INDONEWS.ID

  • Jum'at, 21/10/2022 12:27 WIB
  • Dari Mobil BBM Fosil ke Mobil Hidrogen, HFC, dan Mobil Listrik

  • Oleh :
    • indonews
Dari Mobil BBM Fosil ke Mobil Hidrogen, HFC, dan Mobil Listrik
Mobil Listrik. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

INDONEWS.ID - Ketertarikan masyarakat untuk beralih ke energi bersih menjadi sentimen positif bagi investor di bidang transisi energi. Minat ini perlu dibarengi dengan dukungan skema pembiayaan agar masyarakat dapat menggunakan energi terbarukan dalam keseharian.  Meski demikian, program transisi energi harus disosialisasikan lebih gencar (Kompas, Kamis, 20 Oktober 2022).   Artikel ini ditulis untuk menyosialisasikan hal tersebut, khususnya dalam memahami manfaat gas hidrogen dan sel bahan bakar hidrogen (atau disingkat menjadi sel bahan bakar).  

Baca juga : Amicus Curiae & Keadilan Hakim

Perkembangan kendaraan listrik di seluruh dunia bergerak cepat, dan Indonesia ingin mengikutinya dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Percepatan Kendaraan Listrik Berbaterai (BEV).  Mengingat Perpres bersifat umum, maka kebijakan turunan untuk memberikan rincian implementasi seluruh unsur yang disebutkan dalam Perpres 55/2019, termasuk skema insentif, perlu dikeluarkan oleh kementerian terkait. Namun, beberapa kebijakan turunan yang dibutuhkan masih belum ada, sehingga mandat tersebut tidak dapat ditindaklanjuti.

Hal yang sangat penting dan perlu disikapi secara cermat adalah, bahwa mobil listrik berbaterai memerlukan SPBU untuk melayani pengisian baterainya.  Namun, jika sumber listrik yang digunakan oleh SPBU berasal dari jaringan listrik PLN, maka upaya untuk mengurangi emisi CO2 akan sia-sia, karena listriknya berasal dari pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batubara atau bahan bakar fosil lainnya.  Akibatnya, peningkatan kebutuhan energi listrik untuk mengisi baterai mobil listrik hanya akan menambah pasokan batubara di setiap pembangkit listrik yang ada; bukan mengurangi atau mengakhirinya.  Artikel ini ditulis untuk menyosialisasikan sesuai judul artikel, khususnya dalam memahami manfaat teknologi gas hidrogen dan sel bahan bakar.

Baca juga : Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel

 

Komitmen Menuju Nol Karbon Dioksida pada Tahun 2050.

Baca juga : Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri

Konferensi Para Pihak atau IPCCC (COP) ke-26 yang diadakan di Glasgow pada November 2021, terutama penting karena dua alasan: (a) ditunda pada tahun 2020 karena COVID-19 dan (b) merupakan pertemuan puncak pertama setelah beberapa tujuan `pada tahun 2020` ke Persetujuan Paris. Pada COP 26 di Glasgow, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo hadir pada acara tersebut bersama 196 kepala negara lainnya. Untuk pertama kali dalam proses UNFCCC di COP 26 Glasgow, ada keinginan bersama untuk “menghentikan secara bertahap penggunaan batubara daripada menghapusnya secara drastis, dan menghapuskan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien secara bertahap”.

Peraturan yang membatasi emisi gas rumah kaca (GRK) pada kendaraan bermotor semakin diperketat di seluruh dunia. Karenanya, baik (a) mesin berbahan bakar hidrogen maupun (b) sel bahan bakar, sedang memperoleh perhatian dan ketertarikan masyarakat di banyak negara; di samping mobil listrik berbaterai yang lebih cocok sebagai kendaraan dalam kota.  Mengingat tugas truk sebagai pengangkut beban berukuran sedang dan berat merupakan sumber utama emisi CO2, perjalanan sektor transportasi ke tujuan nol emisi lebih cocok menggunakan kedua teknologi tersebut.  Karena itu semakin banyak industri pembuat truk bergabung dengan jajaran perusahaan mobil yang mengembangkan pilihan ‘bebas CO2’ atau pilihan ‘netral CO2’ untuk kendaraan bensin dan diesel.  Mari kita lihat persamaan dan perbedaan antara mesin berbahan bakar hidrogen dan sel bahan bakar hidrogen.

 

Mesin Hidrogen dan Sel Bahan Bakar: Keserupaannya dalam Emisi.

Mesin hidrogen dan sel bahan bakar juga memiliki profil emisi yang serupa. Mobil listrik menggunakan sel bahan bakar (FCEV) sebenarnya tidak menghasilkan emisi sama sekali, selain uap air. Ini adalah keistimewaan yang sangat menarik untuk kendaraan yang beroperasi di ruang tertutup atau ruang dengan ventilasi terbatas.

 

Mesin hidrogen dan Sel Bahan Bakar: Pertimbangan Bahan Bakar.

Baik mesin berbahan bakar hidrogen maupun sel bahan bakar menggunakan bahan bakar hidrogen; tapi masih ada kelebihan lainnya.  Mesin hidrogen sering dapat beroperasi dengan hidrogen kelas rendah. Ini menjadi berguna untuk kasus penggunaan tertentu. Misalnya, Anda mungkin memiliki lokasi di mana gas hidrogen dapat diproduksi di lokasi tersebut menggunakan reformasi metana uap serta penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Hidrogen yang dihasilkan kemudian dapat digunakan dalam mesin hidrogen tanpa perlu pemurnian.

Ketangguhan mesin hidrogen terhadap kotoran (impurities) juga berguna untuk industri transportasi di mana penantian transisi ke hidrogen hijau berkualitas tinggi akan memakan waktu.

Mesin hidrogen melepaskan hampir tanpa jumlah jejak CO2 (dari udara sekitar dan minyak pelumas), tetapi dapat menghasilkan nitrogen oksida, atau NOx. Akibatnya, mesin tersebut tidak ideal untuk penggunaan di dalam ruangan dan memerlukan after treatment untuk mengurangi emisi NOx.

Akhirnya, mesin hidrogen dan teknologi sel bahan bakar memiliki tingkat kematangan yang berbeda. Mesin pembakaran internal (ICE) telah digunakan secara universal selama beberapa dekade dan didukung oleh jaringan layanan yang luas. Mesin tersebut dapat beroperasi di lingkungan berdebu atau mampu mengalami getaran berat  yang tersedia dalam semua ukuran dan konfigurasi.

Dari perspektif produsen kendaraan dan operator armada transportasi, peralihan ke penggerak mesin hidrogen melibatkan suku cadang dan teknologi yang sudah dikenal.  Pengguna akhir yang menghindari risiko akan menemukan kenyamanan dalam sifat mesin pembakaran internal yang teruji dan andal.

Jadi tidak benar bahwa mobil listrik yang menggunakan sel bahan bakar (FCEV) dan mobil dengan pembakaran internal (ICE) hidrogen akan ‘bersaing satu sama lain’. Sebaliknya, pengembangan yang satu akan mendukung yang lain, karena keduanya mendorong pengembangan infrastruktur produksi, transportasi, dan distribusi hidrogen secara bersama. Mereka adalah teknologi pelengkap yang merupakan bagian dari pengurangan emisi kendaraan dan transportasi dalam mencapai tujuan tanpa emisi untuk masa sekarang.  Semoga.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar di Bidang Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

 

Artikel Terkait
Amicus Curiae & Keadilan Hakim
Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel
Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri
Artikel Terkini
Menteri PANRB Minta Instansi Pemerintah Segera Rampungkan Rincian Formasi ASN 2024
Seleksi CASN 2024 Segera Dimulai, Pemerintah Penuhi Formasi Talenta Digital
TB dan "Airborne Infections Defense Platform" di Serang
Pj Gubernur Agus Fatoni Bersama Kedubes Kanada Perkuat Kerjasama Penanganan Permasalahan Perubahan Iklim
Menteri PANRB: Seleksi CPNS Sekolah Kedinasan Mulai Mei, CASN Digelar Juni
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas