INDONEWS.ID

  • Minggu, 10/04/2022 17:01 WIB
  • Organisasi Itu Namanya G20: Soal Turbulensi Sampai Jokowis Formula

  • Oleh :
    • luska
Organisasi Itu Namanya G20: Soal Turbulensi Sampai Jokowis Formula

 

Penulis : (Duta Besar) Prayono Atiyanto
Diplomat Ahli Utama Kementerian Luar Negeri

Turbulensi

Saya terpikir soal turbulensi ketika sedang menyantap martabak telor yang saya tahu juga menjadi salah satu kudapan favorit banyak orang. Pada saat itu sebenarnya saya juga sedang menyimak perkembangan krisis yang terjadi di Ukraina. 

Turbulensi biasanya digunakan untuk menggambarkan perjalanan udara dengan menggunakan pesawat terbang. Turbulensi mungkin bukan kata yang terlalu pas untuk menggambarkan persoalan Ukraina di G20. Tetapi yang saya tahu pada situasi turbulensi biasanya terjadi guncangan. Saat ini memang dunia sedang terguncang oleh perang yang pecah dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Ukraina.

Saat ini G20 yaitu organisasi yang menghimpun negara-negara dan kelompok negara “maju” dan “mampu” bila diibaratkan sebagai sebuah pesawat terbang sedang mengalami turbulensi. Krisis di Ukraina telah mengguncang G20. Ya benar pesawat dengan nomor penerbangan G20 ini sedang terguncang dalam perjalanan menuju Bali sebagai destinasi para pemimpin G20 yang akan melakukan pertemuan tingkat tinggi bulan November mendatang.

Kita juga paham guncangan dalam skala apapun akan menimbulkan ketidaknyamanan. Kita menjadi sakit perut, mual dan pusing. Suasana kebatinan G20 memang sedang tidak nyaman. Suhu tinggi membuat G20 meriang. Tensi juga tinggi. Tingkat kepercayaan memudar.

Ketidakbersediaan pemimpin AS dan negara-negara sekutunya untuk bertemu dan duduk bareng Presiden Putin menimbulkan ketidak pastian penyelenggaraan KTT G20 di Bali dan masa depan G20. Agenda besar ekonomi dunia dan prioritas kerja G20 serta tema “Recover Together, Recover Stronger” yang dicanangkan Indonesia sebagai Presiden G20 menjadi taruhan. Dalam kaitan ini agenda ekonomi yang jadi mandat utama G20 tidak boleh tersandera oleh perang yang terjadi di Ukraina.

Intinya turbulensi yang menerpa G20 harus bisa dikendalikan. Upaya pemulihan ekonomi dunia harus dilanjutkan. Penanganan pandemi Covid-19 harus dilanjutkan. Disrupsi rantai pasok komoditas global harus diatasi. Krisis energi harus segera diatasi. Agenda pembangunan berkelanjutan harus dituntaskan.

Kendali seyogyanya ada pada Indonesia. Indonesia saat ini adalah Presiden G20. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang kendali sebagai Presiden G20.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana Presiden Jokowi bisa mengendalikan dan menyelamatkan masa depan G20. Skenario terburuk adalah kemungkinan forum G20 justru menjadi medan pertarungan tersengit antara kubu AS dan negara-negara sekutunya dengan Rusia. 

Kita perlu bersyukur karena Indonesia melaksanakan politik luar negeri bebas aktif sehingga tidak terseret dalam pusaran pertarungan proxy antara AS dan negara sekutunya dengan Rusia. Politik luar negeri bebas aktif memungkinkan Indonesia menjadi bagian dari solusi atau mengupayakan solusi.

Namun demikian harus diakui saat ini memang belum ditemukan cara yang pas untuk menghentikan turbulensi yang melanda G20. Ini kata saya, “dunia menunggu debut kepemimpinan Indonesia di G20. Dunia sedang menunggu kepiawaian dan kecerdikan mesin diplomasi Indonesia.”

Jokowi’s formula

Ya. Menurut saya, G20 memerlukan formula yang pas. 

Saya menyebutnya formula Jokowi atau Jokowi’s formula. Formula yang memuat serangkaian langkah-langkah cepat, cermat dan terukur. Langkah-langkah ini juga harus pragmatis dan doable (bisa dilakukan).

Saya sebenarnya tidak berani berandai-andai soal Jokowi’s formula. Memang tidak mudah dan waktunya sangat terbatas.

Tapi proses menyusun komposisi formula penting ini harus segera dimulai. Atau sebenarnya sudah dimulai. Waktu terus berjalan dengan cepat. Krisis kemanusiaan sedang terjadi. Dinamika situasi di lapangan begitu cair. Perubahan bisa terjadi bahkan dalam hitungan detik.

Saya sudah menyebutkan bahwa komponen penting dari formula ini adalah soal langkah atau tindakan yang perlu diambil dengan cepat, cermat dan terukur. Apa saja langkahnya? Paling tidak ada 3 langkah.

Pertama, menetapkan prioritas yaitu menghentikan krisis kemanusiaan yang sedang terjadi. Untuk itu perang harus bisa segera dihentikan. Presiden Jokowi sudah memulai langkah pembukaan berupa seruan tegas dan lantang agar perang segera dihentikan. Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa upaya perdamaian harus dilakukan secara cepat. Presiden Jokowi juga sudah meminta agar semua pihak yang terlibat harus menahan diri dan kita semua harus berkontribusi pada perdamaian. Perang tidak boleh terjadi.

Seruan Presiden Jokowi sangat relevan. Perang sudah berlangsung lebih dari sebulan dan fakta di lapangan menunjukkan belum akan berakhir atau mungkin masih jauh dari usai. 

Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba diberitakan baru-baru ini menyatakan bahwa Ukraina membutuhkan “senjata, senjata, dan senjata” dari negara-negara Barat pendukungnya. Ini bukan sinyal positif bahwa perang akan segera berakhir.

Sementara itu aksi militer Rusia yang dikonsentrasikan ke wilayah Ukraina timur (Kharkiv, Donetsk, Luhansk) juga sedang terjadi. Kita perlu mencermati strategi politik dan perang yang diterapkan Rusia di wilayah Ukraina timur. Mungkinkah Ukraina pada akhirnya akan terbelah. Wilayah timur akan sepenuhnya dikuasai Rusia.

Kedua, memulihkan kepercayaan (building trust) di antara pihak-pihak yang bersengketa. Kepercayaan bahwa perang harus segera diakhiri dan negosiasi damai sebagai cara terbaik perlu dilanjutkan. Aksi saling berbalas sanksi dan menghukum  satu sama lain sama sekali tidak membantu penyelesaian krisis di Ukraina.

Ketiga, kita tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru (reinventing the wheel). Dukung dan perkuat saja proses negosiasi baik yang sudah dilakukan secara bilateral (Rusia-Ukraina) maupun yang sedang dimediasi oleh Turki (dengan dukungan pihak-pihak lain termasuk Israel). Indonesia sebagai Presiden G20 memiliki kapasitas sebagai fasilitator perdamaian dan melakukan diplomasi tingkat tinggi secara intensif. 

Solusi yang kita butuhkan adalah yang berkarakter win-win. Proses mediasi yang dilakukan Turki tidak mudah dan tidak berjalan mulus. Tarik ulur terus terjadi.Tapi paling tidak ada negara yang dipercaya oleh para pihak yang bertikai (Rusia dan Ukraina) untuk menjadi mediator proses negosiasi damai. Saya teringat pernyataan Direktur Jenderal Asia, Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri pada sebuah webinar beberapa waktu lalu bahwa persyaratan untuk menjadi mediator adalah harus disetujui dan diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Persoalan baru muncul setelah dokumentasi photo dan video pembantaian warga sipil di desa Bucha beredar pada tanggal 3 April 2022. Sejumlah pemimpin dunia (antara lain Perancis, Inggris, Italia, Uni Eropa) menyalahkan Rusia atas kejadian ini. Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba menuduh pembantaian tersebut sengaja dilakukan pasukan Rusia. Tuduhan ini dibantah oleh Rusia. 

Isu pembantaian ini bergulir dengan cepat dan berdampak pada status keanggotaan Rusia di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Majelis Umum PBB dalam lanjutan Sidang Darurat yang ke-11 telah mengadopsi resolusi berjudul Suspension of the Rights of the Russian Federation in the Human Rights Coucil setelah melalui proses pemungutan suara (voting) dengan hasil 93 mendukung, 24 menolak dan 58 abstain pada tanggal 7 April 2022. Indonesia mengambil posisi abstain.

Resolusi ini adalah sebuah skenario untuk menghukum Rusia setelah sebelumnya sejumlah sanksi berat ekonomi dikenakan kepada Rusia. Skenario pemakzulan disertai skenario pengucilan Rusia dari pergaulan masyarakat internasional memang sedang dilakukan oleh AS dan negara-negara sekutunya secara sistematis, terstruktur dan masif. Proses pembentukan misi independen pencari fakta kasus Bucha juga sudah digulirkan.

Apakah resolusi penangguhan keanggotaan Rusia di Dewan HAM kemudian bisa merubah sikap Rusia. Terlalu naïve kalau berpikir resolusi ini bisa membuat Rusia menghentikan aksi militernya di Ukraina. Rusia bergeming!

Kenyataannya Delegasi Rusia di New York menyatakan bahwa Rusia memutuskan untuk mundur dari Dewan HAM PBB walaupun masa keanggotaannya belum berakhir. Rusia terpilih menjadi anggota Dewan HAM sejak Januari 2021 untuk masa jabatan 3 tahun. Artinya Rusia mengabaikan resolusi Majelis Umum PBB ini dan soal keanggotaan pada Dewan HAM PBB bukan harga mati!

Kita perlu satu sesi sendiri untuk membahas manfaat dan relevansi dari langkah diplomatik yang ditempuh Rusia ini. Bagi saya manuver diplomatik semacam ini cukup menarik untuk dicermati karena jarang digunakan. Saya tidak terlalu ingat selama 38 tahun berkarier di Kementerian Luar Negeri bisa menemukan banyak kasus semacam ini.

Akankah turbulensi berakhir?

Pertanyaannya tidak hanya “akan” tetapi juga “kapan”. Turbulensi harus bisa segera diatasi. Gawe besar G20 di bulan November dipertaruhkan dan tidak bisa menunggu. Akan tetapi akhir-akhir ini juga muncul wacana di ruang publik mengenai opsi menunda pelaksanaan KTT G20. Semoga saja tidak.

Kita perlu segera menemukan cara cerdas untuk mengatasi turbulensi ini. Kita perlu move on dari sekedar berdebat mengenai posisi Indonesia atau posisi yang disuarakan Pejambon pada saat Indonesia mendukung Resolusi Sidang Darurat ke-11 Majelis Umum PBB berjudul Aggression Against Ukraine dan memilih abstain untuk Resolusi Majelis Umum PBB berjudul Suspension of the Rights of the Russian Federation in the Human Rights Coucil. 

Posisi Indonesia yang sejauh ini dilakukan secara konsisten dan sejalan dengan politik luar negeri bebas aktif harus dilanjutkan. Kita tidak boleh dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Negara manapun.

Mari kita kencangkan sabuk pengaman agar bisa mengarungi turbulensi dengan aman. Semoga turbulensi G20 bisa segera diatasi. Ibarat pantun “Ikan sepat ikan gabus”. Lebih cepat diselesaikan lebih bagus (sebelum KTT G20?). 

Salam sehat kepada teman-teman di Taman Pejambon 6 (markas besar Kementerian Luar Negeri).


---000---


*Tulisan ini merupakan opini pribadi
Penulis saat ini masih aktif sebagai Pejabat Fungsional Diplomat Ahli Utama pada Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri dan pernah menjadi Duta Besar LBBP RI untuk Republik Azerbaijan (awal 2012-awal 2016)
 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Saksikan Pekan Gawai Dayak Kalbar, Ratusan Warga Malaysia Serbu PLBN Aruk
Buka WWF ke-10, Presiden Jokowi Berharap Bisa Ciptakan Kepastian Distribusi Air Bersih
Realisasikan Investasi di Indonesia, Menko Airlangga Harapkan Lotte Chemical Dapat Menjadi Stimulus Pembangunan Industri Petrokimia Hilir Lokal
Macet, Menteri AHY Memilih Jalan Kaki ke Acara Pembukaan WWF
Pj Bupati Maybrat Hadiri Festival BENLAK 2024, Peringati Hari Jadi ke-17 Minahasa Tenggara
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas