INDONEWS.ID

  • Senin, 31/01/2022 10:05 WIB
  • Pemekaran Akan Berdampak pada Marjinalisasi dan Pemusnahan Orang Asli Papua

  • Oleh :
    • Mancik
Pemekaran Akan Berdampak pada Marjinalisasi dan Pemusnahan Orang Asli Papua
Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata Negara, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mungkin mereka (penguasa urus pemekaran) di Jakarta sudah hilang logika akal sehat, karena jika bicara soal pemekaran, harus terukur dan memenuhi ketentuan perundang-undangan, serta aspek kemajuan rakyat setempat. Setiap pemekaran dan/atau niat diberlakukan sebuah undang-undang di Papua, selalu dibuat hanya atas kehendak dan kepentingan Jakarta, tanpa menanyakan keinginan rakyat, sementara undang-undang itu keberlakuannya mengikat rakyat di Papua.

Baca juga : Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat

Kali ini kita hendak dipertontonkan dengan niat memekarkan Papua menjadi Propinsi-propinsi baru secara sepihak, sementara publik di Papua menolak pemekaran. Negara dikelolah makin tidak sehat. Pada hal, harus ada kajian yang terukur tentang layak-kah Papua dimekarkan atau tidak. Kajian itu harus diukur dari “aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis” secara benar, objektif dan tepat, bukan tambal sulam.

Jika secara objektif, kita dalami soal tiga aspek penting di atas, ketiga-tiganya tidak mensyaratkan terbentuknya pemekaran baru di Papua. contoh aspek filosofis saja: (1) Kemanusiaan yang adil dan beradap. Faktanya, setiap pemekaran baru, pelanggaran HAM tinggi, tidak ada keadilan, pendekatannya rasisme; (2) Tanah dimaknai sebagai mama oleh masyarakat adat Papua sebagai sumber pemberi hidup, namun harus hilang dan rakyat mengalami marjinalisasi, nilai kebudayaan punah; (3) dan lainnya.

Baca juga : Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)

Sedikit melihat dari aspek hukum, sesungguhnya ada dua hal penting yakni UUD’45 Pasal 1 ayat ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan berdasarkan UUD”, artinya bahwa rakyat-lah yang memiliki kedaulatan. Begitu pun rakyat di Papua memiliki kedaulatan. Jadi rakyat harus didengar pendapat mereka soal pemekaran. Karenanya di dalam pasal 96 UU No 12/2011 memberikan syarat partisipasi masyarakyat. Rakyat selalu aksi menolak pemekaran begitu juga UU Otsus.

Jika dari prinsip lahirnya pemekaran yang sesungguhnya tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia namun dipaksakan, apalagi terlihat di publik justru yang menginginkan pemekaran adalah kementerian tertentu, sementara kementerian fungsinya hanya sebagai pembantu presiden, tentu sangat tidak elok. Sementara Presiden hanya berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR, dan DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Akan menjadi tontonan buruk.

Baca juga : Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator

Indonesia ini bukan negara oligarki, sehingga pemekaran dan perubahan UU hanya dipaksakan oleh kaum elit. Indonesia adalah negara demokrasi, dengan semangat republika. Jika ingin dipaksakan kaum oligarki, baiknya republik dirubah menjadi negara anta-branta atau negara oligarki, atau pun bahkan pasal 1 ayat (2) harus dirubah menjadi kekuasaan berada ditangan oligarki. Tentu hanya merusak semangat dan nilai dalam bernegara.

Jika ini tetap dipaksakan, sesungguhnya dapat diduga adanya dua menstrea terhadap (1) Marjinalisasi orang asli Papua dan (2) Pemusnaan terhadap orang asli Papua. Sementara, dalam pengelolaan pemerintahan yang semangatnya “Good Governance” tujuannya adalah melindungi rakyat dan mensejahterakan rakyat, dan itu juga menjadi tujuan nasional yang ditulis dengan baik dalam pembukaan UUD’45. Atau, apa sesungguhnya ada Menstrea utama dibalik dua menstreas di atas? Apakah penguasaan dan pengurasan Sumber Daya Alam?


