INDONEWS.ID

  • Rabu, 26/08/2020 21:30 WIB
  • Alissa Wahid: Pemutarbalikkan Sejarah oleh Kelompok Khilafah Perlu Ditanggapi Serius

  • Oleh :
    • very
Alissa Wahid: Pemutarbalikkan Sejarah oleh Kelompok Khilafah Perlu Ditanggapi Serius
Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau biasa disapa Alissa Wahid. (Foto: Inisiatif News)

Yogyakarta, INDONEWS.ID -- Upaya pemutarbalikkan sejarah oleh kelompok pengusung khilafah di Indonesia tidak perlu ditanggapi serius. Apalagi ini berkaitan dengan eksistensi dan sejarah panjang bangsa Indonesia serta Nusantara. Oleh karena itu penting bagi bangsa Indonesia untuk belajar sejarah kembali tentang bangsa Indonesia dan alasan negara ini didirikan.

Pernyataan ini dikatakan oleh anggota Suluh Kebangsaan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau biasa disapa Alissa Wahid menanggapi upaya kelompok pengusung khilafah yang terus bergerilya menyebarkan ideologi transnasional tersebut. Menurutnya dengan mempelajari sejarah dan alasan berdirinya bangsa Indonesia akan membangkitkan kesetiaan kepada Indonesia dan tidak tergadaikan oleh khilafah.

Baca juga : Dasco: Jumlah Kementerian Merupakan Implementasi dari Asta Cita dan 17 Program Aksi Prabowo

”Gus Dur selalu mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada. Contohnya, saya sekarang sekarang di Jogja, kalau kita tahun 1945 tidak mencapai kesepakatan bernama Indonesia, saya ini berarti ada di negara yang berbeda dengan Jakarta. Karena tidak ada Indonesia,” ujar Alissa Wahid di Yogyakarta, Rabu (26/08/2020).

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini juga mengungkapkan bahwa seandainya pada tahun 1945 bangsa ini tidak bersepakat menjadi satu negara bangsa maka pasti terpecah-pecah. Karena itu menurutnya yang dipakai untuk mempersatukan adalah gagasan yang diberi nama Indonesia yang disepakati pada tahun 1928.

Baca juga : Femisida: Urgensi Persoalan yang Belum Usai

”Jadi kalau sekarang ada yang mau menyeragamkan dengan khilafah itu sama saja dengan membatalkan dan membubarkan Indonesia. Masalahnya memang kita ini yang mayoritas kalah dalam hal militansi dengan mereka sehingga disebut sebagai silent majority. Makanya terlihat mereka yang lebih banyak apalagi di media sosial,” tutur putri sulung Gus Dur itu.

Alissa menyebutkan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena sebagian besar orang Indonesia merasa nyaman, aman dan berpuas diri tapi tidak menjaga atau tidak memperbaharui komitmen kepada kebangsaaannya yaitu Indonesia dan akhirnya malah sibuk dengan kepentingannya sendiri.

Baca juga : Jadi Anggota Panmus, Senator Stevi Harman: Isu-isu Strategis Perlu Disinkronkan

”Disisi lain, ada kelompok yang sangat militan melakukan kaderisasi, melatih anggota-anggotanya untuk menjadi penggerak masyarakat dan sekarang penggerak-penggerak itu sudah ada dimana-mana termasuk di BUMN dan Kementerian/Lembaga (K/L) yang bisa kita lihat data-datanya dari berbagai survei yang ada,” ucap lulusan magister psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

Alissa menyampaikan bahwa anggota-anggota kelompok tersebut telah menyusup ke berbagai lini hingga ke ASN dan TNI-Polri yang mana sebenarnya lembaga ini adalah sebagai penyangga filosofi besar bangsa dan negara Indonesia.

”Padahal di Indonesia sendiri sebenarnya sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah itu. Hal ini bisa kita lihat dari sisi teologis khilafah islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah versi nabhani, tapi itu sebenarnya juga bukan khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah nabi. Jadi sebetulnya yang mana yang mau dipakai mereka sendiri juga tidak jelas,” terangnya.

Menurutnya, perlu strategi yang lebih efektif dan efisien serta orang-orang yang militan untuk menjaga NKRI. Perlu kader-kader yang memiliki keterampilan atau kecakapan untuk menggerakkan masyarakat yang tidak hanya bisa bilang NKRI harga mati tapi juga bisa mewujudkannya dengan menggerakkan masyarakat.

”Kita masih berkutat di hal-hal yang sifatnya seremonial saja seperti seminar atau even yang tidak bisa mencetak kader-kader yang diperlukan untuk menjaga bangsa. Di tempat saya sendiri Gusdurian baru mencapai 130 kota di Indonesia, belum semuanya. Karena kita tidak ada kekuatan dana,” ucapnya.

Kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga yang terdepan dalam penanggulangan terorisme menurutnya sangat diharapkan peran sertanya untuk turut serta mencetak kader-kader penggerak masyarakat.

”BNPT perlu untuk membuat program kaderisasi yang kuat jadi kita nanti bisa mencetak orang-orang yang memang bisa menggerakkan masyarakat. Kami di Gusdurian saja perlu waktu dua tahun melakukan kaderisasi kepada seseorang sampai dia mampu pada tingkat menjadi pemimpin atau bisa menggerakkan masyarakat. Nah, BNPT saya yakin juga bisa melakukan hal serupa, hanya desain programnya bisa lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait
Dasco: Jumlah Kementerian Merupakan Implementasi dari Asta Cita dan 17 Program Aksi Prabowo
Femisida: Urgensi Persoalan yang Belum Usai
Jadi Anggota Panmus, Senator Stevi Harman: Isu-isu Strategis Perlu Disinkronkan
Artikel Terkini
Pagelaran Wayang Kulit, Bima Arya Sosialisasikan Lembaran Aspirasi Warga untuk Mas Pram
Dasco: Jumlah Kementerian Merupakan Implementasi dari Asta Cita dan 17 Program Aksi Prabowo
PT WMS Gelar Diskon Khusus Service Sepeda Motor Honda untuk Anggota TNI di AHASS Jakarta-Tangerang
Libatkan Ribuan Industri Kecil, Kemenperin Gencar Sosialisasi Sertifikat TKDN
Korupsi Nol
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
vps.indonews.id