Sekretaris Dewan Setara Institute, Benny Susetyo, dalam seminar kebangsaan bertajuk Merawat Kemajemukan, Dalam Bingkai NKRI", di Aula Universitas UKI, Jakarta, Rabu (5/4/2017). (Foto: Ist)"
??Jakarta, INDONEWS.ID – Negara masih terus saja membiarkan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran. Bahkan kekerasan atas agama bukannya menurun, tapi malah kian meningkat.
"Kekerasan terjadi selama 10 tahun, karena negara tidak menangani dengan baik, akhirnya kekerasan atas nama agama meningkat di Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jakarta,"ujar Sekretaris Dewan Setara Institute, Benny Susetyo, dalam seminar kebangsaan bertajuk "Merawat Kemajemukan, Dalam Bingkai NKRI", di Aula Universitas UKI, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Dia menuturkan, menanggapi kekerasan atas nama agama tersebut, negara sepertinya tidak mengambil inisiatif, bahkan melakukan pembiaran. "Bahkan tidak ada statemen (pernyataan) negara dalam mengecam dan bertindak tegas atas kekerasan tersebut, seolah-olah negara absen terhadap kekerasan tersebut," tambah Benny.
Menurutnya, negara menghadapi dilema terhadap situasi kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Namun Benny menyayangkan hal itu karena konstitusi tidak mampu berdiri tegak, khususnya menghadapi para pelaku kekerasan atas nama agama.
"Bila ini dibiarkan, dan penegak hukum tidak tegas dalam menindak para pelaku-pelaku kekerasan maka sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar mantan Sekretaris Konfrensi Wali Gerega Indonesia (KWI) itu.
Benny mengungkapkan, para pelaku kekerasan atas nama agama itu ingin memberitahukan bahwa kebenaran adalah absolut dan menjadi milik mereka.
"Kekerasan atas nama agama adalah ancaman kemajemukan, dan persoalan kita negara selalu tidak berani menghadapi tekanan-tekanan massa," tambah Benny.
Dia mengingatkan, negara harus berdasarkan konstitusi, bukan berdasarkan agama. "Selain itu terorisme akan meningkat kalau negara galau terus," tegas Benny.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasehat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Andreas Yewangoe mengatakan, Pancasila adalah kesepakatan final dan diakui sebagai ideologi negara, dan bukan berdasarkan berdasarkan negara agama.
"Kemajemukan seharusnya diterima, dengan ditolaknya Piagam Jakarta pada 1 Juni 1945 adalah bukti bahwa negara kita adalah negara bangsa, bukan negara agama," ujar Yewangoe. (Ralian)