Oleh Muhammad AS Hikam, Pengamat dari President University
Opini, INDONEWS.ID - Vonis 4 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Jaktim itu, hemat saya, dapat berpotensi makin menjauhkan upaya mencari pengakhiran (closure) terhadap konflik politik yang berkecamuk antara "negara" (baca=pemerintah) vs kelompok Islamis.
Alih-alih, ia malah bisa memicu kemungkinan perluasan (widening) dan pendalaman (deepening) nya. Kelompok yang disebut terakhir tersebut akan menggarisbawahi sebagai pihak yang dipersekusi, didzolimi dan sebagainya.
Dampak terhadap masyarakat sipil Indonesia (MSI), yang secara keseluruhan sedang mengalami tren keterbelahan, juga tak kalah signifikan dalam arti yang "negatif."
Sebab politik identitas malah mengalami penguatan karena proses perluasan dan pendalaman tersebut. Implikasinya, kemampuan MSI melakukan penyeimbangan terhadap kekuatan "negara" akan tergerus secara signifikan!
Lantas pertanyaannya adalah apakah fenomena ini sekedar sebuah "konundrum" dalam dinamika relasi antara "negara" dan MSI pasca-reformasi?
Ataukah fenomena ini adalah sebuah hasil dari rekayasa politik "negara" yang sistematik dan struktural untuk semakin menghambat konsolidasi demokrasi (yang memang dimotori oleh gerakan MSI)?
Jika melihat tren global terkait dinamika demokratisasi yang sedang berkembang saat ini, terutama meluasnya politik identitas, rasanya kita perlu mewaspadai kemungkinan kedua. Apalagi jika dikaitkan dengan makin menurunnya angka Indeks Demokrasi di negeri ini.
Politik identitas adalah salah satu "virus" dalam batang tubuh politik di Indonesia yang sejak awal dimiliki; dan virus ini masih seringkali muncul (dimunculkan?) dan menyumbang terjadinya krisis-krisis yang, pada gilirannya, memperlambat, mengerosi, dan menghancurkan upaya konsolidasi demokrasi kita. IMHO.*