Marjinalisasi Terhadap Orang Asli Papua

Marjinalisasi terhadap orang asli Papua dapat kita lihat dari beberapa pemekaran baru sebelumnya, seperti pemekaran beberapa Kabupaten di Papua. Setiap pemekaran baru, orang asli Papua mengalami marjinalisasi yang sangat tinggi. Penduduk asli harus kehilangan tanah adat mereka, dan mereka harus hidup makin ke pinggiran. Bersamaan dengan itu, terjadi banjiran migran yang menguasai berbagai sumber kehidupan penduduk asli.

Terhadap pemekaran tersebut, argumen subjektif yang menjadi alasan pembenaran para oligarki adalah "pembangunan itu pasti berdampak pada rakyat mengalami peminggiran dan itu normal". Pada hal, itu logika yang dipertentangkan dalam logika Good Governance bahkan oleh tujuan nasional. Dimana tujuan pembangunan adalah mensejahterakan rakyat, bukan memarjinalkan rakyat.

Terhadap dampak pemekaran tersebut, menurut Selfius Bobii, tokoh dan aktivis Papua menyebutkan “Kita sebenarnya sudah tahu bahwa melalui pemekaran baru melahirkan banyak masalah-masalah baru. Antara lain: membuka pintu transmigrasi terselubung bagi amber (membuka migrasi secara tidak langsung), sehingga amber kuasai tanah air, kuasai ekonomi, kuasai politik, kuasai jabatan, kuasai segala sesuatu; membuka peluang untuk pemekaran struktur pertahanan TNI -Polri melalui pembukaan Kodam, Kodim, Korem, Polda, Polres; pembukaan prostitusi terbuka dan tertutup dan sejenisnya; pembukaan permainan-permain togel, rudo, dan sejenisnya. Semua permainan itu sama dengan HIPNOTIS”. (amber: pendatang/migran).

Dengan demikian, dalam niat memekarkan sebuah daerah di Papua lebih terlihat pada adanya niat untuk (1) memobilisasi penduduk ke Papua melalui sistim dan prodak hukum baru yang tidak konstitusional sebagai alat legalitas agar menguasai orang Papua dan tanah Papua; (2) mengkecilkan ruang gerak orang Papua; (3) menghancurkan tatanan kebudayaan serta nilai yang hidup di Papua.


Pemusnahan Terhadap Orang Asli Papua

Kita bisa lihat fakta-fakta yang terjadi di beberapa daerah setelah pemekaran, di sana tentu pelanggaran HAM tinggi. Karena setiap pemekaran baru, sudah dipastikan akan ada penambahan militer, akan ada mobilisasi penduduk baru, pergeseran dan pergesekan terus terjadi. Banyak pemekaran baru turut menyumbang angka pelanggaran HAM. Akibat dari tindakan kejahatan terhadap HAM yang tinggi, akan ada pengungsian yang begitu lama, dan kematian rakyat tidak berdosa dengan sia-sia terus bertambah.

Kasus Intan Jaya, dimana Intan Jaya adalah pemekaran kabupaten baru. Begitu juga Dogiya, Deiyai, Puncak, dan beberapa pemekaran kabupaten baru lainnya. Sebelum dimekarkan, daerah-daerah ini tidak begitu terdengar di permukaan soal adanya pelanggaran HAM, kecuali ketika adanya operasi militer ke daerah tersebut. Saat itu kasus pelanggaran HAM juga terjadi tapi tidak setinggi adanya pemekaran. Dan kemudian diikuti oleh pengungsian warga yang begitu tinggi. Kabupaten Nduga dari tahun 2018 sampai saat ini rakyatnya masih mengungsi.

Menurut Selipius Bobii, "Pemekaran DOB bukan membuka pintu peradaban OAP, tetapi DOB membuka pintu depopulasi OAP". Menurutnya lagi, di depan mata kita sedang terjadi banyak orang Papua semakin tersisih, termarginalisasi, menjadi minoritas dan etnis Papua semakin musnah. (OPA: Orang Asli Papua). Selpius menjelaskan fakta-fakta yang terjadi di depan mata, dimana pemekaran hanya memberikan ancaman serius bagi orang di atas tanah mereka.

