Hadapi Rivalitas AS dan China, Dubes Djumala Usulkan Indonesia Jalankan "Hedging Strategy"
Dr. Djumala, yang membahas geopolitik di kawasan Asia Pasifik, mengidentifikasi setidaknya ada 4 dinamika geopolitik di Asia Pasifik yang dinilai akan mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara di kawasan, seperti ASEAN, termasuk Indonesia.
Reporter: very
Redaktur: very
Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan MPR-RI menyelenggarakan Sarasehan Kebangsaan dengan tema “Memperkokoh Ideologi Pancasila untuk Menghadapi Dinamika Geopolitik Global” di Gedung Nusantara IV MPR, pada 20 Mei 2025.
Acara yang dibuka oleh Ketua MPR, Ahmad Muzani, dan Kepala BPIP, Prof. Dr. Yudian Wahyudi tersebut dihadiri oleh pejabat dari kementerian/lembaga pemerintah, para gubernur, bupati, anggota DPR, serta pejabat daerah, yang berjumlah lebih dari 600 orang. Lebih dari 1.000 orang dari seluruh Indonesia mengikuti jalannya sarasehan melaui live streaming.
Sarasehan tersebut untuk mensosialisasikan Pancasila di kalangan pejabat dan masyarakat Indonesia dalam menghadapi perubahan geopolitik global dan regional.
Sarasehan menghadirkan 3 narasumber, yaitu Letjen (Purn) Dr. Yoedhi Swastanto, Staf Khusus Menko Politik dan Keamanan; Dr. Darmansjah Djumala, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri; dan Dr. Ferry Irawan, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN, Menko Perekonomian.
Dr. Djumala, yang membahas geopolitik di kawasan Asia Pasifik, mengidentifikasi setidaknya ada 4 dinamika geopolitik di Asia Pasifik yang dinilai akan mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara di kawasan, seperti ASEAN, termasuk Indonesia.
Pertama, perang tarif antara AS dan China yang diperkirakan akan menimbulkan disrupsi perdagangan dan mempengaruhi pola rantai pasok global (global supply chain).
Kedua, terbentuknya aliansi militer AUKUS (Australia, Inggris, AS).
Ketiga, kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina.
Keempat, pembukaan kantor liason NATO di Tokyo yang akan mengkoordinasikan kebijakan dan strategi militer NATO di Asia Pasifik bersama Jepang.
Dr. Djumala, yang pernah bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB itu mengatakan, tiga kerja sama militer di atas tidak lain bertujuan untuk menghadapi China yang menunjukkan sikap agresif di kawasan Laut China Selatan.
“Dengan terbentuknya aliansi militer AS dengan sekutunya di Asia Pasifik diperkirakan rivalitas antara AS dan China semakin mengeras,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (22/5).
Menghadapi situasi seperti itu, Dubes Djumala mengingatkan Indonesia jangan sampai terjebak pada tarikan kepentingan kedua kekuatan itu, sehingga akan menciderai prinsip politik bebas-aktif.
Agar tidak larut dan hanyut rivalitas super power, Dubes Djumala mengusulkan agar Indonesia menjalankan “hedging strategy”, yaitu diplomasi yang memanfaatkan kekuatan kedua negara kuat itu sembari tetap menjaga kepentingan nasional.
“Indonesia harus membangun kerja sama dengan kedua negara tersebut sesuai dengan kekuatan dan kelebihan mereka. Jika China kuat di bidang ekonomi, Indonesisa harus kembangkan kerja sama ekonomi dengan China. Jika AS unggul di bidang politik-keamanan, Indonesia sebaiknya lakukan kerja sama militer dengan AS,” ujarnya.
Dubes Djumala menilai diplomasi selama ini hanya dipahami dalam konteks “cash and carry exercise” dan transaksional-pragmatis.
Dubes Djumala melihat adanya relevansi Hari Kebangkitan Nasional dengan diplomasi Indonesia. “Dengan diakuinya Pancasila dan Konferensi Asia Afrika oleh PBB-UNESCO sebagai Memory of the World pada Mei 2023, diplomasi Pancasila yang digaungkan Indonesia dapat menandai kebangkitan diplomasi nilai (gotong royong, musyawarah dan kemanusiaan) sebagai alternatif feature pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia,” tutup Dubes Djumala.*