INDONEWS.ID

  • Selasa, 25/07/2017 18:12 WIB
  • Hashtag "RezimRepresifAntiIslam", Distorsi Opini A la HTI

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Hashtag
Oleh: Hadiman Saputra*) INDONEWS.ID - Nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akhir-akhir ini sering terdengar di berbagai media massa maupun media sosial. Pemicunya tidak lain adalah keputusan pemerintah yang telah mencabut badan hukum Ormas tersebut karena menganggap grand goal HTI yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, HTI sebagai ormas berbadan hukum juga dianggap tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. HTI juga dianggap telah melakukan sejumlah aktivitas yang menimbulkan benturan di masyarakat sehingga dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Berangkat dari ketiga alasan tersebutlah pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto berani mengambil langkah untuk membubarkan HTI. Argumen pemerintah yang menjadi dasar pembubaran HTI tidaklah mengada-ada. HTI selama ini memang secara tegas menyatakan bahwa tujuan utama Ormas tersebut adalah mengembalikan kehidupan Islam melalui penegakan syariah dibawah naungan khilafah (yang mana khilafah yang dimaksud adalah konsep khilafah ala HT itu sendiri). Andaikan tujuan tersebut tercapai, atau setidaknya mulai “booming”,tentu saja akan “membahayakan” Pancasila yang memang telah disepakati oleh para founding father, termasuk para ulama, sebagai ideologi negara-bangsa Indonesia. Kenyataan bahwa penegakan khilafah ala HTI dapat mengancam ideologi serta persatuan bangsa Indonesia menghasilkan aksi yang terang-terangan menyuarakan sikap anti terhadap tujuan atau bahkan eksistensi dari HTI itu sendiri. Sikap anti terhadap HTI tersebut kemudian tidak jarang menjadi penyebab gesekan di tengah masyarakat sebagaimana yang terjadi di Makassar pada 16 April 2017. Oleh karena itu, demi mencegah berulangnya gesekan-gesekan serupa, pemerintah menilai perlu untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka membubarkan HTI. Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI bukanlah keputusan yang tergesa-gesa apalagi irasional. Namun demikian, sebagaimana yang disampaikan oleh fisikawan terkenal Sir Isaac Newton beberapa abad silam bahwa ”di setiap aksi pasti ada reaksi yang sama besarnya”, keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI menuai reaksi keras dari para aktivis maupun simpatisan HTI di seluruh Indonesia. Reaksi keras tersebut disuarakan dalam berbagai cara, salah satunya yang paling masif adalah penolakan melalui media sosial khususnya Facebook, Twitter, dan Instagram. Bahkan sejak pemerintah baru sekadar mengumumkan rencana untuk membubarkan HTI, jagat dunia maya Indonesia mulai dipenuhi suara-suara yang menentang rencana pembubaran HTI hingga saat ini. Media sosial memang dijadikan sebagai salah satu senjata utama bagi HTI untuk menolak upaya pembubaran oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan media sosial, HTI berharap bisa meraih simpati masyarakat sekaligus menjadi ajang promosi konsep khilafah yang lebih masif lagi. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, upaya “perlawanan” HTI terhadap pemerintahnya khususnya melalui media sosial menjadi tidak fair bahkan terkesan terjadi distorsi isu. Salah satunya terlihat dari penggunaan hashtag “#RezimRepresifAntiIslam” yang gencar disuarakan oleh para aktivis dan simpatisan HTI. Di dalam hashtag"#RezimRepresifAntiIslam" sesungguhnya terkandung suatu pesan propaganda yang mendistorsikan fakta sebenarnya yang ada di lapangan. Dengan menggunakan hashtag"#RezimRepresifAntiIslam", HTI ingin menciptakan opini seolah-olah keputusan untuk membubarkan HTI oleh pemerintah merupakan suatu tindakan yang represif dan anti terhadap umat Islam. Pada akhirnya, dengan hashtag semacam itu akan tercipta dua pihak yang saling berseberangan:  pemerintah di satu sisi melawan "umat Islam" di sisi lainnya. Efek dari pesan propaganda ini pun cukup serius: adu domba antara pemerintah dan masyarakat dengan menggunakan isu agama sebagai trigger-nya. Pesan propaganda yg terkandung dalam hashtag "#RezimRepresifAntiIslam" tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pemerintah memang memutuskan untuk membubarkan HTI, namun hal tersebut tidak serta merta dapat dijadikan bukti bahwa pemerintah adalah rezim yang "anti Islam". Setidaknya terdapat tiga alasan atau bukti nyata yang jelas-jelas menerangkan bahwa tuduhan "rezim anti Islam" hanya sekedar fitnah murahan namun kejam. Pertama, pemerintah hingga detik ini tidak pernah sama sekali mengeluarkan kebijakan yang membawa dampak negatif bagi umat Islam Indonesia secara umum. Hingga saat ini, umat Islam Indonesia masih bisa menjalankan berbagai ibadah, misalnya sholat, puasa, atau zakat, dengan tenang dan khidmat. Para mubaligh atau dai pun dapat mendakwahkan ajaran Islam dengan leluasa. Bahkan, tidak jarang pemerintah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit dalam menunjang ibadah umat Islam, semisal pada pelaksanaan haji. Apakah semua itu akan terjadi pada rezim yang dikatakan "anti Islam"? Kemudian, bukti kedua yang dapat mementalkan fitnah "rezim anti Islam" adalah kenyataan bahwa HTI bukanlah suatu entitas yang dapat diklaim sebagai personifikasi "sempurna" dari Islam. Islam adalah agama yang sempurna, yang mana segala ajarannya tidak diragukan lagi kebenarannya. Adapun HTI merupakan satu dari sekian banyak kelompok yang berusaha mengejawantahkan ajaran-ajaran Islam yang sempurna tadi. Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah kenyataan bahwa HTI merupakan entitas sekelompok "manusia", makhluk yang penuh kekeliruan dan kekhilafan. Dengan demikian, pengejawantahan ajaran Islam yang dilakukan oleh HTI sudah barang tentu rawan dikotori oleh hawa nafsu dan kepentingan pragmatis. Oleh karena itu, wajar apabila ide-ide khilafah yang digagas oleh HTI dipertanyakan, dibantah, atau bahkan dilarang, sekalipun ide-ide tersebut diklaim bersumber dari Islam. Dengan demikian, sungguh sangat tidak etis apabila HTI mengklaim apabila “anti terhadap ide-ide HTI” dapat disamakan dengan “anti terhadap Islam”. Kedua fenomena sederhana yang dijelaskan di atas dapat dijadikan bukti bahwa penggunaan hashtag "#RezimRepresifAntiIslam" hanya sekedar fitnah belaka yang ingin mengadudomba anak bangsa. Sayangnya, fitnah seperti ini dilontarkan oleh kelompok yang selama ini paling getol mengaku sebagai orang-orang yang rindu akan ditegakkannya syariat Islam secara keseluruhan. Bukankah menjauhi fitnah, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), dan suudzon (berburuk sangka pada orang lain) juga merupakan syariat Islam? Bagaimana mungkin dapat menegakkan khilafah sementara lidah masih dengan mudah memfitnah orang lain? Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengintrospeksi diri sendiri. *) Penulis adalah pemerhati masalah terorisme dan radikalisme.
Artikel Terkait
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Dianggap "Lahan Tak Bertuan", Sekolah Sering Jadi Tempat Penyemaian Ideologi Radikal
Kemendagri Ajak Pemda Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045
Artikel Terkini
Tamini Square Gelar Festival Soto dan Masakan Nusantara
Dituduh Curi Iphone, Ade Laporkan AA ke Polres Jaksel
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Hari Ulang Tahun ke 15 Kabupaten Maybrat Diwarnai Peluncuran Program PAITUA
Bupati Tanah Datar Serahkan Santunan BPJS Ketenagakerjaan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas