Opini

Aksi Damai di Papua Lumuran Darah, Kapolri Harus Non-Job Para Kapolres dan Kapolda

Oleh : Mancik - Minggu, 05/06/2022 04:22 WIB

Aktivis dan Peminat HTN serta Koordinator Komunitas Papua Peduli Tatanegara Indonesia, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - Setelah oknum-oknum di negara memaksakan pembentukan perubahan otonomi khusus di Papua secara sepihak dari desentralisasi asimetris abu-abu menuju sentralistik, kemudian memaksakan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) secara sepihak tanpa pemenuhan pasal 96 UU No. 12 Thn 2011 dan UU No. 2 Thn 2021 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Thn 2001 pasal 20 ayat (1e) soal RDP, ruang demokrasi dipaksakan ditutup. Orang Papua dilarang bicara tetang masa depannya. Orang Papua dilarang mempertahankan kehidupannya yang layak.

Saat masih bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari hasil riset-panjangnya, jelas menyebutkan 4 masalah utama di Papua, diantaranya adalah adanya pelanggaran HAM dan marjinalisasi. Penerapan 20 tahun otonomi khusus di Papua terbukti tidak berhasil. Bahkan, ketika perubahan yang ugal-ugalan dan bertentangan dengan berbagai ketentuan perundang-undangan, memberikan gambaran bahwa ada niat dan motif tertentu. Pada hal, batasannya adalah Perundang-undangan.

Perubahan UU tidak melibatkan partisipasi publik di Papua, seakan orang Papua tidak memiliki hak konstitusional untuk menentukan kehidupan mereka. BEM UI melalui Departemen Kajiannya Strategi menyebutkan “pada aksi penolakan kebijakan DOB Papua, terdapat beberapa tindakan seperti pembubaran paksa, pengejaran, penembakan dan penangkapan sewenang-wenang. Penembakan water-cannon dan peluru karet oleh aparat kepolisian juga dilakukann untuk memukul mundur massa aksi di daerah Abepura dan Heram”.

Rakyat di Papua tentu sadar bahwa dengan perubahan UU No. 21/2001 menjadi UU No. 2/2021 hanya lebih bertujuan untuk mempraktekan sentralistik belaka, dimana dilakukannya (1) melimpahkan kembali kewenangan Propinsi ke pusat melalui lembaga baru, dan (2) pemekaran menjadi mutlak kewenangan pusat tanpa prosedur ketat sesuai ketentuan UU Otda, apalagi prinsip desentralisasi asimetris yang mestinya jauh lebih ketat. Kedua hal itu memberikan gambaran-buruk bahwa ada niat dan motif tertentu untuk Papua, apalagi aksi protes selalu dihalang-halangi bahkan sampai dilakukan tindakan kekerasan terhadap aksi damai.


Aksi Damai 3 Juni 2022 Berlumuran Darah

Jika aksi adalah aksi damai, maka, mestinya pihak yang diberikan kewenangan hanya bersifat mengawal proses aksi damai tersebut, bukan menghalang-halangi, menghambat bahkan melakukan represif dan kekerasan terhadap aksi damai. Praktek-praktek premanisme mestinya dihilangkan. Harus dilakukan praktek-praktek edukasi. Ini juga memberikan gambaran bahwa, kekuasaan yang otoriter, memaksa dilaksanakannya pembuatan UU secara otoriter, bahkan didukung oleh pihak militer yang bias keamanan, tentu ini juga pertontonan yang buruk.

Kasus lumuran darah terjadi kali ini terhadap beberapa orang yang melakukan aksi demo damai menolak otonomi khusus dan daerah otonomi baru (DOB). Menurut Emanuel Gobay, (LBH-Papua), ‘hingga jum’at malam, terdapat sedikitnya 20 orang luka-luka akibat kekerasan aparat dalam menangani aksi unjuk rasa menolak daerah otonomi baru (DOB) di Papua dan Papua Barat. Di Sorong ada 10 yang luka-luka. Di Jayapura ada 10 yang luka-luka’. Aparat tidak hanya melanggar UU Kepolisian tapi juga UU HAM dan UU Kebebasan Berpendapat.

Dalam Tindakan kekerasan yang dilakukan, tentu mencerminkan adanya tindakan pelanggaran HAM, dikarenakan membatasi hak konstitusional warga negara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kekerasan. Apapun alasannya, tentu tidak dibenarkan membatasi hak konstitusional warga negara. Karena Batasan dalam aspek pidana dan kebebasan berpendapat sangat jelas. Ini mencerminkan bahwa Polisi di Papua tidak profesional dan mencoreng aspek marwah kepolisian.


Kapolri Diharapkan Non-Job Para Kapolres & Kapolda di Papua dan Papua Barat

Dari tindakan yang tidak mencerminkan “keamanan”, apalagi tugas pokoknya adalah melindungi dan mengayomi, namun justru merusak marwah institusi, ini pertontonan yang buruk dan membuat publik di Papua makin tidak percaya Institusi. Ini juga memberikan gambaran bahwa ternyata di Papua tidak dibutuhkan institusi kepolisian karena tanpa kepolisian, Papua justru jauh lebih aman dan damai. Dan hal itu bisa dilakukan riset dan perbandingan-perbandingan antara pelosok dan Papua yang diduduki kepolisian. Harus ada evaluasi total.

Karena faktanya bahwa yang jauh dari aparat justru hidup rakyatnya aman dan damai. Bahkan sebelum adanya negara yang bernama Indonesia, orang Papua jauh hidup lebih aman dan nyaman. Mestinya semangat pembentukan otonomi khusus juga untuk memberikan kemanan, kenyamanan dan kedamaian. Sementara, DOB bagi orang asli Papua, justru akan memarjinalkan rakyat asli, bahkan kekerasan dan pelanggaran HAM akan tinggi.

Menurut Melkior Sitokdana, “pemekaran DOB di tengah depopulasi orang asli Papua, Persoalan sosial yang sangat urgent di Tanah Papua saat ini adalah marginalisasi dan ancaman depopulasi OAP. Selama 20 tahun Otsus Jilid 1 berlaku di Tanah Papua, Pemerintah Pusat hingga di Daerah belum menunjukkan arah pembangunan yang pro terhadap masyakat asli Papua sehingga semakin termarginal di semua bidang dan ancaman depopulasi semakin menguat di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur di Tanah Papua”. Fakta hari ini, rakyat aksi damai untuk masa depan mereka, aparat menghalang-halangi dan melakukan Tindakan represif.

Mestinya, ketika ada tindakan yang diduga adanya perbuatan pidana, setiap koordinator dipanggil dan dimintai keterangan. Bukan menghambat dan menghalang-halangi yang justru melanggar konstitusional warga negara, apalagi dilakukan dengan kekerasan. Polisi harus mengerti baik dan benar apa itu HAM, hukum dan fungsi serta tugas pokok-nnya. Praktek premanisme, praktek kejahatan terhadap HAM harusnya dihilangkan dan dihapus.

Atas tindakan yang tidak manusiawi tersebut, apalagi melanggar UU Kepolisian, UU HAM, dan UU Kebebasan Berpendapat, Kapolri harus mencopot Kapolres-kapolres dan Kapolda-kapolda di Papua dan Papua Barat yang tidak memberikan edukasi soal aspek hukum dan HAM serta demokrasi, khusus aksi-aksi damai yang dihalang-halangi pada 3 juni 2022, seperti yang terjadi di beberapa kabupaten, lebih khusus lagi di daerah yang terjadi lumuran darah terhadap massa aksi damai. Dan bagi oknum aparat yang melakukan tindakan kekerasan terhadap massa aksi damai, harus diproses hukum. Dan bagi mereka yang menghalang-halangi aksi damai juga harus diproses hukum.

Polisi harus hadir sebagai pelindung dan pengayom rakyat, bukan menjadi musuh rakyat. Polisi harus mempunyai kemampuan dalam membedakan mana rana pidana dan rana demokrasi. Mestinya Polisi mengawal aksi damai dalam pemenuhan semangat demokrasi, hukum dan HAM, apalagi menyangkut kehidupan orang Papua dan masa depannya. Profesionalisme sangat penting, apalagi sebagai penegak hukum.

*)Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia (K-P2-KI)

Artikel Terkait