Pemusnaan yang dapat terjadi akibat pemekaran dikarenakan akan ada (1) Pelanggaran HAM; (2) Konflik lahan atau perebutan lahan; (3) Konflik horisontal; dan (4) Marjinalisasi yang berdampak pada pemusnahan; (5) punahnya nilai dan kebudayaan. Karenanya, pernyataan “sebuah bangsa yang besar akan punah jika kebudayaannya punah”, tentu akan terjadi ketika pemekaran ini terjadi. Aspek proteksi dan kelestarian tidak menjadi pertimbangan.


Logika Rentang Kendali

Logika rentang kendali itu harus dilihat dalam pembangunan kebudayaan dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkelanjutan. Terhadap semangat pembangunan tersebut, Belanda di bawah tahun 1961 telah berhasil membangun Papua dengan nilai dan pendidikan yang mumpuni dan terukur. Belanda tidak memekarkan Papua dengan asumsi pembangunan yang berkedok memobilisasi penduduk dan menguras sumber daya alam.

Rentang kendali itu tidak harus dengan pemekaran yang diikuti dengan penambahan pasukan, penambahan lembaga-lembaga yang membutuhkan banyak orang sebagai upaya memobilisasi penduduk yang berdampak pada peramsapan hak-hak hidup orang Papua di tanah Papua. Rentang kendali itu cukup dengan (1) hentikan pelanggaran HAM dan selesaikan berbagai pelanggaran HAM; (2) gelar dialog tuk wujudkan Papua tanah damai, dan (3) melaksanakan hasil dialog dengan penuh konsekuen dan konsisten serta penuh tanggungjawab. Belanda harus jadi referensi, atau tanya apa yang rakyat Papua mau.

Tentu tiga poin di atas sesungguhnya adalah solusi, karena pemekaran hanya akan memarjinalkan orang asli Papua dan akan mempercepat pemusnahan orang asli Papua. Pemekaran harus dihentikan dan gelar dialog Jakarta Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai, karena dalam pemekaran, hanya akan menghasilkan banyak masalah baru. Kalau kata Laurens Kadepa, anggota DPR-P, “lebih bijak proteksi OAP lebih dulu ketimbang mikir pemekaran Propinsi baru”. Cara proteksinya adalah hentikan pelanggaran HAM dan gelar dialog Jakarta-Papua.

Terhadap pertanyaan apakah ada menstrea utama yakni pengurasan dan penguasaan SDA di Papua, tentu bisa jadi kajian tersendiri, tapi pertanyaan ini penting agar publik bisa mengikuti kondisi dan situasi yang terjadi di Papua. Blok Wabu bisa jadi referensi. Referensi lain, ternyata pertama merebut Papua dengan kekuatan militer dan memaksakan Papua bergabung dengan Indonesia tanpa menghormati kemanusiaan, didasarkan pada Sumber Daya Alam Papua, walau saat itu, Hatta melarang memasukan Papua ke Indonesia.

*)Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Peminat Hukum Tata Negara.

Artikel Terkait
Kapolda Papua Cukup Berani Ambil Peran Pemerintah Pusat
Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua (Siapa Yang Bermain?)
Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator
Artikel Terkini
Kebun Rimsa PTPN IV Regional 4 Bantu Sembako Dua Panti Asuhan
Santri dan Santriwati Harus Mengisi Ruang Dakwah dengan Nilai yang Penuh Toleransi
Tak Terdaftar di OJK, Perusahaan Investasi asal Hongkong Himpun Dana Masyarakat
Dewan Pakar BPIP Dr. Djumala: Pancasila Kukuhkan Islam Moderat, Toleran dan Hargai Keberagaman Sebagai Aset Diplomasi
Perkuat Binwas Pemerintahan Daerah, Mendagri Harap Penjabat Kepala Daerah dari Kemendagri Perbanyak Pengalaman
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas