INDONEWS.ID

  • Minggu, 22/08/2021 21:02 WIB
  • Hadiah Kemerdekaan: Satu Warga Papua Aksi Damai Ditembak, Beberapa Dipukul, Demokrasi Dimatikan

  • Oleh :
    • Mancik
Hadiah Kemerdekaan: Satu Warga Papua Aksi Damai Ditembak, Beberapa Dipukul, Demokrasi Dimatikan
Aktivis Kemanusian Asal Papua, Marthen Goo.(Foto:Istimewa)

Oleh: Marthen Goo*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Salah satu tujuan dari membentuk negara adalah “melindungi segenap warga negara”. Itu perintah konstitusi. Jika tujuan negara itu tidak terpenuhi, maka, kemerdekaan tentu dapat diperdebatkan. Perdebatan tersebut selalu melalui ruang yang namanya demokrasi. Di luar dari itu hanya akan melahirkan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Ruang demokrasi itu bisa berbentuk penyampaian aspirasi, dialog atau perundingan, referendum, dll.

Baca juga : Aksi Damai di Papua Lumuran Darah, Kapolri Harus Non-Job Para Kapolres dan Kapolda

Bangunan Indonesia adalah bangunan demokrasi, jika kita lebih jauh membedah bentuk negara dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Bentuk negara adalah republik, tentu bukan monarki atau tetebengek yang lain, dimana pada ruang demokrasi ini, harus dimaknai bukan bertentangan dengan hukum, tapi lebih pada aspek kemanusiaan.

Hukum pun selalu pada koridor hak asasi manusia. Karenanya konstitusi menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah dasar dari konstitusi negara. Hal ini juga yang membuat amandemen UUD’45 dilakukan sampai pada empat kali perubahan, selain dijadikan sebagai tujuan bernegara dan filosofi dasar bernegara.

Prinsip negara hukum dan demokrasi tidak terlihat di Papua. Sehari sebelum kemerdekaan, satu warga sipil Papua ditembak saat aksi demo damai, kemudian beberapa warga Papua yang ikut demo damai dipukul, bahkan dilakukan represif yang berlebihan. Ada juga tokoh agama sekaligus ketua Sinode Gereja Kingmi dihadang. Wajah negara hukum berubah menjadi otoriter yang represif, bahkan timah panas mudah menembusi tubuh waga Papua.

Warga Sipil Ditembak dan Dipukul Sehari Sebelum Kemerdekaan dan Demorasi Dibungkan dengan Represif

Sayangnya, makna dari tujuan bernegara dan hak asasi manusia justru dicoreng dan dibuat rusak jika kita lihat dari rentetan kasus. Mestinya aparat negara memberikan contoh yang baik soal prinsip konstitusi dan bagimana hormat pada demokrasi dan hukum, Fakta hari ini, sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, satu warga sipil ditembak atas nama Ferianus Aso Di Yahukimo.

Menurut SuaraPapua yang dirilis 16 Agustus 2021, “seorang pemuda bernama Ferianus Aso (29th) dilaporkan telah ditembak oleh aparat saat rakyat Papua melakukan demonstrasi damai untuk mendesak negara bebaskan juru bicara KNPB, Viktor Yeimo; Menolak Perjanjian New York dan lawan rasisme kepada orang Papua”. terlalu mudah rakyat Papua ditembak walau hanya melakukan aksi damai.

Selain itu, aksi damai yang dilakukan di Jayapura pun dibubarkan secara paksa dan beberapa masa aksi dipukul hingga berdarah. Menurut Jubi.Co yang dirilis 16 Agustus 2021, “Ketua KNPB pusat Agus Kossay dipukul di kepala hingga luka dan berdarah. Kemudian Alfa Hisage dipukul di kepala kepala kanan. Demikian juga beberapa aktivis lain telah dipukul oleh Polisi dan Tentara Indonesia”.

Tentu ini kegagalan terbesar, karena sehari sebelum hari kemerdekaan, negara melalui aparat negara menunjukan kebrutalan terhadap rakyat Papua yang melakukan demo damai. Darah mengalir sehari sebelum kemerdekaan. Bahkan tindakan yang berlebihan dan sangat represif seperti itu menunjukan Indonesia bukan lagi negara hukum tapi negara otoriter. Fungsi penegakan hukum dan pengayoman tidak ada.

Hal buruk lain yang sangat represif juga adalah aparat menghadang seorang tokoh agama, ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, yaitu Bapak Gembala, Pdt. Dr. Benny Giay. Awalnya ketua Sinode sudah menyurati kepada Kapolda Papua, memberitahukan bahwa hari Senin 16 agustus akan melakukan doa dan membacakan renungan terkait masalah-masalah sosial yang terjadi atas bangsa Papua. surat disampaikan 3 hari sebelumnya.

Lebih parah lagi, Gembala Pdt. Dr. Benny disuruh melakukan doa dan renungan di parkiran kendaraan. Ini juga adalah tindakan melecehkan martbat tokoh agama, apalagi seorang ketua Sinode. Terhadap oknum aparat tersebut harus diberi hukuman berat. Ini menunjukan bahwa aparat di Indonesia, khususnya di Papua mempunyai masalah pada pendidikan baik pengetahuan maupun sikap. Penegak hukum itu harus menunjukan kualitas hukumnya, bukan praktek-praktek menyimpang.

Kekerasan lain terjadi juga pada tanggal 15 Agustus 2021, 2 hari sebelum hari kemerdekaan. Pada hari tersebut, di Ambon masa aksi yang tergabung dalam Fri-WP dan AMP dipukul aparat. Aparat yang mestinya lebih mengedepankan hukum, malah mempraktekan premanisme. Pada hal, batasan hukum jelas. Jika itu berhubungan dengan PPKM di Ambon, mestinya keamanan mengamankan, bukan memukul.

Penulis kemudian ingat pada tahun 2008, dimana kasus kematian di kabupaten Dogiyai terjadi karena wabah kolera yang menelan 194 nyawa, dan ribuan rakyat korban sakit-sakitan. Peristiwa tersebut terjadi mulai pada bulan Agustus 2008.

Atas merespon kasus tersebut, karena pemerintah baik propinsi maupun pusat lambat merespon, masyarakat dan mahasiswa di Jayapura kemudian merespon dengan aksi masa dan aksi galang dana. Sayangnya, aksi tersebut yang direncanakan pada tanggal 15, 16 dan 17 Agustus dilarang oleh Kepolisian dan malah pihak kepolisian kemudian memberi ancaman akan membubarkan paksa dan menangkap jika tetap melakukan aksi.

Alasan penolakan tersebut dikarenakan persiapan kemerdekaan dan peringatan hari kemerdekaan. Sayangnya, hal yang dilupakan adalah soal tujuan bernegara. Apa arti kemerdekaan jika rakyat menjadi korban? Makna kemerdekaan hanya dilihat sebagai simbolis. Hal ini juga yang menjadi perdebatan dalam berbangsa yang sampai saat ini belum selesai. Dan hal itu kemudian terlihat sampai sekarang soal tingkat represif.

Harus Evaluasi Total Keberadaan Aparat di Papua dan Gelar Perundingan

Masa hampir setiap tahun negara melalui aparat negara melakukan hal-hal yang represif, kekerasan dan pelanggaran terhadap kemanusiaan ? negara masih selalu menunjukan tindakan-tindakan yang anti kemanusiaan terhadap orang Papua dan tentu tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip HAM, konstitusi dan fungsi pengayoman dan keamanan. Jika demikian, tentu membenarkan pernyataan publik orang Papua bahwa “Papua tidak ada masa depan-nya di Indonesia”.

Jika kekerasan seperti ini dilakukan aparat negara, ini juga mengingatkan kita pada pernyataan lalu dari tokoh nasional asal Papua Natalius Pigai “pembunuhan ke rakyat Papua sudah memasuki tahap Genosida”. Orang asli Papua lagi di depan pintu menuju Genosida. Mestinya negara mampu melindungi bahaya kepunahan terhadap entitas bangsa tertentu sebagai bentuk hormat pada pancasila dan kebhinekaan.

Untuk menghindari Genosida (kepunahan terhadap orang asli Papua) dan kejahatan berulang-ulang, represif berulang-ulang, maka, harus dilakukan dua hal secara menyeluruh dan terukur yakni (1) Evaluasi semua aparat negara dan pendekatan negara di Papua; (2) harus gelar Perundingan Jakarta-Papua untuk menyelesaikan berbagai masalah di Papua. Berunding itu juga bagian dari demokrasi.

Negara harus hentikan cara-cara yang tidak bermartabat. Cara-cara anti kemanusiaan hanya menunjukan bahwa negara sebenarnya melegitimasi keberadaan negara di Papua hanya untuk menguras Sumber Daya Alam Papua semata. Hal ini juga yang memotivasi Soekarno untuk merebut Papua dengan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dikarenakan Papua memiliki sumber daya alam, yang akibatnya banyak rakyat tidak berdosa menjadi korban dari berbagai operasi militer sejak 1962.*

*)Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua.

Artikel Terkait
Aksi Damai di Papua Lumuran Darah, Kapolri Harus Non-Job Para Kapolres dan Kapolda
Artikel Terkini
Mendagri Resmi Lantik 5 Penjabat Gubernur, Ada Alumni SMAN 3 Teladan Jakarta
Mendagri Resmi Lantik 5 Penjabat Gubernur
Kak Wulan Bikin Petani Mawar Nganjuk Punya Harapan Baru
PNM Peduli, Gerak Cepat Bantu Bencana Banjir Bandang dan Lahar Dingin Sumatera Barat
Satgas Pamtas Sektor Timur Yonif 742/SWY Laksanakan Patroli di Perbatasan darat RI-RDTL
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas