Jakarta, INDONEWS.ID - “Pencitraan itu perlu dan wajar. Namun, pencitraan itu bukan satu-satunya kriteria untuk menjadi seorang pemimpin. Zaman Presiden SBY dulu sudah mulai dengan pencitraan, apalagi di saat ini. Zaman Presiden Jokowi malah makin hancur-hancuran. Tiada hari tanpa pencitraan,” ujar Tokoh Pergerakan, Dr Rizal Ramli dalam podcast BERISIK (Berita dan Telisik) dengan judul “Menkeu Bagai Lap Kotor, Pakai Uang Negara untuk Selamatkan Century?” yang tayang di Jakarta, Selasa (7/3).
Pernyataan mantan Menko Perekonomian itu menjawab pertanyaan Imam Prayono, yang hadir sebagai pemantik diskusi, terkait pentingnya pencitraan yang ditawarkan oleh para politisi termasuk para bakal capres saat ini.
Bang RR – sapaan Rizal Ramli - mengatakan, jika kita hanya berpatokan pada pencitraan maka kita akan mendapatkan seorang pemimpin yang jauh dari kualitas.
“Kalau kita hanya berpatok pada pencitraan maka kita akan mendapatkan seorang pemimpin yang tidak berkualitas, yang KW 2 dan KW3. Maka buntutnya negara jadi kacau jika orang tersebut memimpin,” ujarnya.
Untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas, kata ekonom senior itu, kita harus mengubah proses seleksi kepemimpinan.
Dia mengambil contoh di Amerika Serikat, sebuah negara yang liberal. Di negara itu, seleksi kepemimpinan sangat ketat dan kompetitif. Mereka hanya memiliki dua partai besar. Misalnya Partai Demokrati memiliki 9 calon presiden dan Partai Republik mencalonkan 12 presiden. Namun para capres tersebut harus melalui pertarungan di dalam satu partainya dengan mengikuti konvensi. Maka keluarlah satu nama yang benar-benar kompetitif, unggul.
Demikian juga di negara komunis. Di China misalnya, seseorang harus melalui tingkat yang paling bawah yaitu menjadi sekretaris partai di tingkat paling bawah, seperti di kecamatan. Selanjutnya naik lagi ke tingkat yang lebih tinggi dan pindah ke kota, seterusnya dan seterusnya. Sampai pada akhirnya jika benar-benar berkualitas maka seseorang baru menjadi pemimpin nasional. Jadi sistem di negara-negara tersebut itu sangat kompetitif, dan unggul.
“Apa yang terjadi dengan sistem di negara yang mengaku Pancasila, dan NKRI ini? Kita tidak memiliki sistem seleksi kepemimpinan yang kompetitif. Hanya bermodal pencitraan dan modal uang,” ujar mantan Penasihat Fraksi ABRI di DPR/MPR RI tersebut.
(Rizal Ramli bersama Anies Baswedan. Foto: Ist)
Karena itu, katanya, betapa banyak uang yang harus disetor ke partai politik jika mau menjadi bupati, gubernur apalagi menjadi presiden. Tahun 2014 lalu saja, menurut mantan Kepala Bulog itu, seorang calon wakil presiden harus membutuhkan uang sebesar Rp2 triliun.
Karena itu, bututnya, jika seseorang tidak mempunyai uang maka dia membutuhkan bandar. Dan kalau sudah jadi, maka bandar itulah yang mengatur semuanya.
“Karena itu, yang terjadi adalah dari bupati dan wali kota terdapat sebanyak 182 bupati dan wali kota yang ditangkap KPK. Dari 34 gubernur ada 24 yang harus berurusan dengan KPK,” ujarnya.
Menurut Rizal Ramli, hal ini terjadi karena kita menerapkan threshold sebesar 20 persen. Padahal, katanya, dalam UUD tidak disebutkan threshold.
Karena itu, kata Bang RR, jika tidak ada threshold, maka calon presiden bisa bermunculan. Munculnya banyak calon itu sesuatu yang bagus karena sang calon akan diuji. “Mereka diuji visi-misinya, track recordnya, diuji integritasnya, diuji substansinya dan itu menjadi bagus. Jadi bukan hanya yang diuji popularitas dan pencitraan saja,” ujar mantan Menko Kemaritiman itu.
Karena itu, Bang RR beradai-andai, jika dari 17 partai politik yang ada saat ini dan dirinya dicalonkan menjadi capres, maka jangan-jangan yang lolos pada tahab kedua adalah Anies Baswedan dan Rizal Ramli.
“Maka pada tahab kedua itu teman-teman dari Muhammadiyah yang muda 75 persen memilih Anies, sedangkan yang senior 25 persennya memilih kita (Bang RR). Kemudian kaum nasionalis pasti memilih Rizal Ramli. Kaum minoritas pasti pilih RR lah. Nahdlatul Ulama tidak mungkin memilih Anies dan mereka pasti memilih RR. Jadi pada putaran kedua pasti perolehannya 70:30 untuk kemenangan RR. Namun, karena Anis itu anak baik kita angkat jadi apa begitu. Itu saja kok repot,” ujarnya. ***