INDONEWS.ID

  • Kamis, 11/01/2024 21:58 WIB
  • Diskusi Paramadina dan LP3ES: Masa Depan Demokrasi Jika Dinasti Jokowi Menang Pilpres

  • Oleh :
    • very
Diskusi Paramadina dan LP3ES: Masa Depan Demokrasi Jika Dinasti Jokowi Menang Pilpres
Diskusi “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasi Jokowi Menang” yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES yang digelar secara daring, pada Selasa (09/01/2024). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tentang kemunduran demokrasi sejak tahun 2020 menemukan bahwa hasilnya tidak membahagiakan. Jika kemunduran demokrasi tersebut terjadi maka hasilnya diprediksi akan lebih buruk dari yang diperkirakan.

Demikian disampaikan Wijayanto, Ph.D dalam diskusi “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasi Jokowi Menang” yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES yang digelar secara daring, pada Selasa (09/01/2024).

Baca juga : Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta

Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES ini mengutip Levitsky dan Ziblatt (2018) yang mengatakan bahwa ada empat indikator perilaku otoriter, yaitu penolakan (atau komitmen lemah) atas aturan main demokratis; menyangkal legitimasi lawan politik; toleransi atau anjuran kekerasan; dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.

“Bahkan ada enam mitos politik yang dituliskan oleh Yoes Kenawas (2023), tidak ada dinasti politik dalam demokrasi, dinasti politik adalah entitas politik yang sangat kuat, politik dinasti tidak telepas dari kultur patrimonial masyarakat Indonesia, dinasti politik disebabkan ketimpangan ekonomi dan masyarakat alergi terhadap politik dinasti
pencalonan Gibran sebagai cawapres bukan bentuk politik dinasti,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis (11/1).

Baca juga : Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi

Dia mengatakan, rezim hari ini hanya membutuhkan waktu 9 tahun untuk menyerupai orde baru. Padahal, saat orde baru membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa berkuasa. “Apakah kita harus terus menerus menunggu, padahal sudah terlihat dengan jelas berbagai gejala kemunduran demokrasi ini,” ungkapnya.

Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa fenomena autocratic legalism dalam demokrasi adalah cara pandang yang mengedepankan legalisme yaitu segala sesuatu berlandaskan hukum bernegara, namun berakhir dengan otokratisme.

Baca juga : Wujudkan Kemandirian Daerah, Kepala BSKDN Dorong Proyek Perubahan Jadi Inovasi

“Serangan yang terencana dan berkesinambungan pada institusi-institusi yang tugasnya justru mengawasi tindakannya, dalam rangka mandat demokratiknya yaitu ditandai dengan pelemahan DPR, pelemahan masyarakat sipil, pembunuhan KPK dan pelemahan MK. Semua dilakukan dalam koridor hukum, melalui pembentukan peraturan perundangan dan penegakan hukum. Tujuan akhirnya dengan kontrol yang lemah, demokrasi dapat diselewengkan,” ujarnya.

Bivitri melihat dari perspektif hukum bahwa pada masa pemerintahan Jokowi, terjadi perusakan lembaga-lembaga pengontrol pemerintahan.

“Demokrasi dikelola dengan pagar negara hukum, yaitu pembatasan kekuasaan dan hak asasi manusia. Tidak asal ‘suara terbanyak’. Tetapi ada tuntutan prinsip pembatasan kekuasaan dalam menjaga hak asasi warga negara,” katanya.

Menyinggung kemunduran demokrasi tersebut, pengamat politik Hendri Budi Satrio mengingatkan, muncul pertanyaan besar, siapa simbol yang bisa mengalahkan Jokowi saat ini.

Dia mengatakan, tidak ada jawaban pasti dari pertanyaan tersebut. “Singkatnya adalah kembalinya demokrasi Indonesia kembali ke titik nol, dengan tujuan dapat membangun society yang baru. Tetapi dengan biaya yang dikeluarkan akan sangat besar,” tegasnya.

“Ide yang sangat ekstrim ini untuk bisa menarik garis jelas adalah penguasa yang ingin terus berkuasa dibalik kata demokrasi. Mudah-mudahan dapat terjalinnya komunikasi kubu 01 dan 03 dengan tujuan tidak berlanjutnya politik dinasti dari rezim Jokowi,” tegas Hendri.

Sementara itu, pengamat politik yang juga CEO Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang berpotensi untuk menyelewengkan kekuasaan.

Karena itu, kata Eep, masa jabatan presiden dua periode itu harus diatur ulang. Pasalnya, dikhawatirkan presiden bisa ikut terlibat dalam penyelewengan kekuasaan, bersikap tidak adil, atau memihak calon tertentu.

“Membuat (dinasti) Jokowi menang (maka) secara tidak langsung akan membuat demokrasi kita kalah. Tetapi tidak ada jaminan demokrasi akan menang, jika Anies atau Ganjar yang menang. Yang harus menjadi agenda berikutnya adalah melakukan rehabilitasi demokrasi,” tegasnya.

Karena itu, katanya, Jokowi harus diperlakukan sama dengan siapapun dari sisi mitologis dan historisnya. “Sisi mitologis Jokowi sangat diframing berlebihan, tetapi tidak perlu disesali karena kita harus terus bertarung dalam dinamika demokrasi,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Wujudkan Kemandirian Daerah, Kepala BSKDN Dorong Proyek Perubahan Jadi Inovasi
Artikel Terkini
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Menikah di Balai Sarwono, Bregas Ingin Merasakan Atmosfer Adat Jawa yang Kental
Pelepasan 247 Calon Siswa Bintara Bakomsos dan Tamtama Polri Terpadu Tahun Angkatan 2024
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas