Jakarta, INDONEWS.ID - Inti demokrasi itu memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin sesuai selera dan impiannya. Tapi kondisi saat ini tidak memungkinkan, calon pemimpin sudah dipilih partai-partai terlebih dahulu. Setelah mereka sreg dan nyaman baru rakyat disuruh memilih.
Nah hebatnya lagi, rakyat euforia seolah olah mereka sudah merasa dibarisan terdepan begitu mencoblos jagoan partai yang disodorkan ke mereka.
Syarat 20 persen itu tak tik para politisi agar kepemimpinan terus mereka kangkangi dan menutup calon-calon alternatif. Tidak heran di beberapa daerah di Indonesia, calonnya cuma ada satu pasang kandidat, sisanya lawan kotak kosong.
Itu sebabnya banyak partai yang peluang mereka lolos ke parlemen Senayan sangat kecil tapi tetap ngotot ikut kontes di pemilu legislatif. Target mereka cukup dapat kursi di kabupaten kotamadya dan propinsi bukan di Senayan atau tingkat politisi nasional.
Konon harga satu kursi partai kecil saja di daerah bernilai 3 sampai 5 milyar. Contoh satu daerah punya 50 kursi, syarat ikut kontes harus punya 20% alias 10 kursi mereka baru punya 7 kursi, mau tidak mau harus beli 3 kursi senilai 12 miliar.
Jadi syarat mennadi pemimpin bukan hanya popularitas (dikenal) tapi juga harus punya elektabilitas (terpilih), itupun belum cukup, harus dilihat juga isi dalam tasnya.
Kempes apa kembung, jadi sebaik apapun sang calon harus di-backup sang cukong. Lima tahun mereka bekerja cuma focus ngembalikan modal buat sang bos. Itu sebabnya banyak bendahara partai yang tersandung kardus durian, bansos dan Hambalang.
Kerja di partai sama di bengkel mirip-mirip lah. Terkena oli hal yang wajar tetapi kalau sampai minum oli seperti konstituen yang sudah merasa paling terdepan membela merah putih, hal yang sangat kurang ajar.**Zaenal