Jakarta, INDONEWS.ID – Indonesia sebenarnya memiliki banyak tokoh dengan kemampuan kepemimpinan dan prestasi memadai jika diajukan sebagai capres/cawapres mendatang. Namun, tokoh tersebut dipastikan akan menemui jalan buntu jika ambang batas pencalonan Presiden masih tetap 20 persen.
"Selama PT masih ada, apalagi sampai 20 persen, pooling dan survei untuk pemimpin atau capres tidak ada gunanya," ujar Presidium KAMI Jawa Barat, Syafril Sofyan seperti dikutip RMOL, pada Sabtu (18/9).
Dia mengatakan ada dua kemungkinan terkait pencalonan presiden yang bakal terjadi pada 2024 mendatang. Yaitu munculnya pasangan calon tunggal atau partai politik bersepakat mengajukan calon presiden “boneka” sebagai kompetitor fiktif.
"Bisa jadi pasangan calon presiden tunggal yang akan dimunculkkan. Atau dimunculkan calon boneka oleh koalisi partai berkuasa supaya ada dua pasang atau lebih calon," ujarnya.
Alasannya, katanya, koalisi Partai Demokrat dan PKS tidak cukup untuk mengajukan calon presiden sendiri. Karena gabungan suara kedua partai tersebut tidak mencukupi.
"Untuk itu, seluruh rakyat dan para aktivis pergerakan seharusnya memperjuangkan PT menjadi nol persen, sehingga banyak capres alternatif yang terbaik yang muncul," ujarnya.
Sebelumnya, salah satu tokoh yang getol menyuarakan agar Presidential Threshold dihapus yaitu aktivis pergerakan, Rizal Ramli.
Ekonom senior ini menegaskan bahwa aturan presidential threshold tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Dia menyebutkan inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga.
Pertama, katanya, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. “Jelas, aturan tersebut membatasi partai politik yang tidak memenuhi syarat ambang batas (20 persen kursi di DPR RI, dan 25 persen perolehan suara sah secara nasional) untuk mencalonkan seseorang maju dalam bursa capres,” ujarnya kepada Indonews.id, di Jakarta, Jumat (13/8).
Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib ini tidak punya cantolan kepada UUD 1945.
Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya.
Mantan Menko Perekonomian itu mengatakan threshold atau ambang batas selama ini hanya menjadi alat untuk memaksa calon kepala daerah, maupun calon presiden (capres) agar membayar upeti kepada partai politik.
"Threshold itu ‘sekrup pemerasan’, alat untuk memaksa calon-calon Bupati (Rp10-50M), Gubernur (Rp50-200M) dan Presiden (Rp1-1,5 Trilliun) membayar upeti kepada partai-partai. Inilah basis dari demokrasi kriminal," cuit Rizal Ramli melalui Twitternya, @RamliRizal pada Sabtu (6/6). ***