Jakarta, INDONEWS.ID - Salah satu kekayaan bangsa Indonesla yang tidak dimlliki oleh bangsa lain di dunia adalah kekayaan bahasa daerahnya. Sampai dengan hari ini, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingg Merauke.
Keragaman bahasa ini menjadi identitas bangsa yang harus dipertahankan. Pentingnya kedudukan bahasa daerah terwujud dalam keputusan UNESCO dengan menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Sejalan dengan hal tersebut, perlindungan dan pengembangan bahasa daerah perlu diusung menjadi sebuah kebijakan dengan melibatkan peran serta masyarakat luas sebagai usaha dalam pelestariannya.
Hal ini karena banyak bahasa daerah di Indonesia yang kondisinya memprihatinkan. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Prof. E. Aminudin Aziz berdasarkan hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dalam rentang tahun 2011-2019, saat ini dari 718 bahasa yang sudah dipetakan, baru 94 bahasa yang diukur vitalitasnya.
"Berdasarkan penelitian itu, hanya ada 18 bahasa daerah di Indonesia yang masuk dalam kategori aman. Ada 27 masuk kategori rentan, 29 lainnya mengalami kemunduran, 26 terancam punah, 8 kritis dan 5 ditemukan punah," kata Aminudin dalam meeting online bertajuk "Forum Diskusi Redaktur" yang diselenggarakan Kemendikbudristek pada Jum`at (18/2/22).
Ia menambahkan, sebanyak 428 bahasa daerah yang ada di Papua dan Papua Barat, pada kenyataannya nyaris tidak dijumpai aksara lokal.
Aminudin menjelaskan alasan di balik sebuah bahasa daerah mengalami kemunduran adalah ketika sebagian penutur, baik anak-anak, remaja maupun generasi tua tidak lagi menggunakan.
Sementara untuk kondisi terancam punah ketika mayoritas penutur berusia 20 tahun ke atas dan generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau antara mereka sendiri menggunakan bahasa daerah.
"Untuk kondisi kritis adalah ketika penuturnya hanya kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Sementara kepunahan sebuah bahasa daerah terjadi terutama karena para penuturnya tidak ada lagi yang menggunakan atau mewariskan bahasa tersebut kepada generasi berikutnya," jelasnya.
"Bahasa yang punah itu, misalnya di Maluku, ada bahasa Kaiely, Moksela, Piru, Palumata, Hukumina, dan Di Papua ada bahasa Tandia dan Mawes. Bahasa yang terancam punah, misalnya bahasa Retta di NTT, bahasa Saponi di Papua, dan bahasa Ibo, Meher, dan Letti di Maluku," paparnya.
Aminudin menerangkan, setidaknya ada empat (4) tantangan besar dalam upaya melestarian bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Antara lain, ia menyebutkan, adalah sikap bahasa penutur.
"Ada 4 tantangan besar dalam pelindungan bahasa daerah yakni sikap bahasa penutur jati, migrasi dan mobilitas, kawin silang/campur antaretnis, dan globalisasi yang mengarah ke monolingualisme," ungkapnya.
Aminudin lebih lanjut menjelaskan soal konsep besar di balik upaya pelindungan bahasa daerah. Menurutnya, pelindungan bahasa daerah bertujuan mempertahankan kedudukan dan fungsinya sebagai pembentuk kepribadian suku bangsa.
"Pelindungan bahasa daerah bertujuan untuk mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa daerah sebagai pembentuk kepribadian suku bangsa, pengeguh jati diri kedaerahan, dan sarana pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah,"pungkasnya.*