Jakarta, INDONEWS.ID -- Gagasan mengenai khilafah atau negara Islam di Indonesia memang telah lama ada dan merupakan fakta sejarah. Tetapi yang juga harus diketahui bersama bahwa para pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Oleh karena itu Indonesia adalah negara bangsa, bukan negara agama. Sehingga khilafah tidak lagi relevan bagi konteks Indonesia hari ini.
Peneliti senior di The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar mengatakan bahwa sebuah gagasan baik itu khilafah ataupun yang lain sebenarnya sah-sah saja. Begitu juga gagasan yang menentang khilafah dari kelompok moderat itu juga sah.
”Sebagai sebuah gagasan itu sebetulnya hal yang biasa, Pancasila kan juga sebetulnya memberikan ruang bagi keberagaman pemikiran dan pandangan. Bahwa Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara dan itu adalah final, iya. Tapi jika ada tafsir yang berbeda terhadap Pancasila itu tidak dapat serta merta juga dilarang, karena itu adalah buah pemikiran dan gagasan,” ujar Alamsyah M Djafar di Jakarta, Kamis (27/08/2020).
Menurut Alamsyah, yang seharusnya dilakukan oleh kelompok moderat adalah terus melakukan kritik mempersoalkan bahwa gagasan ini sebetulnya tidak cukup relevan pada kondisi saat ini. Menurutnya gagasan semacam khilafah akan terus hadir ketika ada masalah dengan pengelolaan negara atau krisis-krisis yang terjadi di tengah masyarakat.
”Jadi itu akan bermunculan dan saya kira hal yang lumrah saja dalam sejarah. Yang lain juga kita tahu ada juga yang seperti sunda empire, lalu kasus kelompok-kelompok agama baru seperti Lia Eden, kemudian gerakan-gerakan seperti gafatar. Itu akan terus bermunculan. Yang harus terus di dorong kepada masyarakat adalah memastikan bahwa gagasan itu tidak laku di masyarakat,” ucap Penulis di Alif.id itu.
Lebih lanjut, pria yang rajin menulis buku tentang toleransi dan keberagaman itu mengungkapkan bahwa negara baru dapat melakukan pembatasan atau bahkan menghukum seseorang atau kelompok jika bertentangan dengan UUD Pasal 28 yaitu Hak dan Kewajiban Warga Negara.
”Disitulah kemudian negara dapat membatasi melalui mekanisme hukum. Contoh misalnya ada kelompok tertentu yang mengembangkan gagasan khilafah dalam konteks ilmiah dia belum bisa dijerat dengan hukum atau sanksi, kecuali ketika mereka mulai membuat ujaran-ujaran kebencian terhadap orang yang tidak ikut mendukung khilafah. Nah itu dapat ditangani oleh hukum,” terang Alamsyah.
Menurutnya gagasan harusnya dilawan juga dengan gagasan, baru ketika gagasan itu berubah menjadi rencana makar dan penggalangan kekuatan baru kemudian ditindak tegas oleh hukum. Selain itu menurutnya, jika ada isu kelompok yang ingin makar dan sebagainya tentu negara dapat memantau mereka dengan perangkat intelijen yang ada.
”Sebetulnya kita kan ada perangkat intelijen untuk memantau itu semua agar bisa membuktikan apakah itu betul suatu gerakan yang dapat dinyatakan sebagai gerakan makar atau tidak. Itu artinya harus ada pemantauan terhadap gerakan-gerakan semacam ini,” jelas peraih Master bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) ini.
Selain itu, Alamsyah berpendapat bahwa tokoh agama atau tokoh masyarakat dapat diajak oleh pemerintah karena mereka memiliki massa di masyarakat. Karena itu menurutnya langkah yang paling strategis adalah mendorong para tokoh tersebut agar meyakinkan kepada umatnya bahwa agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang ada selama ini sudah final.
”Tentu pendekatannya bisa bermacam-macam sesuai media yang digunakan. Misalnya pendekatan agama, bagaimana agama islam, kristen memandang prinsip-prinsip dalam islam. Kemudian juga dengan perbuatan-perbuatan atau kegiatan-kegiatan yang konkret juga dari organisasi masyarakat selama ini. Misalnya pendampingan ekonomi dan lain-lain. Yang memberikan semacam keyakinan kepada umatnya, iniloh bentuk dari implementasi Pancasila itu,” tuturnya.
Sehingga dia menuturkan bahwa Pancasila itu bukan mengawang-awang saja tapi juga diterapkan ke dalam kehidupan nyata di masyarakat. Sehingga keluhan-keluhan bahwa pemerintah ini tidak adil atau barat itu mengancam islam bisa ditiadakan.
”Jadi sejauh kondisi-kondisi yang melahirkan grievances ini terjadi, maka akan terus muncul upaya-upaya alternatif seperti gerakan-gerakan negara Islam atau dalam konteks yang lain misalnya NKRI bersyariah. Ini sebagai titik perlawan mereka terhadap NKRI atau kritik terhadap konsep NKRI,” kata Alamsyah mengakhiri. (Very)