus, telegram Kapolri terkait dengan penghinaan kepada presiden sebagai pemberitahuan yang sekaligus pesan moral dan tindakan preventif dalam rangka tertib hukum bagi setiap orang yang ingin berpendapat, termasuk wacana terkait covid-19,  agar dilakukan berbasis fakta, data dan bukti terverifikasi.

Karena itu, Indonesia sebagai negara hukum mengedepankan keberadaban (kemanusiaan yang beradab) maka penegakan hukum berdasarkan kemanfaatan.

Baca juga : Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi

“Artinya, mengutamakan himbuan, tindakan preventif (seperti patroli gabungan, penetapan PSBB oleh pemda). Kemudian, tentu bila masih diperlukan, sebagai pamungkas baru penegakan hukum objektif untuk kepentingan umum, asas kepastian hukum, menegakkan keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat, yang  disebut sebagai ultimum remedium,” ujarnya.

Menurut Emrus, di samping itu, lazimnya berwacana di ruang publik,  melontarkan kritik, dan berdebat, sama sekali tidak boleh menyinggung latar belakang seseorang dari aspek apapun yang sifatnya membunuh karakter, apalagi menghina atau merendahkan.

Karena itu, yang harus dikritik, atau ditanggapi atau dievalusi dari pejabat dan atau presiden yaitu menyangkut pandangan,  kebijakan, program dan kinerja. “Tentu disertai sajian fakta, data dan bukti sehingga bangunan argumentasi menjadi kuat dan terpercaya. Lebih baik lagi disertai solusi yang operasional, sehingga terhindar dari tindakan menghina,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan menyesalkan terbitnya telegram Polri yang salah satunya berisi tentang penindakan hukum bagi orang yang menghina presiden dan pejabat negara dalam situasi wabah virus corona (Covid-19).

SBY menyatakan poin dalam telegram Polri tersebut malah memicu persoalan baru.

"Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi. Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk ‘mempolisikan’ warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara," ujar SBY dalam tulisan artikelnya yang diunggah ke akun Facebook, Rabu, (8/4) siang.

"Mumpung ketegangan ini belum meningkat, dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak," kata SBY.

Karena itu, SBY meminta semua pihak agar fokus menangani pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum berakhir.

"Saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini," kata Presiden RI dua periode itu.

SBY pun mengingatkan kembali prioritas saat ini adalah menyelamatkan warga yang sudah terinfeksi, dan membatasi serta menghentikan penyebaran virus corona.

SBY mengatakan, jika hal itu tidak segera diatasi malah akan membuat pemerintah malu. Tidak hanya itu, SBY menyatakan hal tersebut juga mempermalukan Indonesia di dunia, sebab, hal seperti itu tidak terjadi di negara lain. 

"Isu yang muncul sebenarnya klasik dan tidak luar biasa. Intinya adalah bahwa negara, atau pemerintah, akan mempolisikan siapapun yang menghina presiden dan para pejabat pemerintah," kata SBY.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu mengatakan, dirinya memahami bahwa pemerintah saat ini sebenarnya juga mengalami tekanan psikologis. Dia menilai, pemerintah mungkin takut jika upaya mereka dalam menangani virus corona gagal dan tak mampu menyelamatkan rakyat. Ia juga berpandangan kemungkinan juga pemerintah takut kebijakannya disalahkan rakyat.

"Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan," ujar SBY.

"Situasi seperti inilah yang bisa memunculkan `benturan` antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidakcocokan dan ketidaksukaan," tambahnya.

Namun, di sisi lain, SBY berharap agar masyarakat tak selalu menunjukkan sikap apriori terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah. Dia juga meminta masyarakat untuk tidak terlalu cepat menuduh pemerintah tidak serius, bahkan tidak berbuat apa-apa dalam menangani corona.

"Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, termasuk keterbatasan keuangan negara, pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi wabah korona ini," pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Artikel Terkini
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Tak Terdaftar di OJK, Perusahaan Investasi asal Hongkong Himpun Dana Masyarakat
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Perkuat Binwas Pemerintahan Daerah, Mendagri Harap Penjabat Kepala Daerah dari Kemendagri Perbanyak Pengalaman
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas