Nasional

Cegah Potensi Konflik Pilkada Serentak di Papua, Ini Usulan Perludem

Oleh : very - Kamis, 01/02/2018 10:33 WIB

Warga pedalaman mengantre menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif di TPS Lapangan Kampung Pike, Distrik Pesugi, Jayawijaya, Papua, Rabu (9/4). Warga pedalaman Papua antusias mencoblos di TPS yang disediakan KPUD Papua, meski logistik dan surat suara di beberapa distrik Kabupaten Yahukimo belum sampai di TPS karena terkendala transportasi. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/Asf/mes/14.

Jakarta, INDONEWS.ID - Provinsi Papua adalah salah satu wilayah yang turut serta dalam Pilkada Serentak 2018. Provinsi ini terdiri dari 29 kabupaten/kota, yang sebagian besar di antaranya telah melaksanakan pilkada di tahun 2015 dan 2017. Tahun 2018, pelaksanaannya akan digelar di tingkat provinsi dan di 7 kabupaten/kota lainnya.

Dua isu penting yang selalu menyertai pelaksanaan pilkada di wilayah Papua adalah pilkada yang menggunakan sistem noken dan konflik kekerasan yang kerap terjadi. Bahkan keduanya sering dikaitkan oleh para pihak sebagai faktor sebab dan akibat.

Berdasarkan putusan MK yang dikuatkan oleh penyelenggara pemilu, dari 29 kabupaten/kota terdapat 13 daerah yang diberikan privilage untuk melaksanakan pemilihan dengan sistem noken. Selain putusan MK, KPU RI dan KPU Papua secara khusus telah menyediakan regulasi teknis agar sistem noken dapat dipraktekkan dalam koridor hukum pemilu, yaitu: Keputusan KPU Papua No.01/Kpts/KPU Prov.030/2013 dan PKPU No. 10 Tahun 2017.

Hanya saja, jika melihat dinamika yang terjadi di MK, konten regulasi khusus ini dapat dikatakan sudah kadaluarsa dan butuh penyempurnaan. Daerah yang berlaku sistem noken sejak pilkada 2015 hingga pilkada 2018 yaitu di Yahukimo, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya Paniai, Tolikara Puncak , Intan Jaya Deiyai, Puncak Jaya Jayawijaya dan Dogiyai Mimika.

Sayangnya beberapa daerah yang melaksanakan sistem noken merupakan daerah yang tercatat sering pecah konflik kekerasan, hingga menelan korban jiwa. Karena itu, wajar jika publik sulit memisahkan antara noken dengan konflik kekerasan.

Data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan, momentum kekerasan di daerah tersebut, terjadi hampir pada setiap tahapan penyelenggaraan. Sejak 2010 hingga 2014, daerah-daerah seperti Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya sudah menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Laporan media mengakumulasi hingga 71 warga negara yang tewas sepanjang momentum tersebut. Hal ini belum menyinggung korban luka-luka serta jumlah harta benda baik milik masyarakat maupun pemerintah yang turut dikorbankan. 

Pada tahun 2017, jatuhnya korban jiwa dalam konteks pilkada kembali terjadi. Konflik kekerasan tidak dapat dihindari di 2 kabupaten, yaitu Puncak Jaya dan Intan Jaya.

Dihimpun dari sejumlah media lokal dan nasional, korban tewas mencapai 19 orang dengan puluhan luka-luka dan sejumlah fasilitas negara dan pribadi rusak berat. Pilkada Tolikara, kendati tidak lagi menelan korban jiwa seperti tahun 2011 yang lalu, namun sempat menimbulkan kerusuhan yang mengkhawatirkan. Bahkan keributannya menjalar hingga ke Jakarta, saat belasan orang yang diduga merupakan salah satu kelompok pendukung paslon yang kalah, merusak kantor Kemendagri akibat tidak dapat menemui Mendagri di kantornya. 

Potensi Konflik Pilkada Serentak 2018 
Belum lewat setahun dari pengalaman konflik 2017, pilkada kembali digelar di Papua di tahun 2018, yaitu  1 Pilkada Gubernur Papua dan 7 Pilkada Kabupaten.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meminta semua pihak agar memerhatikan secara serius Pilkada Serentak 2018 di Papua. Betapa tidak, pilkada kali ini melibatkan 8 daerah yang pernah menyumbang korban jiwa dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkadanya yaitu di Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya, Puncak Jaya, Intan Jaya. Bahkan ketegangan yang meningkat selama Pilkada 2017 di Puncak Jaya, Intan Jaya dan Tolikara belum sepenuhnya menurun.

“Sisa-sisa dendam, baik dendam politik maupun dendam pribadi karena anggota keluarga yang tewas, diyakini masih ada dan menjadi potensi konflik untuk tiga daerah ini,” ujarnya dalam sebuah pernyataan pers, Selasa (30/1/2018). 

Sebagai daerah yang berkali-kali masuk dalam kategori rawan konflik oleh Bawaslu dan Kepolisian, jatuhnya korban jiwa akibat pilkada di Papua menjadi preseden buruk. Adanya korban tewas menunjukkan bahwa kajian dan antisipasi yang disiapkan belum bekerja dengan baik.

“Seharusnya upaya preventif dari perspektif penyelenggara pemilu dan perspektif kepolisian mengalami kemajuan, karena konflik kekerasannya terjadi berkali-kali. Jika para pihak tidak meng-upgrade pendekatan dan strategi penanganan konflik kekerasan dari yang sebelumnya, bukan tidak mungkin korban akibat pilkada akan kembali berjatuhan. Apalagi, tahun 2019 di daerah yang sama kembali akan digelar pileg dan pilpres. Sehingga konsentrasi untuk Papua harusnya semakin ditingkatkan dan upaya preventifnya semakin inovatif,” ujar Titi. 

Karena itu, Perludem meminta KPU RI dan Bawaslu RI untuk menjamin pelaksanaan sistem noken berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diawasi dengan baik.

“Pelaksanaannya harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel dan membuka ruang keterlibatan publik secara luas. Untuk kepentingan jangka panjang, ketentuan sistem noken perlu dibenahi kembali. Sehingga setiap keunikan dalam metode pemilihan noken dapat diakomodir secara legal dan dengan standar yang baik. Hak-hak politik setiap warga negara harus dapat dijamin dan dilindungi dalam ketentuan noken. Kendati tidak mungkin diterapkan untuk Pilkada 2018, setidaknya dapat diupayakan untuk kepentingan Pemilu 2019 nantinya,” katanya. 

Titi juga meminta KPU RI dan Bawaslu RI agar memastikan semua perangkat penyelenggaraan di tingkat teknis dalam kondisi siap sehingga tidak menyisakan celah persoalan. Dengan demikian, tidak menjadi alasan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menjustifikasi kekerasan.

Penyelenggara di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan dan TPS harus dipastikan bebas kepentingan, mandiri dan profesional. “Penting juga untuk memastikan terlaksananya pengawasan di setiap tahapan agar berjalan sesuai dengan regulasi serta waktu yang telah direncanakan. Terutama pelaksanaan prosedur pendaftaran pemilih yang selama ini menjadi salah satu pokok persoalan,” ujarnya. 

Pihak kepolisian, kata Titi, harus memberi perhatian serius dan membenahi pendekatan serta strategi penanganan konflik kekerasannya. Pihak kepolisian harus memastikan penegakkan hukum berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pihak kepolisian juga wajib mengambil langkah-langkah yang tegas dan terencana untuk melindungi setiap penyelenggara pemilihan dan pemilih dari potensi kekerasan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. 

Kepolisian juga harus meningkatkan koordinasi dan kebutuhan pengamanan secara rasional dengan para pihak, termasuk aparat TNI demi kepentingan pengamanan.

“Pendekatan yang digunakan dalam menghadapi potensi konflik harus tetap mengedepankan pendekatan persuasif. Pengalaman rapuhnya pengamanan terhadap penyelenggara dari tindakan kekerasan pihak yang tidak bertanggungjawab, harus dicarikan solusinya. Sehingga penyelenggara dapat melaksanakan tugasnya dengan aman dan tanpa tekanan pihak manapun,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait